Liputan6.com, Jakarta - Jepang sedang mempertimbangkan aturan baru terkait masa karantina bagi pelaku perjalanan luar negeri meski varian Omicron Covid-19 masih membayangi. Mereka ingin mereduksi durasi karantina dari tujuh hari menjadi tiga hari.
Aturan baru itu merupakan bagian dari pelonggaran kontrol perbatasan yang diperketat sejak kasus Omicron meledak di Negeri Sakura. Selain itu, Jepang juga berencana menaikkan batas jumlah pelancong yang masuk dari 3.500 menjadi 5.000 orang per hari mulai awal Maret 2022.
Advertisement
Baca Juga
Dilansir dari Japan Today, Kamis (17/2/2022), perubahan aturan baru itu menargetkan warga negara asing yang hendak memasuki Jepang bukan bertujuan untuk berwisata. Sebelumnya, aturan perbatasan Jepang dikecam karena dianggap mempersulit calon pelajar maupun karyawan memasuki negara itu.
Belakangan, para pejabat pemerintah Jepang mendiskusikan kembali sejauh mana pelonggaran pembatasan bisa dilakukan. Seorang sumber mengatakan, bila perubahan itu terealisasi, mereka cukup menjalani karantina mandiri di rumah maupun akomodasi lainnya tiga hari setelah hasil tes di hari ketiga menunjukkan negatif Covid-19.
Sumber itu juga mengatakan, pemerintah mempertimbangkan menghapus kewajiban karantina sepenuhnya bila pendatang baru itu bisa memenuhi persyaratan. Salah satunya adalah telah divaksinasi tiga kali. Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida diperkirakan akan mengumumkan detail kebijakan mereka pada hari ini.
"Kami sedang mempertimbangkan bagaimana melonggarkan langkah-langkah pengendalian perbatasan dengan mempertimbangkan bukti ilmiah yang telah tersedia mengenai jenis Omicron dan situasi infeksi yang berubah di dalam dan luar negeri," kata Kepala Sekretaris Kabinet Hirokazu Matsuno dalam konferensi pers.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Persulit Pelajar dan Karyawan
Kebijakan perbatasan Jepang dikritik oleh dunia internasional, dari perusahaan hingga pelajar, karena negara itu melarang masuk semua orang yang berstatus non-penduduk Jepang. Kebijakan yang diberlakukan sejak akhir November 2021 hingga akhir Februari 2022 itu bermaksud menekan penyebaran Omicron.
Sejak itu, hanya sedikit warga asing yang diperbolehkan memasuki Jepang. Sementara, 150 ribu pelajar asing yang memegang visa Jepang tidak bisa memasuki negara itu pada akhir tahun lalu.
Begitu pula dengan orang asing yang rencananya ditugaskan menjadi pengajar di sekolah-sekolah di Jepang. Mereka harus ggit jari tak bisa masuk ke Jepang, padahal sudah berhenti dari pekerjaan lama mereka.
Advertisement
Tren Penurunan
Di sisi lain, Ketua Panel Penasihat COVID-19 Kementerian Kesehatan, Takaji Wakita mengatakan pada Rabu, 16 Februari 2022, bahwa mengatakan lonjakan infeksi virus corona baru-baru ini di Jepang kemungkinan sudah mencapai puncaknya pada awal bulan ini. Menurut dia, data menunjukkan terjadi penurunan kasus positif Covid-19 dari minggu ke minggu, di sebagian besar kelompok usia.
Namun, ia memperingatkan kemungkinan kasus kembali melonjak kecuali angka infeksi turun lebih jauh. Dia pun meminta semua pihak tetap berhati-hati.
"Sistem perawatan kesehatan di banyak negara diperkirakan akan tetap tertekan dan tingkat hunian tempat tidur rumah sakit untuk pasien dengan gejala parah kemungkinan akan naik," katanya.
Keadaan Darurat
Saat ini, lebih dari dua pertiga dari 47 prefektur Jepang berada di bawah keadaan darurat. Hal itu memungkinkan gubernur mereka untuk meminta restoran dan bar memotong jam kerja dan berhenti menyajikan alkohol.
Di antara 21 prefektur, 15 di antaranya, termasuk Osaka dan Fukuoka, menginginkan adanya perpanjangan. Sementara, Okinawa, Yamaguchi, dan Yamagata ingin langkah-langkah tersebut berakhir sesuai jadwal.
Di samping, pemerintah setempat menunda meluncurkan suntikan booster Covid-19 sehingga jumlah kasus positif dilaporkan lebih banyak dari negara kaya lain. Varian Omicron di Jepang juga membawa lonjakan kematian tinggi, menurut laporan para ahli, demikian dikutip dari laman CNA, kemarin.
Masalah ini bisa menjadi sandungan politik bagi Perdana Menteri Fumio Kishida karena hampir 30 persen populasi di negara tersebut berusia 65 tahun atau lebih. Dengan angka tersebut, banyak warga berisiko lebih besar terinfeksi Covid-19 tanpa perlindungan booster. (Natalia Adinda)
Advertisement