Liputan6.com, Jakarta - Kekayaan gastronomi Indonesia memang tiada dua. Mulai dari makanan utama hingga kudapan, ada beragam opsi yang pastinya masuk dalam daftar favorit. Bicara soal camilan Nusantara, deretan panjang nama seketika terlintas di benak, seperti nikmatnya aneka jajanan pasar.
Tahukah Anda, sejarah awal camilan Nusantara yang dikenal saat ini? Sejarawan makanan Fadly Rahman menyampaikan, tradisi mengudap telah berlangsung lama. Jika kini masyarakat menyebut jajanan pasar atau camilan tradisional, dikatakan Fadly, dahulu dikenal sebagai "amik-amik".
"Orang Nusantara di Jawa dan Kepulauan Melayu punya tradisi amik-amikan sendiri, seperti ada paling tua disebut dalam prasasti dalam naskah kuna, ada wajik, dodol, ini paling populer di masa itu," kata Fadly saat dihubungi Liputan6.com, Kamis, 22 April 2021.
Advertisement
Baca Juga
Seperti saat ini, camilan kala itu dibuat atau dikonsumsi sebagai makanan teman untuk bersantai. Lantas, sejak kapan camilan eksis?
"Kalau merunut dari sumber-sumber tertulis yang ada di prasasti dan naskah kuno, rentang dari abad 8 Masehi sampai abad 13 Masehi itu cukup banyak jenis kudapan yang biasa dikonsumsi orang Jawa. Ada dodol, wajik, keripik, kerupuk, lepet, lemper," jelas Fadly.
Lain lagi dengan apam dan serabi. Fadly menyebut kedua camilan tradisional itu dipengaruhi oleh budaya kuliner India yang masuk ke Nusantara pada masa kerajaan Hindu-Buddha. Kemungkinan, orang Jawa kala itu mengadopsi apam yang memiliki tradisi camilan berbahan tepung beras.
Sementara, cendol dan dawet baru muncul sekitar abad 18--19. "Kalau dawet rentang abad 8--13 Masehi dari jejak prasasti dan naskah kuno itu salah satu yang disebut-sebut itu dawet," ungkap Fadly.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Mengapa Manis dan Gurih?
Penulis buku "Jejak Rasa Nusantara: Sejarah Makanan Indonesia" ini melanjutkan, awal penciptaan camilan Nusantara memanfaatkan sumber daya pangan lokal yang ada di sekitar. Yang paling umum digunakan sebagai pemanis adalah gula aren atau gula Jawa yang disadap dari nira. Sementara, daun suji atau pandan dimanfaatkan sebagai pewarna alami.
"Kudapan-kudapan yang menggunakan sumber daya lokal, lemper dari beras ketan, serabi yang menggunakan daun suji atau pandan penghijau alaminya. Memang khas sekali," tambahnya.
Maka, ia mengaku tak heran bila camilan Nusantara lekat dengan cita rasa manis dan gurih. Hal tersebut dilatarbelakangi dengan alasan rasa tersebut yang dapat menggugah selera orang untuk makan.
"Pada dasarnya orang kita itu suka dengan yang gurih dan manis dan itu tidak salah, karena mereka memanfaatkan dari potensi pangan lokal yang ada di sekitarnya dan lebih healthy dibanding dengan pemanis yang ada sekarang, yang buatan atau MSG," terang Fadly.
Ia menjabarkan, leluhur dahulu dalam membuat jenis-jenis camilan benar-benar murni memanfaatkan potensi pangan lokal. Namun, seiring perkembangan teknologi makanan yang banyak menggunakan bahan kimia buatan, orang akhirnya lebih menyukai sesuatu yang instan.
"Kalau menggunakan bahan alami tentu mahal dan jarang, sehingga orang mencari instan dengan pewarna dan pemanis buatan yang tentu nilai kualitas rasanya berbeda dengan yang alami," tambahnya.
Padahal, kemampuan mempertahankan rasa yang orisinal adalah kunci camilan tradisional bisa bertahan sampai berabad-abad lamanya. "Karena bahan-bahan yang tersedia dan kreativitasnya dihasilkan dari teknik pengolahan yang mereka kuasai, jadi kenapa bisa bertahan berabad-abad karena masyarakat lokal masih punya tradisi kuliner leluhur yang masih dipertahankan," katanya.
Â
Â
Â
Advertisement
Bukan Sekadar Urusan Perut
Seiring perkembangan industri makanan instan di masa akan datang, Fadly mengkhawatirkan eksistensi camilan Nusantara. Dalam hal penggunaan pewarna atau pemanis, banyak produsen beralih ke materi kimia buatan.
"Mereka (produsen) ingin menekan harga atau ongkos produksi sehingga dicari pewarna dan pemanis buatan," ucap dia.
Lagi lagi soal kemasan, daun-daunan sebagai pembungkus sudah banyak digantikan dengan plastik. Padahal, kemasan daun jauh lebih ramah lingkungan, seperti daun waru, daun pisang, dan daun jati. Terlebih, bungkus yang dipakai dipercaya bisa memberi cita rasa berbeda pada kudapan, dibandingkan dengan plastik.
"Dari segi bentuk tidak (berpengaruh), tapi dari segi warna dan rasa itu menghilangkan esensi asalnya. Kalau bicara soal seni kuliner, maka proses produksi pengolahan yang menjauhkan dari bahan-bahan alami justru menurunkan esensi itu," ujar Fadly.
Di samping itu, jenis daun-daunan yang dulu banyak dipakai sudah mulai langka. Yang paling gampang mungkin hanya daun pisang.
"Tapi, daun pisang pun sudah mulai agak tergeser digunakan sebagai bahan pembungkus, walau masih banyak digunakan, sekarang orang beralihnya ke plastik yang dianggap lebih awet," tambahnya.
Â
Fadly menyampaikan, jika ditilik lebih lanjut, munculnya amik-amik di masa kuna sebetulnya menghubungkan masyarakat dengan alam serta memanfaatkan potensi yang ada di alam. Jadi, tidak sekadar persoalan memuaskan mulut dan perut semata. Ia berharap agar publik memahami hal ini
"Ini bukan persoalan mulut dan perut, tapi lebih ke persoalan bagaimana menjaga pusaka tradisi kuliner yang dulu diwariskan oleh leluhur, supaya dalam proses mengolah makanan ini, kita masih tetap memiliki kedekatan atau hubungan dengan alam," jelasnya.
Â