Jaring Hantu Jebak Puluhan Kepiting Nyaris Punah di Tepi Pantai Singapura

Penemuan terbaru di Singapura ini jadi bukti ancaman nyata dari "jaring hantu."

oleh Asnida Riani diperbarui 28 Apr 2022, 12:04 WIB
Diterbitkan 28 Apr 2022, 12:04 WIB
Ilustrasi
Ilustrasi jaring ikan. (dok. unsplash/Jonas Jacobsson)

Liputan6.com, Jakarta - Adalah Kris Mcnab, pengunjung taman di Singapura yang mendapati jaring yang ditinggalkan dengan banyak satwa liar terjebak, Selasa, 26 April 2022. Ia pun berbagi pengalaman di dekat Dermaga Pemancingan Taman Sembawang tersebut di grup Facebook Singapore Wildlife Sightings.

Setidaknya ada 50 kepiting tapal kuda, dua ikan lele laut, ikan air tawar, kepiting bunga, dan kepiting batu yang tersangkut di jaring, Mcnab mengatakan pada Mothership, seperti dilansir Rabu, 27 April 2022. Beberapa kepiting tapal kuda tampak masih hidup ketika Mcnab melihatnya.

Ada empat spesies kepiting tapal kuda di dunia, dua di antaranya kadang-kadang ditemukan di pantai Singapura. Kepiting tapal kuda bakau terdaftar sebagai "rentan," sedangkan kepiting tapal kuda pesisir terdaftar sebagai "terancam punah," menurut Singapore Red Data Book.

Terlepas dari namanya, kepiting tapal kuda bukanlah kepiting, bahkan krustasea, melainkan lebih dekat dengan laba-laba dan kalajengking. Makhluk yang tidak berbahaya ini juga dikenal sebagai fosil hidup karena telah ada selama 400 juta tahun terakhir dan mengalami sedikit evolusi morfologi selama setidaknya 200 juta tahun.

Secara global, kepiting tapal kuda sangat dicari dan dipanen secara berlebihan untuk konsumsi manusia dan pengujian biomedis. Darah biru cerah mereka mengandung sel-sel kekebalan yang sensitif terhadap bakteri beracun. Para ilmuwan pun menggunakannya dalan pengembangan vaksin, obat-obatan, atau perangkat medis baru yang aman digunakan manusia.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Ancaman terhadap Biota Laut

Ilustrasi
Ilustrasi jaring ikan. (dok. unsplash/Isabela Kronemberger)

Populasi kepiting tapal kuda juga terancam oleh hilangnya habitat akibat pembangunan pesisir dan perubahan iklim. Mcnab bercerita masuk sedikit ke air untuk menarik jaring ke pantai. Dengan bantuan petugas kebersihan di pantai, pisau saku digunakan untuk melepaskan sebanyak mungkin makhluk laut dari jaring.

Ia mengatakanm jaring telah diletakkan di seberang pantai dan ditimbang menggunakan botol dan batu. Itu juga diikat ke tong biru di kejauhan. Jaring yang ditinggalkan itu diperkirakan sudah ada di sana selama setidaknya satu hari penuh, karena baunya sangat menyengat dari ikan lele yang membusuk.

Mcnab percaya bahwa jaring tersebut setidaknya memiliki panjang 30 hingga 50 meter. "Saya tidak dapat mengambil sisanya (jaring) karena risiko air dalam," kata Mcnab.

Total, seluruh operasi untuk memotong jaring dan melepaskan satwa liar itu memakan waktu tidak kurang dari dua jam. Mcnab bercerita bahwa dirinya telah mengambil beberapa jaring yang ditinggalkan sejak 2020.

Menghindari Pakai Jaring

Ilustrasi
Ilustrasi jaring. (dok. unsplash @gilb)

Dalam kurun waktu tiga tahun terakhir, Mcnab mengatakan bahwa ia melihat peningkatan jaring dan jaring apung yang ditingalkan di sepanjang bentangan pantai antara Sembawang Beach Park dan Sembawang Water Venture Club.

Ia mengunjungi taman setidaknya sekali setiap dua minggu untuk memancing dan bersepeda bersama keluarganya. Padahal, memancing hanya diperbolehkan di zona tertentu di Sembawang Beach Park, yang merupakan salah satu dari 12 wilayah pesisir yang dikelola Badan Taman Nasional Singapura (NParks). Namun, memancing dengan jaring tidak diperbolehkan.

Pemancing harus menghindari menggunakan jaring karena merupakan metode penangkapan ikan yang merusak, saran NParks. Mereka cenderung menjebak satwa laut yang tidak jadi sasaran, seperti lumba-lumba, hiu, dan penyu yang mungkin tenggelam setelah ditangkap.

NParks mengingatkan anggota masyarakat untuk melepaskan jaring ikan dan perangkap kawat dari pantai atau terumbu dangkal setelah memancing karena dapat menjebak dan membunuh banyak hewan, terutama saat air laut surut.

Jaring Hantu

Ilustrasi
Ilustrasi jaring. (dok. unsplash @sai_abhinivesh)

Isu jaring yang ditinggalkan, atau juga populer dengan sebutan "jaring hantu," sebenarnya sudah jadi isu global. Keberadaannya bahkan acap kali dianggap sebagai ancaman lain keberlangsungan hidup biota laut.

Pada 2019, Green Peace memperkirakan ada 640 ribu ton peralatan penangkapan ikan yang ditinggalkan atau hilang, atau 'peralatan hantu', memasuki lautan setiap tahun, seperti dilansir dari situs webnya. Secara total, mereka membuat sekitar 10 persen dari sampah plastik di lautan, menjerat dan membunuh kehidupan laut.

Dalam laporannya, mereka mencatat, enam persen dari semua jaring yang digunakan, 9 persen dari semua perangkap, dan 29 persen dari semua pancing (tali pancing yang panjangnya beberapa kilometer) tetap jadi polusi di laut. Tidak hanya peralatan penangkapan ikan yang tinggalkan erus membunuh kehidupan laut, tapi juga merusak habitat bawah laut secara serius.

Pihaknya pun menyerukan tindakan lebih kuat melawan "jaring hantu" yang mematikan untuk diterapkan, termasuk kesepakatan Perjanjian Laut Global di Perserikatan Bangsa-Bangsa yang dapat melindungi setidaknya 30 persen lautan dunia pada 2030. Ini termasuk dengan melarang aktivitas manusia yang berbahaya, termasuk industri perikanan.

Infografis: Bumi Makin Panas, Apa Solusinya? (Liputan6.com / Abdillah)
Infografis: Bumi Makin Panas, Apa Solusinya? (Liputan6.com / Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya