Liputan6.com, Jakarta - Industri kecantikan Indonesia masih menjanjikan. Banyak brand-brand baru yang bermunculan. Beberapa mengklaim sebagai brand lokal walau ternyata produk yang dijual tidak diproduksi di dalam negeri, bahkan tidak ada komponen dalam negeri dalam produk yang dijualnya.
Sebagai salah satu brand kosmetik lokal yang eksis selama puluhan tahun, bagaimana Wardah mendefinisikan arti brand lokal?
Baca Juga
"Kalau kami sebagai brand lokal, kami adalah brand yang diproduksi di dalam negeri, didistribusikan di dalam negeri, dengan tenaga kerja 100 persen dari Indonesia," ujar Findi Novia Lusintasari, Halal Beauty Decorative Marketing Group Head Wardah, ditemui di sela Wardah Colourverse 2025 di Jakarta, Minggu (16/2/2025).
Advertisement
Dengan definisi tersebut, Findi meyakini pemilik brand kosmetik lokal yang tidak memproduksi barang-barangnya di dalam negeri tidak bisa dikategorikan sebagai brand lokal. Ia pun berharap konsumen bisa semakin cerdas dan kritis dalam menanggapi produk yang mengaku sebagai brand lokal.
"Di era digital semakin cepat, informasi semakin mudah diterima, konsumen bisa lebih cerdas untuk melihat mana informasi yang benar dan mana informasi yang salah gitu. Jadi, tidak serta-merta hanya menerima informasi dan ditelan gitu aja. Tentu bisa lebih selektif, bisa lebih memahami sebenarnya kalau brand ini itu brand apa," sambungnya.
Di sisi lain, ia berharap ada kesadaran dari para brand lokal untuk memahami dampak dari basis produksi di dalam negeri. "Harapannya dengan kita sama-sama mendukung brand lokal, sehingga kan industri Indonesia semakin maju. Dan tentunya itu juga akan kembali kepada perputaran ekonomi di Indonesia," ujarnya.
Brand Lokal Perlu Integritas
Findi menyatakan dalam menjalankan bisnis apapun, integritas menjadi hal yang utama. Hal itu merupakan salah satu syarat agar bisnis yang dijalankan bisa berkelanjutan.
"Kalau dari kami, kami sangat menjunjung integritas. Setiap produk yang memang di-launching sudah lulus uji. Semua produk yang sudah di-launching sudah dipastikan keamanannya," katanya.
Ia juga memastikan bahwa seluruh klaim yang diberikan sesuai dengan apa yang ada pada produk tersebut. Terlebih, konsumen semakin cerdas berbekal akses informasi yang melimpah.
Selain itu, pihaknya terus berinovasi agar bisa terus menjawab kebutuhan para konsumennya. Kehadiran banyak brand lokal memotivasi Wardah untuk tidak serta merta puas dengan capaian yang didapat saat ini. Semakin banyak pemain lokal yang diterima oleh konsumen lokal bisa membuat brand lokal menjadi tuan rumah di negeri sendiri.
"Kita juga senang melihat beauty-beauty brand lokal yang tumbuh di Indonesia. Bahkan, beberapa juga sudah ada yang mulai ekspansi," katanya.
Advertisement
Keberlanjutan Lingkungan Makin Dituntut Konsumen
Secara terpisah, kesadaran akan pentingnya keberlanjutan lingkungan makin meningkat di antara konsumen Indonesia. Hal itu berdampak pada tuntutan tentang bagaimana produsen, termasuk brand lokal, semestinya beroperasi. Mereka yang hanya mengejar cuan dengan mengabaikan tanggung jawab pada lingkungan makin lama makin ditinggalkan.
"Inisiatif produk yang sustainable dan berdampak secara socio-environment akan jadi sorotan pada 2025. Konsumen sudah tidak lagi hanya akan fokus ke kualitas produk, namun juga yang memiliki nilai, terutama yang sesuai gaya hidup mereka," kata Achmad Alkatiri, CEO Hypefast, perusahaan yang mengelola sejumlah brand lokal, dalam rilis yang diterima Lifestyle Liputan6.com, beberapa waktu lalu.
Ia memprediksi bahwa pada 2025, regulasi keberlanjutan di negara-negara ekonomi besar dunia akan semakin diperketat, yang mendorong percepatan agenda lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG) di perusahaan-perusahaan. Analisisnya sejalan dengan data Kantar's Creator Digest, perusaha data dan analitik pemasaran terkemuka di dunia, yang menyebut bahwa 93 persen konsumen ingin menjalani gaya hidup yang lebih berkelanjutan.
Transparansi Jadi Kunci
Temuan itu didukung naiknya popularitas tren You Only Need One (YONO), menggantikan YOLO alias You Only Live Once, di kalangan Gen Z. Melansir dari sejumlah sumber, tren YONO mengajak orang-orang untuk menjalani hidup dengan berpikir lebih kritis dan bijak, terutama dalam membeli sesuatu, yang didorong faktor ekonomi dan kesadaran terhadap lingkungan.
Prinsipnya adalah lebih baik memiliki satu barang saja dan tidak berlebihan dibandingkan membeli karena populer. Hal itu agar pelakunya dapat mencapai stabilitas keuangan dan mengurangi stres akibat finansial.
Menyadari hal itu, Achmad menyarankan agar perusahaan semakin transparan dalam mengomunikasikan rantai pasoknya. Wujud keberlanjutan juga dilihat lewat penggunaan kemasan yang lebih ramah lingkungan dan tindakan konkret brand lainnya terhadap tujuan keberlanjutan.
Perihal komunikasi dengan calon konsumen juga tak bisa dianggap sepele. Mengutip studi Kantar, efektivitas konten iklan menurun signifikan, hingga 11 persen pada 2024. Achmad menilai tren penurunan itu akan berlanjut pada tahun ini yang akan membawa tingkat urgensi yang jauh lebih besar bagi brand dan pemilik bisnis untuk mulai mengevaluasi identitas dan komunikasi brand mereka sendiri dan memikirkan ulang cara berinteraksi dengan basis pelanggan.
Advertisement
