Liputan6.com, Jakarta - Susi Pudjiastuti, Menteri Kelautan dan Perikanan periode 2014--2019, dengan tegas menyatakan laut sebagai "massive property" atau aset besar, dan tindakan yang merusaknya sebenarnya berarti merusak Bumi.
Menurutnya, kerjasama dan koordinasi yang sehat diperlukan antara berbagai pihak untuk mencapai kesamaan dalam cita-cita, tujuan, dan misi perubahan iklim. Ini mencakup pemerintah, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), masyarakat sipil, komunitas wanita, wartawan, dan terutama korporasi (industri).
Baca Juga
"Industri mungkin penting bagi negara dalam menghasilkan pendapatan, tapi kita juga harus mempertimbangkan dampak lingkungan yang diakibatkannya. Contohnya, di Danau Toba, kita berusaha menjadikannya tempat wisata yang bersih dengan membangun keramba-keramba oleh masyarakat," kata Susi saat menjadi pembicara utama dalam diskusi Green Press Community (GPC) yang diadakan oleh Masyarakat Jurnalis Lingkungan Indonesia (SIEJ) di Gedung Pusat Perfilman Usmar Ismail, Jakarta Selatan, pada Kamis, 9 November 2023.
Advertisement
Namun, Susi mengingatkan bahwa seringkali masyarakat lupa bahwa ada juga korporasi besar yang terlibat dalam budidaya di sana. "Bahkan semakin besar (korporasi itu) setelah petani kecil kehilangan lahan mereka, dan ini berdampak pada lingkungan," Lanjut Susi dalam diskusi bertema "Narasi Media dan Peran Perempuan dalam Konservasi Laut dan Pesisir."
Susi menyoroti fakta bahwa Danau Toba akhirnya tercemar oleh aktivitas industri, sehingga kualitas airnya pun terganggu. Ia juga mengingatkan bahwa pengusaha harus memiliki pemahaman tentang dampak lingkungan dari operasional mereka, dan bukan hanya fokus pada eksplorasi sumber daya alam tanpa pertimbangan yang memadai.
Â
Ajakan Menanam Pohon
Untuk mengatasi masalah ini, ia menekankan perlunya kesatuan tindakan dengan partisipasi masyarakat sipil dalam perundingan dengan pemegang kepentingan, pihak adat, dan tentu saja, para pengusaha yang memanfaatkan sumber daya alam itu.
Selain memberikan fokus pada masalah laut di Indonesia, Susi Pudjiastuti juga mengajak seluruh masyarakat Indonesia untuk berpartisipasi aktif dalam upaya penanaman pohon setiap harinya sebagai bagian dari kampanye nyata dalam menghadapi perubahan iklim yang mengakibatkan masalah seperti kekeringan dan ketidakstabilan lingkungan.
"Penduduk kita mencapai 270 juta jiwa. Jika setiap orang minimal menanam satu pohon sehari, dan minimal 30 juta orang turut serta dalam gerakan ini, saya yakin kita dapat menghindari kekeringan, serta pentingnya kesadaran kita dalam penggunaan air untuk menyiram tanaman," ujarnya.
Ia menjelaskan bahwa saat ini suhu bumi terus meningkat sebagai dampak dari perubahan iklim. Selain itu, ia menambahkan bahwa kenaikan suhu udara, musim kemarau yang berkepanjangan, dan pola curah hujan yang tak teratur di Indonesia belakangan ini, semuanya merupakan tanda-tanda masalah yang disebabkan oleh kerusakan lingkungan dan nafsu manusia yang berlebihan dalam mengeksploitasi kekayaan alam.
"Suhu panas yang semakin tinggi ini sangat erat kaitannya dengan perubahan iklim. Seharusnya bulan ini sudah masuk musim hujan. Dulu, suhu saat musim kemarau hanya mencapai 19--20 derajat Celsius, namun sekarang suhu bisa mencapai 27 derajat," paparnya.
Advertisement
Keserakahan Korporasi di Pulau Pari
Sementara itu, selain Susi, terdapat Asmania, seorang anggota Penggerak Kelompok Perempuan Pulau Pari, yang juga secara aktif berjuang melawan ketidakadilan dari korporasi yang merugikan kekayaan lingkungan Pulau Pari. Pada kesempatan yang sama, ia berbicara tentang pengalaman warganya di daerahnya yang hanya berjarak dua kilometer dari Ibu Kota Jakarta, yang menjadi korban keserakahan korporasi.
Asmania menceritakan bagaimana warga di Pulau Pari, terutama para perempuan, memiliki tekad bulat untuk menjaga kelestarian lingkungan laut dan pesisir karena laut adalah sumber kehidupan bagi sebagian besar penduduk pulau yang berprofesi sebagai nelayan.
Dia menjelaskan bahwa penduduk pulau telah melakukan berbagai usaha untuk melestarikan lingkungan, terutama ekosistem laut, dengan secara rutin menanam mangrove di daerah pesisir.
"Kami perempuan-perempuan Pulau Pari berkomitmen menanam mangrove setiap bulannya. Terakhir kami juga menanam 6 ribu mangrove bersama wisatawan," kata wanita yang akrab disapa Teh Aas tersebut.
Namun, kata dia, upaya tersebut seolah tidak ada artinya lantaran reklamasi besar-besaran yang terjadi yang dilakukan oleh Artha Graha Group. Pada akhirnya, ekosistem laut akan tetap rusak dan warga pun kehilangan mata pencahariannya.
"(Reklamasi) karena disitu ada tumbuhan, rumput laut yang kami tanam, ada ikan dan tambak yang kami budidaya disana. Tapi itu mati dan dari KLHK tidak bisa kasih kami info izin apa yang mereka (korporasi) dapatkan untuk bisa melakukan reklamasi," katanya tersedu-sedu.
Belum Ada Respons dari Pemerintah
"Dalam situasi seperti ini," lanjutnya, "perempuan di Pulau Pari menghadapi beban ganda. Kami harus bekerja sama untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari kami."
Asmania menjelaskan bahwa mereka telah berupaya untuk menyampaikan masalah ini kepada berbagai pihak yang relevan, termasuk Dinas Cipta Karya, Tata Ruang, dan Pertanahan Provinsi DKI Jakarta, serta KLHK. Namun, sayangnya, upaya-upaya ini belum menghasilkan perubahan yang positif. Hal ini membuatnya menduga bahwa pemerintah cenderung mendukung korporasi-korporasi yang mendorong reklamasi.
Lebih lanjut, Asmania menceritakan bagaimana perusahaan-perusahaan tersebut memberikan tekanan kepada warga Pulau Pari. Bahkan, menurutnya, tekanan ini dilakukan dengan cara yang tidak pantas, terutama di Indonesia yang telah merdeka selama 78 tahun.
"Perusahaan-perusahaan ini seperti menggunakan taktik adu domba," kata Asmania. "Mereka mencoba memecah belah warga Pulau Pari dari berbagai wilayah. Banyak teman kami yang direkrut menjadi petugas keamanan, dipekerjakan oleh perusahaan. Akibatnya, banyak di antara kami yang tidak lagi sejalan dalam perjuangan kami," ujarnya sambil berusaha menahan tangis.
Namun, Asmania menegaskan bahwa warga Pulau Pari tetap akan berjuang untuk bertahan di tanah kelahiran mereka, dengan tekun terus menanam mangrove. "Kami percaya bahwa dengan menanam mangrove, kami melancarkan bentuk perlawanan kami. Kami tidak akan menjadi budak di tanah air kami sendiri," tegasnya.
Advertisement