Catatan Kelam di Balik Sepiring Kuliner Jepang Berjuluk Emas Putih

Saking berharga, hidangan belut Jepang kadang-kadang dijuluki "emas putih."

oleh Asnida Riani diperbarui 19 Des 2021, 08:30 WIB
Diterbitkan 19 Des 2021, 08:30 WIB
Kuliner Jepang
Hidangan olahan belut yang merupakan salah satu kuliner Jepang. (dok. unsplash @clorisyy)

Liputan6.com, Jakarta - Dikonsumsi di seluruh dunia, belut sangat populer di Asia, terutama Jepang, di mana sisa-sisa temuan di makam menunjukkan bahwa belut telah dimakan di sana selama ribuan tahun. Meski popularitasnya bertahan lama, banyak hal tentang belut yang tetap jadi misteri.

Melansir SCMP, Minggu (19/12/2021), bagaimana tepatnya belut bereproduksi tidak jelas, dan membujuknya untuk melakukannya di penangkaran tanpa intervensi terbukti tidak berhasil sejauh ini. Tekanan pada stok liar, mulai dari polusi hingga penangkapan ikan yang berlebihan, berarti persediaan telah berkurang secara dramatis dalam beberapa dekade terakhir.

Sementara makhluk yang menggeliat itu adalah andalan masakan Jepang. Sejak abad ke-17, bahan ini tercatat paling sering disiapkan dengan gaya kabayaki: ditusuk, dipanggang, dan diolesi campuran kecap dan mirin.

Di Shizuoka, restoran Hachisuka yang berusia 66 tahun di kota Hamamatsu telah menggunakan saus yang sama selama empat dekade. "Saya menyesuaikan (rasanya). Jangan terlalu manis atau terlalu asin," ujarnya.

Sementara resepnya tetap sama, produknya tidak. Tangkapan tahunan di Jepang dari spesimen muda telah turun hingga 10 persen dari tingkat tahun 1960. Itu telah mendorong harganya melambung tinggi, bahkan di negara yang telah berjuang selama bertahun-tahun untuk mencapai inflasi.

"Hidangan unaju (belut di atas nasi) hari ini hampir tiga kali lebih mahal daripada saat saya memulainya," kata Hachisuka.

Total ada 19 spesies dan subspesies belut, yang mana banyak di antaranya sekarang terancam punah. Pada 2014, belut Jepang terdaftar sebagai hewan terancam punah oleh International Union for Conservation of Nature.

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Faktor-Faktor Penyumbang Risiko Punahnya Belut Jepang

Kuliner Jepang
Hidangan olahan belut yang merupakan salah satu kuliner Jepang. (dok. unsplash Amanda Marie)

Faktor-faktor penyumbang risiko punahnya belut Jepang termasuk hilangnya habitat, penangkapan ikan yang berlebihan, polusi, dan hambatan migrasi. Melindungi hewan itu rumit karena siklus hidup mereka yang kompleks, yang terbentang di area luas, dan banyak hal yang tidak diketahui tentang bagaimana mereka bereproduksi.

Misteri reproduksi belut telah memesona para ilmuwan selama ribuan tahun, bahkan filsuf dan naturalis Yunani kuno Aristoteles pun bingung akan hal itu. Ia berteori belut muncul secara spontan di lumpur karena ia tidak dapat menemukan jejak larva mereka.

"Kami pikir belut muncul sekitar 60 juta tahun lalu, di dekat pulau Kalimantan," jelas Mari Kuroki, asisten profesor di departemen biosains akuatik Universitas Tokyo. "Saat pergeseran benua memengaruhi arus laut dan jarak yang semakin jauh antara daerah tempat belut hidup dan bertelur, makhluk itu telah beradaptasi."

Belut sekarang hadir di setiap lautan, kecuali Antartika. Terlepas dari keberadaan mereka di mana-mana, baru pada awal abad ke-20 para ilmuwan Eropa menemukan bahwa belut Eropa dan Amerika lahir di suatu tempat di Laut Sargasso dekat Kuba, dengan larva mereka kemudian dibawa arus ke berbagai daerah.

Belut rentan terhadap berbagai perilaku manusia yang membawa bencana, dan fenomena terkait perubahan iklim seperti pola cuaca El Nino telah memengaruhi arus laut yang membawanya, serta tempat bertelurnya.

Kerusakan habitat air tawar mereka, termasuk melalui pengembangan sungai, juga memainkan peran penting, bersama polusi. Bendungan dapat memblokir rute migrasi dan belut terkadang terperangkap di turbin pembangkit listrik tenaga air, penyebab utama kematian spesies tersebut.

Dijuluki Emas Putih

Kuliner Jepang
Hidangan olahan belut yang merupakan salah satu kuliner Jepang. (dok. unsplash @jojoyuen)

Sejak 2012, para ilmuwan di empat wilayah di mana belut Jepang paling sering ditemukan telah bekerja sama dalam konservasi, menetapkan kuota akuakultur pada 2015. Namun pembatasan, termasuk larangan ekspor Uni Eropa pada 2010, telah menciptakan perkembangan pasar gelap, dengan perburuan dan perdagangan internasional.

Lebih dari 99 persen pasokan di Jepang terdiri dari belut kaca yang ditangkap atau diimpor yang dibesarkan hingga dewasa di peternakan. Peternakan negara itu melaporkan membeli lebih dari 20 ton belut kaca, celah yang menunjukkan peran perdagangan gelap.

Kelompok lingkungan WWF Jepang percaya bahwa skala sebenarnya dari masalah ini bahkan lebih besar. Pihaknya memperkirakan antara 40 hingga 60 persen belut yang dipelihara di Jepang berasal dari sumber ilegal.

Makhluk itu sangat berharga sehingga kadang-kadang dijuluki "emas putih," dengan harga yang berfluktuasi secara liar tergantung pada ukuran tangkapan. Peternakan membayar rata-rata 1,32 juta yen pada 2020 untuk satu kilo belut kaca, menurut Badan Perikanan Jepang.

Dengan turunnya stok dan naiknya harga, konsumsi belut di Jepang telah berubah, dan hidangan ini sekarang lebih dipandang sebagai camilan daripada makanan biasa. Sebuah rekor 160 ribu ton belut dikonsumsi di seluruh negeri pada 2000, tapi angka itu kini telah turun dua pertiga.

Infografis Diplomasi Lewat Jalur Kuliner

Infografis Diplomasi Lewat Jalur Kuliner
Diplomasi Lewat Jalur Kuliner (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya