Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah Indonesia terus berupaya untuk membebaskan tenaga kerja Indonesia (TKI) Satinah binti Jumadi Amad yang terancam hukuman pancung Arab Saudi karena membunuh majikannya. Pemerintah terus negosiasi supaya keluarga warga Arab yang dibunuh mau menerima diyath atau uang pengampunan sebesar 4 juta riyal dari 7 juta riyal atau Rp 12 miliar dari Rp 21 miliar.
Kepala Satgas Penanganan WNI yang Terkena Hukuman Mati di Arab Saudi Kementerian Luar Negeri Maftuh Basyuni menjelaskan, awalnya diyath yang diminta sebesar 15 juta riyal, kemudian turun menjadi 10 juta riyal pada 14 Juni 2011 setelah pemerintah negosiasi dengan gubernur di Arab dan keluarga. Diyath lalu turun lagi menjadi 7 juta riyal setelah pertemuan negosiasi pada Desember 2011.
Hingga kini Kemenlu telah mengumpulkan dana sebesar 4 juta riyal. Uang sebesar itu, kata Maftuh, diperoleh dari APBN sebesar 3 juta riyal, dari donatur sebesar 500 ribu riyal. Serta, dari pengumpulan dana dari asosiasi tenaga kerja sebesar 500 ribu riyal.
"Pemerintah membantu pembayaran diyath saat ini sudah terkumpul 4 juta riyal. Sekarang kuncinya di tangan keluarga korban, lawyer kita menjalin komunikasi efektif dan tokoh arab. Mendorong keluarga korban agar bersedia dibayar 4 juta," ujar Wakil Menteri Luar Negeri Wardana di Kementerian Luar Negeri, Jakarta, Senin (24/3/2014).
Kasus Satinah bermula ketika dia ditetapkan sebagai pembunuh majikan perempuannya, Nura Al Gharib di wilayah Gaseem, Arab Saudi dan mencuri uang sebesar 37.970 riyal pada Juni 2007.
Satinah mengakui perbuatannya dan dipenjara di Kota Gaseem sejak 2009 dan hingga kasasi pada 2010 Satinah diganjar hukuman mati. Seharusnya, Satinah menghadapi algojo pada Agustus 2011. Namun, tenggat waktu diperpanjang hingga 3 kali, yaitu Desember 2011, Desember 2012 dan Juni 2013.
Nasib Satinah saat ini ada di tangan ahli waris korban. Jika tawaran uang diyath 4 juta riyal diterima, maka Satinah dipastikan akan segera bebas. Namun jika ditolak, kemungkinan besar nasib Satinah akan berakhir di tangan algojo sekitar 3 April 2014. (Anri Syaiful)
Advertisement
Baca juga: