Liputan6.com, Jakarta - Usianya masih 22 tahun, tapi Momoko Nojo berhasil membuat gebrakan dengan menjungkalkan seorang mantan Perdana Menteri Jepang, Yoshiro Mori, dari kursi Presiden Komite Olimpiade Tokyo 2020. Ia merupakan inisiator kampanye online sebagai protes atas tindakan politikus berusia 83 tahun melontarkan kalimat bernada seksisme yang menyudutkan perempuan.
Mori saat itu menyebut bahwa perempuan terlalu banyak bicara dalam rapat. Nojo tak diam saja menanggapi hal itu. Ia meluncurkan kampanye bertagar #DontBeSilent lewat platform Twitter dan media sosial lainnya, sekaligus menggalang petisi untuk menuntut tindakan pada sikap Mori.
Advertisement
Baca Juga
Dalam waktu kurang dari dua minggu, kampanye itu berhasil mengumpulkan 150 ribu tanda tangan dari para pendukung. Yoshiro Mori akhirnya mundur dari Komite Olimpiade Tokyo 2020 pada pekan lalu. Posisinya digantikan oleh Seiko Hashimoto, mantan atlet wanita yang telah berlaga di tujuh olimpiade.
"Beberapa petisi telah mendapat 150.000 tanda tangan sebelumnya. Saya pikir itu sangat bagus. Orang-orang juga menganggap ini pribadi, tidak melihat ini sebagai satu-satunya masalah Mori," kata Nojo yang tersenyum dalam wawancara Zoom, mengutip CNN, Jumat (19/2/2021).
Nojo adalah seorang mahasiswi. Ia pernah menjalani studi di Denmark selama setahun. Di sana, ia menyadari bahwa Jepang punya masalah serius terkait diskriminasi gender, kesenjangan gaji, dan stereotipe. Ia belajar bahwa politik Jepang masih didominasi kalangan politikus tua dengan sedikit sekali keterlibatan perempuan. Di samping, ia kerap mendengar komentar seksis teman-teman prianya yang dinilai bernada meremehkan.
"Itu membuat saya sadar bahwa ini adalah kesempatan bagus untuk mendorong kesetaraan gender di Jepang," kata Nojo, seorang mahasiswa ekonomi tahun ke-4 di Keio University di Tokyo.
Ia lalu mulai menjalankan organisasi nonprofitnya, "NO YOUTH NO JAPAN", pada 2019, saat masih berada di Denmark. Ia juga aktif mengampanyekan kesetaraan gender. Namun, ia tak menyangka bila kampanye yang digalangnya terkait Mori bakal berdampak sejauh itu.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Baru Langkah Kecil
Kemenangan Nojo tersebut dipandang langkah kecil dalam pertarungan panjang. Keiko Ikeda, seorang profesor pendidikan di Universitas Hokkaido mengatakan sudah saatnya orang-orang muda Jepang lebih bersuara mengingat banyak keputusan cenderung dibuat oleh kelompok tertentu dengan pola pikir yang sama. Ia meyakini situasi tersebut akan berubah secara perlahan.
"Jika Anda memiliki kelompok yang homogen, sangat sulit untuk menggerakkan kompas karena orang-orang di dalamnya tidak menyadarinya ketika keputusan mereka tidak tepat," kata Ikeda.
Sebelumnya, Nojo sempat menolak proposal yang diajukan Partai Demokrat Liberal. Partai berkuasa di Jepang itu akan mengizinkan lebih banyak perempuan dalam pertemuan, tetapi hanya sebagai pengamat diam.
"Saya tidak yakin apakah mereka memiliki kemauan untuk memperbaiki masalah gender secara mendasar," komentar Nojo.
Jepang berada di peringkat 121 dari 153 negara pada Indeks Kesenjangan Gender Global 2020 Forum Ekonomi Dunia - peringkat terburuk di antara negara-negara maju - mendapat skor buruk pada partisipasi ekonomi perempuan dan pemberdayaan politik. Aktivis dan kebanyakan perempuan biasa berpendapat diperlukan perubahan drastis di tempat kerja dan dunia politik Jepang.
"Di Jepang, ketika ada isu terkait kesetaraan gender, tidak banyak suara yang terdengar, dan kalaupun ada suara untuk memperbaiki keadaan, mereka kehabisan tenaga dan tidak ada yang berubah," kata Nojo.
"Saya tidak ingin generasi berikutnya menghabiskan waktu mereka untuk masalah ini," ucapnya. (Melia Setiawati)
Advertisement