Liputan6.com, Jakarta TKI Satinah kini memang sudah bebas dari ancaman hukuman mati oleh Kerajaan Arab Saudi. Pemerintah harus membayar mahal untuk membebaskan Satinah dengan diyat atau uang darah 7 juta riyal atau sekitar Rp 21 miliar.
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar mengakui pemerintah gagal dalam negosiasi untuk mendapatkan diyat yang tidak mahal. Penyebabnya karena tim negosiasi tak pandai bahasa Arab.
"Soal kenaikan diyat Satinah itu karena diplomasi kita lemah. Masa tim negosiasi pakai penerjemah, baru tahu saya. Harusnya rekrut yang bisa Bahasa Arab," kata Muhaimin usai melakukan pencolosan Pemilu Legislatif di TPS Widya Chandra, Rabu (9/4/2014).
Advertisement
Dibandingkan dengan kasus Darsem yang juga sempat terancam hukuman mati, diyat Satinah memang sangat mahal. Saat kasus Darsem yang kala itu dijatuhi hukuman pancung karena membunuh majikannya, ahli waris korban minta diyat sebesar Rp 4,7 miliar yang dipenuhi pemerintah RI.
Sedangkan kasus Satinah pemerintah harus membayar mahal sebelum akhirnya negosiasi disepakati di angka Rp 21 miliar. Sebelum negosiasi ahli waris korban meminta diyat senilai 15 juta riyal atau sekitar Rp 45 miliar. Namun negosiasi yang dilakukan pemerintah Indonesia sejak tahun 2011 berhasil menurunkan diyat menjadi 7 juta riyal atau sekitar Rp 21 miliar.
Tapi jika dibandingkan dengan diyat kasus Darsem, memang jumlah yang dibayar untuk kasus Satinah 4 kali lebih mahal. Seperti kata Muhaimin penyebab tingginya pembayaran diyat karena lemahnya negosiasi.