Lebih Dekat dengan Suku Kajang di Bulukumba Sulawesi Selatan yang Berpakaian Serba Hitam

Suku Kajang di Bulukumba, Sulawesi Selatan berpakaian serba hitam sebagai tanda kebersahajaan dan kesederhaan, serta kesetaraan.

oleh Komarudin diperbarui 18 Nov 2021, 09:02 WIB
Diterbitkan 18 Nov 2021, 09:02 WIB
Suku Kajang di Bulukumba, Makassar, Sulawesi Selatan yang mengenakan pakaian hitam
Suku Kajang di Bulukumba, Makassar, Sulawesi Selatan yang mengenakan pakaian hitam (dok.YouTube/Balai PSKL Sulawesi)

Liputan6.com, Jakarta - Bulukumba dekat Makassar di Sulawesi Selatan tak hanya memiliki pantai yang indah, tapi juga memiliki suku yang masih eksis sampai sekarang, namanya Suku Kajang. Daerah tersebut dinamakan Tanatoa atau tanah yang tertua.

Dalam video yang diunggah akun @kementerianlhk, Rabu, 17 November 2021, dijelaskan, dalam keyakinan mereka, tanah mereka merupakan yang pertama diciptakan Tuhan di muka bumi. Mereka menganggap tanah mereka sebagai warisan leluhur.

Masyarakat Kajang dicirikan dengan pakaiannya yang serba hitam. Pakaian hitam tersebut memiliki makna kebersahajaan, kesederhanaan atau kesetaraan masyarakatnya.

Pakaian hitam juga agar mereka selalu ingat akan kematian atau dunia akhir. Kesetaraan tak hanya terlihat dari pakaian, tapi juga dari rumah.

Semua rumah bentuk dan ukuran rumahnya memiliki kesamaan, kecuali rumah Ammatoa. Sebuah pemukiman warga yang mengarah ke barat.

Camat Kajang Andy Buyung Saputra mengatakan masyarakat Amatoa atau Kajang hidup dengan kearifan lokalnya. Mereka diatur oleh pasangri kajang yang mengatur sendi-sendi kehidupan masyarakat hukum adat Amatoa Kajang itu sendiri.

"Hukum adat itu bagaimana cara mereka memperlakukan Tuhan Yang Mahakuasa, bagaimana mereka harmoni dengan alam, mereka dengan pemerintah, dan mereka dengan mereka sendiri," ujar Andy dalam video.

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Hukum Adat

Suku Kajang di Bulukumba, Makassar, Sulawesi Selatan yang mengenakan pakaian hitam
Suku Kajang di Bulukumba, Makassar, Sulawesi Selatan yang mengenakan pakaian hitam (dok.YouTube/Balai PSKL Sulawesi)

Suku Kajang terkenal dengan hukum adatnya yang sangat kental dan masih berlaku hingga sekarang. Mereka menjauhkan diri dari segala sesuatu yang berhubungan dengan hal-hal moderenisasi, kegiatan ekonomi dan pemerintahan Kabupaten Bulukumba.

Pemukiman Suku Kajang ini juga terdapat wilayah hutan adat dan hutan kemasyarakatan. Hutan adat sering disebut sebagai hutan pusaka yang sifatnya keramat. Segala sesuatu yang berada di dalam hutan adat tidak boleh untuk dirusak, termasuk menebang kayu, memburu binatang, apalagi membakar hutan.

"Hutan adat tersebut disebut juga sebagai Borong Karama’ dipercaya oleh Suku Kajang memiliki nilai magis yang akan berdampak buruk pada kehidupan mereka apabila melanggar aturan-aturan itu. Sedangkan hutan kemasyarakatan memang sengaja dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat," tulis akun @kementerianlhk.

Luas hutan tersebut diperbolehkan untuk menggarap atau menebang pohon di dalamnya. Meskipun demikian, mereka diwajibkan untuk menanam terlebih dahulu bibit pohon dengan jenis yang sama sebelum ditebang. Hasil hutan itu mereka garap dan nikmati bersama masyarakat Suku Kajang.

"Dari keseluruhan wilayah yang ada, kawasan hutan merupakan yang terbesar dan terluas yang terdiri dari kawasan hutan adat, hutan lindung, dan hutan rakyat. Tanah hutan tersebut banyak mereka pergunakan untuk sektor pertanian dan perkebunan," imbuhnya.

Pemerintahan Adat

Hutan di Suku Kajang
Hutan di Suku Kajang di Bulukumba, Makassar, Sulawesi Selatan (dok.YouTube/Balai PSKL Sulawesi)

Di kawasan adat, ada pembagian tugas Karaeng atau pemerintah adat. Empat hal yang menjadi kewenangan untuk disidang secara adat, antara lain pelanggaran berupa Abbang Kaju atau menebang pohon, Rao Doang atau menjala udang, dan Tunu Bani atau memburu lebah atau mengambil madu.

Selain itu, mereka juga bisa disidang karena Tatta Uhe atau mengambil rotan. Mereka yang melanggar itu akan didenda sebesar Rp12 juta.

Ada juga empat hal yang menjadi kewenangan Karaeng atau pemimpin pemerintahan adat, yaitu Tuttu, Lahan, Rappa, Tunu Bola. Hal itu menyangkut penghinaan, perzinaan yang dilakukan oleh orang yang sudah bersuami, perampokan atau pencurian, dan perusakan atau pembakaran rumah.

 

Infografis Hutan Adat Guguk

Infografis Hutan Adat Guguk
Regional
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya