Liputan6.com, Jakarta - KTT Perubahan Iklim (COP27) di Sharm el-Sheikh, Mesir, berakhir pada Jumat (18/11/2022). Hampir 200 negara berebut membangun konsensus tentang serangkaian masalah penting untuk mengatasi krisis iklim.
Badan Iklim PBB (UNFCCC) pada Kamis, 17 November 2022, menerbitkan draf pertama setebal 20 halaman dari kesepakatan akhir yang diharapkan. Draf itu kemungkinan akan digarap ulang beberapa hari mendatang karena utusan iklim berusaha untuk mencapai kesepakatan menyeluruh sebelum batas waktunya, yakni hari ini.
Advertisement
Baca Juga
Dikutip dari CNBC, isi draf yang disebut 'non-makalah' itu banyak mengulang kesepakatan dalam Pakta Iklim Glasgow tahun lalu, termasuk mengejar upaya untuk membatasi kenaikan suhu global hingga 1,5 derajat Celcius dan menyerukan upaya berkelanjutan untuk "mengurangi" penggunaan batubara. Namun, itu tidak mendorong pengurangan bertahap untuk semua bahan bakar fosil, seperti yang diminta India dan Uni Eropa.
Draf PBB itu juga 'menyambut' kesepakatan yang memasukkan 'pembayaran kerugian dan kerusakan' sebagai salah satu agenda bersama untuk pertama kalinya. Namun, tak ada penjelasan detail bagaimana membuat fasilitas pendanaan untuk membayar kerugian dan kerusakan tersebut, masalah yang sangat memecah belah dan emosional yang dipandang sebagai pertanyaan mendasar tentang keadilan iklim.
Para juru kampanye lingkungan bereaksi negatif terhadap isi draf tersebut, yang kemungkinan akan sangat berbeda dari kesepakatan politik akhir. "Ketika dampak krisis iklim dan ketidakadilan semakin cepat, kehidupan, mata pencaharian, budaya, dan bahkan seluruh negara hilang, draf catatan sampul terbaru dari Kepresidenan COP27 mendorong pedal gas ke jalan neraka iklim," kata Yeb Saño, direktur eksekutif Greenpeace Asia Tenggara, dalam sebuah pernyataan.
Pernyataan itu menggemakan peringatan keras dari Sekjen PBB Antonio Guterres awal bulan ini. Berbicara di awal konferensi COP27 dua minggu lalu, Guterres mengatakan umat manusia "di jalan raya menuju neraka iklim dengan kaki kita masih menginjak pedal gas".
Â
Â
Â
Â
Tutup Paviliun Indonesia
Keberhasilan pembicaraan yang ditengahi PBB itu bergantung pada persetujuan para pembuat kebijakan membentuk aliran pendanaan baru untuk mendukung korban bencana iklim dan memangkas emisi pemanasan planet. Seruan meningkat kepada negara-negara kaya agar memberi kompendasi kepada negara-negara yang rentan karena semakin sulit bagi banyak orang untuk hidup dengan aman di planet yang memanas.
Negara-negara kaya, meskipun menyumbang sebagian besar emisi gas rumah kaca historis, telah lama menentang pembentukan dana untuk mengatasi kerugian dan kerusakan. Sementara itu, Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Alue Dohong menutup Paviliun Indonesia di COP27 pada Kamis malam, 17 November 2022, waktu Mesir. Paviliun itu selama kurang lebih dua pekan memberikan showcase kebijakan dan aksi penanganan perubahan iklim.
"Paviliun Indonesia menunjukkan apa yang telah kita lakukan dalam negosiasi global dan menyajikan berbagai pembelajaran dari lapangan dan berbagai pemangku kepentingan," kata Wamen Alue.
Sesi Paviliun Indonesia tidak hanya digelar secara luring, tetapi juga daring agar informasi bisa disampaikan secara global. Dia menyatakan sharing informasi dan pemikiran tentang program pengendalian perubahan iklim terjadi antara Indonesia dan pihak lain, termasuk menjabarkannya dengan berbagai upaya kepada masyarakat nasional, regional, dan global.
"Kami telah menyuarakan aksi, strategi, dan inovasi Indonesia kepada dunia internasional, sebagai wujud nyata dari bersama-sama memimpin aksi iklim untuk mencegah kenaikan suhu global sebesar 1,5 derajat Celcius," ujarnya.
Â
Â
Advertisement
Isu yang Diangkat
Selain FoLU NET SINK 2030, Paviliun Indonesia juga membahas berbagai aspek, termasuk implementasi NDC menuju Net Zero Emission 2060, pembiayaan iklim untuk pembangunan berkelanjutan, peluang dan tantangan perubahan iklim dan ekosistem. Isu lain juga dibahas, seperti pengelolaan kebakaran hutan, gender dalam perubahan iklim, memanfaatkan solusi berbasis alam, pengelolaan mangrove yang terintegrasi dan berkelanjutan, aksi iklim yang inklusif dan kolaboratif, pengelolaan lahan gambut berkelanjutan, dan pengelolaan sampah plastik.
"Kami tidak ingin pembahasan isu-isu tersebut berhenti pada penutupan Paviliun Indonesia di COP27 UNFCCC. Kita harus melanjutkan diskusi kita dan menerapkan apa yang kita tangani untuk melangkah maju mencapai emisi gas rumah kaca sebesar 31,89 persen tanpa syarat, dan 43,20 persen bersyarat pada tahun 2030, sebagaimana tercantum dalam NDC Enhanced Indonesia," ujar Alue.
Dalam laporannya, Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari (PHL) KLHK, sekaligus Ketua Penyelenggara Paviliun Indonesia, Agus Justianto, menyampaikan Paviliun Indonesia telah menyelenggarakan total 66 sesi dengan 323 narasumber. Para narasumber terdiri dari 220 penutur laki-laki dan 103 penutur perempuan; serta 238 pembicara Indonesia dan 85 pembicara internasional.
Â
Â
3.500 Delegasi
Tahun ini, Paviliun Indonesia mencetak rekor baru. Dibandingkan penyelenggaraan di COP26 Glasgow yang menggelar 51 sesi diskusi, Paviliun Indonesia di Mesir menambah 15 sesi. Hal ini, kata Agus, dapat mengindikasikan bahwa para pemangku kepentingan mempresentasikan aksi iklim mereka yang lebih kuat, sejalan dengan tema Paviliun Indonesia tahun ini "Bersama untuk Aksi Iklim yang Lebih Kuat".
"Apalagi dilihat dari jumlah peserta, kami perkirakan Paviliun Indonesia telah dikunjungi lebih dari 3500 delegasi," ujarnya.
Paviliun Indonesia telah memberikan contoh terbaik dari Indonesia kepada dunia, mendorong semua pemangku kepentingan untuk bekerja sama dalam aksi iklim. Aktor negara dan aktor non-negara, sebut dia, telah menunjukkan upaya terbaiknya, mulai dari level akar rumput hingga CEO dan Menteri.Â
"Paviliun Indonesia telah menjalankan soft diplomacy untuk mengiringi hard diplomacy yang dijalankan Indonesia pada COP-27 UNFCCC," kata Alue, dikutip dari Antara.
Advertisement