Liputan6.com, Jakarta - Inovasi di bidang kuliner terus berjalan, termasuk penggunaan serangga sebagai bahan dasar dalam berbagai resep. Pendekatan ini mungkin terdengar ekstrem dan sulit diterima oleh sebagian orang, sebab serangga umumnya tidak dianggap sebagai makanan dan seringkali dihubungkan dengan sesuatu yang kotor atau tidak higienis.
Namun bagi Takumi Yamamoto, serangga justru menjadi komponen makanan yang menarik. Selama liburannya di Tokyo, ia memilih untuk menikmati makan siang dengan menu spesial kari jangkrik dan sashimi ulat sutra, yang disempurnakan dengan tambahan sari kutu air.
Dilansir dari CNN Travel pada Rabu, 26 Juli 2023, Yamamoto, seorang pegawai kantoran berusia 26 tahun dari Prefektur Hyogo, merupakan salah satu dari konsumen global yang mulai tertarik dengan entomophagy, yaitu praktek memakan serangga. Hal itu seiring dengan serangga yang semakin diakui sebagai sumber makanan yang berkelanjutan.
Advertisement
Yamamoto mengungkapkan bahwa saat masih kecil, ia biasa makan camilan berupa belalang yang dilumuri dengan kecap. Saat berada di Tokyo, ia menikmati berbagai sajian serangga di kafe Take-Noko, sebuah tempat yang sepenuhnya didedikasikan untuk serangga.
"Memilih dari berbagai pilihan hidangan itu merupakan hal yang menyenangkan," kata Yamamoto, saat berada di kafe yang berlokasi di lantai dua dan dikelilingi oleh karya seni berbasis serangga serta terarium yang berisi berbagai jenis kumbang, semut, dan kecoak yang bergerak bebas.
"Semua menu rasanya enak. Sari kutu air secara khusus sangat menyegarkan dan nikmat, mirip dengan rasa apel hijau."
Entomophagy mulai mendapatkan pengakuan global setelah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menetapkan serangga sebagai sumber protein berkelanjutan yang dapat memberi makan populasi dunia yang diperkirakan akan mencapai 9,7 miliar pada 2050.
Fenomena Memakan Serangga
Walaupun konsep memakan serangga mungkin tampak menjijikkan bagi sebagian orang, tetapi di Jepang, serangga telah menjadi komponen penting dalam sejarah kuliner mereka. Faktanya, pilihan makanan ini bukanlah hal baru dan telah dipraktikkan selama berabad-abad.
Spesies seperti belalang, ulat sutra, dan tawon telah dikenal sebagai bagian integral dari diet tradisional di daerah-daerah pedalaman di Jepang, tempat daging dan ikan bisa menjadi barang langka. Menurut Michiko Miura, manajer kafe Take-Noko, kebiasaan ini menjadi lebih umum terutama selama dan setelah Perang Dunia II, saat kelangkaan pangan membuat masyarakat mencari alternatif sumber makanan.
Dengan memanfaatkan sumber protein yang mudah ditemukan dan berlimpah, masyarakat bisa memenuhi kebutuhan nutrisi mereka meski dalam situasi pangan yang sulit.
"Baru-baru ini, ada kemajuan dalam beternak serangga seperti jangkrik dan ulat bambu untuk konsumsi manusia, sehingga potensi untuk menggunakan serangga sebagai bahan makanan semakin luas," lanjutnya.
Beberapa perusahaan, termasuk produsen roti nasional Pasco, sudah memasarkan produk kue dan snack yang menggunakan tepung jangkrik. Selain itu, perusahaan makanan olahan Nichirei dan perusahaan telekomunikasi Nippon Telegraph dan Telepon juga telah berinvestasi dalam industri serangga dalam tahun terakhir ini.
Advertisement
Konsep Kuliner Unik
Kafe Take-Noko telah berhasil menarik minat yang luas dari berbagai konsumen. Menurut Michiko Miura, manajer kafe, tempat ini sering kali dipenuhi dengan reservasi, khususnya selama akhir pekan, menandakan bahwa konsep unik mereka dalam menyajikan hidangan berbasis serangga sedang diminati banyak orang.
Menu andalan mereka termasuk kari dengan jangkrik yang disajikan dalam bentuk bakso atau garnish kering. Selain itu, mereka juga menawarkan sashimi yang terbuat dari sisa-sisa ulat sutra yang memiliki tekstur lembut. Minuman yang mereka tawarkan juga unik, seperti sari yang diperkaya dengan ekstrak kutu air dan dihiasi dengan serangga utuh di atasnya, yang menurut beberapa penikmat memiliki rasa yang mirip dengan udang.
Restoran ini adalah realisasi dari visi Takeo Saito, yang mendirikan perusahaan Takeo Inc sembilan tahun lalu. Sejak saat itu, Saito telah mengembangkan usahanya hingga mencakup bisnis makanan kemasan yang menawarkan lebih dari 60 jenis hidangan yang dibuat dari arthropoda, mulai dari kalajengking hingga tarantula.
Melalui konsep kulinernya yang inovatif, Saito berhasil mengubah pandangan masyarakat terhadap serangga sebagai sumber makanan dan mempopulerkan entomophagy di Jepang. "Tujuan kami bukanlah membuat serangga menjadi sesuatu yang terpisah, namun untuk dapat dinikmati bersama dengan sayuran, ikan, dan daging di atas meja yang sama," ujar Saito.
Izin Mengonsumsi Serangga
Sementara itu, melansir kanal Global Liputan6.com pada 8 April 2023, Badan Pangan Singapura (SFA) telah mengizinkan konsumsi 16 spesies serangga, termasuk jangkrik dan belalang, pada paruh kedua 2023. Persetujuan ini berdasarkan kriteria keamanan pangan, termasuk proses perlakuan untuk mengeliminasi patogen serta memastikan bahwa pengemasan dan penyimpanan dilakukan dengan cara yang aman untuk mencegah kontaminasi.
Kebijakan konsumsi serangga diputuskan setelah SFA mengadakan latihan konsultasi publik dari 5 Oktober hingga 4 Desember 2022 tentang regulasi serangga dan produk serangga. SFA mengatakan bahwa pada Oktober 2022 bahwa pihaknya telah melakukan tinjauan ilmiah dan menilai bahwa spesies serangga tertentu yang memiliki riwayat dikonsumsi manusia dapat dimakan, baik secara langsung maupun dibuat menjadi makanan ringan.
Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) dalam beberapa tahun terakhir telah mempromosikan konsumsi serangga untuk manusia dalam upaya memberi makan populasi dunia yang terus bertambah dengan cara yang lebih terjangkau dan berkelanjutan.
Selain serangga, SFA mengatakan akan juga mengizinkan ulat sutera untuk dikonsumsi manusia. Ulat sutera telah dikonsumsi di China, Malaysia, dan sejumlah tempat lain. Ulat sutera menghasilkan kepompong dengan benang sutera, yang terdiri dari dua protein utama, yang dikenal sebagai sericin dan fibroin.
SFA mengatakan, akan mengizinkan fibroin dari kepompong ulat sutera untuk dikonsumsi, mengingat protein tersebut telah disetujui di Korea Selatan dan Jepang, serta secara umum diakui aman oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat.
Advertisement