Liputan6.com, Jakarta - Beberapa hari belakangan, burka menjadi berita usai Sri Lanka melarang penggunaannya. Selain itu, Sri Lanka juga menutup lebih dari 1.000 sekolah Islam. Tindakan terbaru tersebut dikecam banyak negara, termasuk Indonesia, karena sangat mendiskriminasi populasi Muslim yang menjadi minoritas di negara itu.
Menteri Keamanan Publik Sri Lanka, Sarath Weerasekera mengatakan telah menandatangani sebuah surat untuk meminta persetujuan kabinet untuk melarang burka yang dikenakan oleh beberapa wanita Muslim dengan alasan "keamanan nasional", seperti dilansir dari laman Arab News, Senin, 15 Maret 2021.
Advertisement
Baca Juga
"Di masa-masa awal kami, wanita dan gadis Muslim tidak pernah mengenakan burka," kata dia. "Itu adalah tanda ekstremisme agama yang muncul baru-baru ini. Kami pasti akan melarangnya."
Sebelumnya, pada akhir April 2019, seorang anggota parlemen Sri Lanka, Ashu Marasinghe juga sempat menyerukan mosi kepada perwakilan rakyata setempat untuk melarang pemakaian burka. Seperti diberitakan dari kanal Global Liputan6.com, Marasinghe mengklaim, burka telah digunakan di seluruh dunia oleh ekstremis untuk menyembunyikan identitas mereka dan melakukan tindakan terorisme.
Setelah mengajukan mosi tersebut secara terbuka di hadapan publik Sri Lanka, Marasinghe mengatakan bahwa burka "bukan pakaian tradisional muslim", dan menimbulkan risiko keamanan. Mosi tersebut diterima oleh parlemen Sri Lanka, namun belum ditindaklanjuti.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Sejarah Burka
Berdasarkan sejarahnya secara linguistik, kata 'burka' digunakan di Arab sebelum masuknya Islam pada kuartal pertama abad ketujuh. Saat itu, kata 'burka' berarti sepotong pakaian yang digunakan sebagai pelindung, terutama di musim dingin, jelas Farida Khanam, Associate Professor di Departemen Studi Islam di Jamia Millia Islamia, New Delhi, seperti dilansir dari laman Times of India, Senin, 15 Maret 2021.
Dalam kamus bahasa Arab terkenal, Lisan al-Arab, member dua contoh penggunaan burka selama periode pra-Islam. Pertama, sebagai penutup untuk hewan selama musim dingin, dan kedua, seperti penutup cadar, seperti selendang untuk wanita desa, kata Farida lagi.
Farida menjelaskan, meskipun kata 'burka' ada dalam kosakata bahasa Arab saat itu, Alquran tidak menggunakan kata 'burka' untuk purdah (hijab) perempuan. Sejarah menunjukkan, burka saat itu pertama kali menjadi populer di Persia. Ketika Islam memasuki Persia, peradaban lengkap sudah ada di sana.
Di bawah pengaruh budaya Iran, burka diadopsi oleh kaum Muslim. Secara bertahap burka diislamkan sehingga menjadi bagian dari budaya Muslim. Pakaian ini telah mengambil bentuk yang berbeda di berbagai belahan dunia Islam.
Di Afghanistan, Pakistan, dan bagian lain dari anak benua India, mereka mengambil bentuk burka (di Afghanistan disebut chadri), pakaian tebal yang dikenakan oleh perempuan dan anak perempuan sejak pubertas awal, yang menutupi seluruh bagian kepala hingga ke kaki. Dipakai setiap kali seorang wanita meninggalkan rumahnya atau mungkin berada di hadapan pria yang bukan muhrimnya, seperti dilansir dari laman fashion-history.lovetoknow.com.
Di Pakistan atau di antara Muslim India, burka tetap menjadi kebiasaan, meskipun beberapa wanita berpendidikan modern telah meninggalkannya. Munculnya Islamisme politik radikal pada 1980-an menghidupkan kembali penggunaan burka secara universal, secara sukarela atau di bawah tekanan, di daerah-daerah yang didominasi Islamis, seperti Provinsi Perbatasan Barat Laut Pakistan dan Baluchistan, dan Afghanistan di bawah rezim Taliban pada 1996--2002.
Advertisement