Liputan6.com, Jakarta - Seiring waktu, semua lini dituntut untuk memikirkan tentang keberlanjutan lingkungan, tidak terkecuali dunia fesyen. Karena itu, produk-produk ramah lingkungan terkait fesyen semakin banyak beredar.Â
Banyak negara sudah banyak membuat produk fesyen ramah lingkungan. Salah satunya menerapkan sistem upcycle, yaitu memanfaatkan barang-barang bekas atau sampah di sekitar menjadi suatu benda yang memiliki manfaat lain. Caranya, bisa dengan memanfaatkan pakaian bekas menjadi pakaian yang lebih berkualitas dari nilai aslinya.
Advertisement
Baca Juga
Lalu bagaimana dengan di Indonesia? Sebenarnya sudah mulai dibuat produk fesyen berkelanjutan termasuk dengan upcycle, tapi dianggap belum terlalu banyak karena ada sejumlah faktor penghambat.
Hal itu dikatakan desainer sekaligus Founder Threadapeutic Nagawati Surya dalam dalam Webinar Mayantara JAK.ID 2021 "Recycle & Waste Materials for Sustainable Interior" pada Kamis, 17 Juni 2021.
"Upcycle sering dianggap barang murah karena dibuat dari barang-barang sisa, padahal kualitasnya bisa lebih bagus. Sistem pengolahan limbah sampah kita masih kurang bagus sehingga sulit diolah lagi menjadi bahan baku. Selain kita juga kurang peduli, peran pemerintah juga masih kurang," ungkap Nagawati.
Pendapat lain diutarakan desainer kriya Mohamad Taufaniari atau biasa disapa Taufan. Faktor penghambat lainnya adalah soal kreativitas. Textile Designer ROA ini berharap agar kita lebih kreatif sehingga bisa membuat produk-produk berkelanjutan yang disukai banyak orang.
Saksikan Video Pilihan Berikut:
Komunikasi dan Kreativitas
"Faktor pendukungnya saya rasa bisa dimulai dari kita. Harus ada komunikasi yang bagus antara perajin, desainer dengan kliennya. Jadi bisa lebih cair dan kita jadi lebih tahu cerita di balik karya yang kita buat, ini penting sekali terutama di bidang desain interior," jelas Taufan.
Soal pentingnya kreativitas juga didukung Budi Hermawan, Marketing Director PT.Kayu Lapis Indonesia. Pasalnya, permintaan akan produk ramah lingkungan cukup banyak di Indonesia.
"Ada orang yang punya ide banyak tapi nggak punya bahan. Ada yang punya bahan tapi nggak ada ide, nah mari kita berkolaborasi," ucapnya.
"Kalau faktor pendukung, kita punya banyak tenaga kerja dan bahan-bahannya banyak tersedia. Seperti di tempat saya, selain dari perca, tas dari bahan karung dan banner ternyata cukup disukai," timpal Hana yang punya usaha tas daur ulang Threadapeutic ini.
Advertisement
Kalender dan Spanduk Bekas
Dilansir dari beragam sumber, Hana terjun ke industri fesyen daur ulang secara tak sengaja. Ketika kembali ke Indonesia setelah beberapa saat tinggal di Singapura, Hana ditugasi membuat tas dari kain sisa yang digunakan para desainer untuk membuat busana untuk gelaran IFW (Indonesia Fashion Week).
Dari situlah, dia mendapatkan ide untuk mengembangkan bisnis tas dari kain perca. Menurutnya, meskipun tas yang dibuatnya berasal dari kain sisa, tetapi dibuat dengan kualitas prima dan mengedepankan estetika.
Kesadarannya terhadap lingkungan juga membuat Hana tak hanya memakai kain perca saja. Dia juga menggunakan pembungkus tas dan label harga dengan menggunakan kalender bekas dan spanduk bekas.
Ke depan, Hana ingin menularkan upayanya dalam penggunaan bahan bekas dengan cara melatih pengembangan daur ulang kepada komunitas yang membutuhkan.
4 Unsur Wisata Ramah Lingkungan atau Berkelanjutan
Advertisement