Liputan6.com, Jakarta - Penggundulan lahan untuk pembangunan Ibu kota Nusantara seluas 400 hektare di Kalimantan Selatan disebut dapat jadi bencana ekologis. Juru kampanye hutan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI),Uli Arta Siagian, bahkan menyebut bencana ekologis ini berpotensi terjadi secara "masif."
Melansir ABC News, Kamis, 12 Januari 2023, dengan konstruksi yang akan meningkat tahun ini, para pencinta lingkungan telah memperingatkan pembangunan ibu kota baru akan mempercepat penggundulan hutan di salah satu bentangan hutan hujan tropis terbesar dan tertua di dunia, yang diperkirakan berusia lebih dari 100 juta tahun.
Advertisement
Baca Juga
Perubahan drastis pada topografi daratan dan bencana akibat ulah manusia yang mengikutinya akan "lebih parah dan jauh lebih sulit untuk dimitigasi dibandingkan bencana alam," kata Uli.
Selain itu, penggundulan hutan besar-besaran juga akan mengancam keanekaragaman hayati di wilayah yang merupakan rumah bagi ribuan spesies hewan dan tumbuhan. Pulau terbesar ketiga di dunia itu hingga saat ini disebut sebagai "paru-paru dunia." Hutan tersebut juga sebagai rumah bagi bekantan, macan dahan, beruk, kalong, dan badak.
Sebelumnya, Indonesia juga memiliki salah satu tingkat deforestasi tertinggi di dunia terkait pertambangan, pertanian, penebangan, dan mengizinkan perusahaan beroperasi di Kalimantan dengan sedikit pengawasan.
Ibu kota Nusantara akan menggantikan Jakarta sebagai pusat politik Indonesia pada akhir 2024. Pada 2045, pemerintah Indonesia mengatakan Nusantara akan menampung 1,9 juta penduduk, lebih dari dua kali warga Balikpapan, mengimpor gelombang aktivitas manusia dan industri ke jantung Kalimantan.
Proyek Alam
Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah mengajukan gambaran visi tentang "kota hijau" dengan menyediakan kendaraan bus listrik untuk berpergian. Hal ini juga sempat disebutkan pakar perencanaan infrastruktur dan transportasi, Bambang Susantono, dalam presentasi rencana awal Ibu Kota Nusantara.
Ia juga menjanjikan netralitas karbon pada tahun 2045 di tempat yang disebutnya sebagai "kota hutan lestari pertama di dunia." Arsitek Sofian Sibarani, yang bertanggung jawab untuk membuat rencana induk ibu kota baru, menguraikan mulai dari peta jalan hingga sistem transit.
Ia bersikeras bahwa rencananya mempertimbangkan perubahan minimum terhadap lingkungan. "Kami mencoba menciptakan kota yang dapat bekerja bersama alam daripada melawannya," katanya.
Dalam rencana tersebut, Sofian mengungkap pembuatan parlemen, rumah pekerja, bendungan, masjid agung, dan istana presiden berbentuk burung mitos Garuda yang menjulang tinggi di Ibu Kota Nusantara. Ia merupakan arsitek yang terpilih pada sayembara desain ibu kota negara (IKN) yang diselengarakan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) dengan desain Nagara Rimba Nusa.
Advertisement
Menghapus Jejak Suku
Dampak negatif lain, Nusantara juga berpotensi menggusur komunitas adat yang sudah berumur beberapa generasi. Hal ini jadi kekhawatiran Sibukdin, pemangku suku Balik, yang menyebut ketika kota baru dibangun, itu akan mengusir sejumlah rakyatnya.Â
Seperti kelompok adat lain di Kalimantan, ribuan anggota suku Balik mengandalkan hutan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sibukdin mengatakan bahwa lebih dari 90 persen hutan yang tadinya digunakan masyarakat adat untuk berburu dan mencari makan itu sudah hilang sejak tahun 1970-an. Â
Tidak hanya itu, pemakaman suku terdekat juga telah dihancurkan karena proyek bendungan, membuatnya dan warganya patah hati. "Itu menghapus jejak kami," katanya.Â
Terkait hal ini, para pejabat negara telah berjanji menghormati hak-hak adat dan memberikan kompensasi pada mereka yang terdampak pembangunan ibu kota Nusantara. Pejabat provinsi mengatakan bahwa mereka akan memverifikasi semua klaim tanah dan hanya menerima bukti kepemilikan.
Namun, kata Sibukdin, belum semua wilayah suku Balik diakui secara formal oleh pemerintah.
Tidak Ada Tempat bagi Hewan
Eka Permanasari, profesor desain perkotaan di Universitas Monash Indonesia, mengingatkan bahwa masih banyak PR yang harus diselesaikan pemerintah Indonesia terkait pembangunan ibu kota Nusantara, yaitu kawasan hidup orangutan.
Eka menyebut, rumah primata itu sudah ditandai untuk pembangunan IKN dan telah diambil secara "ilegal." "Tambang dan spekulan tanah, mereka telah mengambil tempat kami," kata kepala eksekutif Borneo Orangutan Survival Foundation (BOSF), Jamartin Sihite.
Sementara, Bambang menyebut, tahapan pertama pembangunan Ibu kota akan selesai tahun depan, tapi kota tersebut tidak akan selesai selama beberapa dekade. Proyek ini menelan dana fantastis, yaitu Rp466 triliun dengan pajak yang diperkirakan akan mencakup sekitar 20 persen.Â
Sekretaris otoritas IKN, Achmad Adiwijaya, menyebutkan, Indonesia telah mendapatkan dukungan dari tiga pengembang properti untuk mendanai perumahan senilai Rp41 triliun. Saat ini, pihaknya sedang merayu calon investor, termasuk Arab Saudi dan China, dengan keringanan pajak untuk menutupi biayanya. Â
Salah satu investor, yaitu konglomerat teknologi Jepang SoftBank, telah menarik dukungannya untuk proyek tersebut pada Maret 2022. Ini dinilai jadi salah satu tantangan dalam menemukan calon investor baru saaat Jokowi meninggalkan jabatannya tahun depan.
Advertisement