Takhta dan Kutukan Kudeta Negeri Gajah Putih

Perebutan kekuasaan Thailand lebih rumit dari yang tampak di permukaan. Melibatkan dendam politik, pertarungan kelas, dan suksesi takhta.

oleh Rizki Gunawan diperbarui 02 Jun 2014, 19:38 WIB
Diterbitkan 02 Jun 2014, 19:38 WIB
Ilustrasi tentara Thailand
Ilustrasi tentara Thailand

Liputan6.com, Bangkok - Oleh: Elin Yunita Kristanti, Alexander Lumbantobing

Bendera diturunkan, kaus dan atribut disingkirkan jauh-jauh -- disembunyikan atau dibakar. Sejak 22 Mei 2014, saat militer mengkudeta pemerintahan sipil Thailand, Desa Nong Sae steril dari warna merah. Penduduk dicekam kekhawatiran, derap langkap para serdadu bisa saja menghampiri kampung mereka.

Di Negeri Gajah Putih, warna punya arti politis. “Kami tak yakin bakal selamat jika tetap mengibarkan bendera merah,” kata Jamrus Lunna, petani Nong Sae, seperti Liputan6.com kutip dari Reuters. “Keselamatan keluarga kami jadi yang utama.“

Militer sedang menguatkan cengkeramannya pada wilayah utara dan timur laut Thailand, basis kelompok ‘kaus merah’ pendukung klan Shinawatra, yang mulai terbentuk pada 2001, sejak Thaksin Shinawatra menjadi perdana menteri dan menerapkan kebijakannya yang populis.

Di Chiang Mai dan Chiang Rai, 2 provinsi di ujung utara, sedikitnya 20 aktivis kaus merah ditahan. Sebagian memang sudah dibebaskan, namun nyali untuk bergerak dipadamkan. Dengan hanya bermodal prasangka, tentara dapat mengepung rumah dan menyeret seseorang.

Seperti yang menimpa Mahawon Kawang. Penyiar kaus merah itu menututup stasiun radionya di Chiang Mai dan bersembunyi tak lama setelah militer mengumumkan kudeta. Dalam beberapa jam, tentara telah mengepung ruko adiknya di pinggiran kota dan menangkap iparnya, Duangkaew Khayan. “Padahal dia bukan pemimpin protes, aku tak pernah melihatnya memobilisasi siapapun,” kata Mahawon.  

Meski demikian, Mahawon yakin benar, kekuasaan yang ditegakkan dengan bedil tak akan bertahan lama. “Akan ada resistensi, tak perlu menunggu munculnya seorang pemimpin. Itu akan terjadi secara alami, karena orang-orang melihat ketidakadilan.”

Militer secara efektif membungkam para pemimpin gerakan protes, dengan menahan mereka dan memaksa mereka untuk menandatangani perjanjian untuk tak ambil bagian dalam kegiatan ‘provokasi’ yang bisa ‘mengacaukan bangsa dan negara’.

Sementara itu di jalanan kota Bangkok, terlihat adegan serdadu yang tersenyum kikuk saat seorang perempuan memberinya bunga dan sebuah kecupan di pipi. Di dekatnya sejumlah petani mengangkat poster berisi pujian pada militer.

Faktanya, memang tak semua orang keberatan dengan kudeta. Kaum kelas menengah dan aktivis dari wilayah selatan yang kaya -- yang direpresentasikan dengan gerakan kaus kuning -- bersorak gembira. Mereka yakin kudeta sebagai cara untuk mengusir para politisi korup yang bikin bangkrut keuangan negara dengan kebijakannya.

“Aku sangat senang ketika mendengar kabar tentang kudeta. Rasanya seperti sebuah kemenangan di pihak kami,” kata Chanchaya Kannasoot, seorang resepsionis di agensi periklanan multinasional yang ikut serta dalam sejumlah protes anti-eks PM Yingluck Shinawatra. “Kami tidak bisa menang secara demokratis. Kami telah mencoba itu, dan tak berhasil.”



Bagi kelas menengah, kestabilan adalah pilihan. Yang penting ‘antek’ Thaksin Shinawatra disingkirkan. Meski demokrasi menjadi taruhannya.

Dewan Nasional Ketentraman dan Ketertiban (NCPO) -- nama resmi pemerintahan junta militer -- mencampuradukkan soft power dengan pengamanan yang ketat dan sensor terhadap media independen. Kritik diberangus, bahkan tindakan sederhana seperti membaca di muka umum buku ‘1984’ karya George Orwell yang mengisahkan tentang hidup di bawah pemerintahan otoriter, dianggap ‘subversif’. Mengacungkan 3 jari --telunjuk, tengah, manis-- meneriakkan kata ‘kebebasan’ dan ‘demokrasi’ adalah tindakan mengundang masalah. Diam kini jadi pilihan aman.



Siaran radio tak henti-hentinya memperdengarkan lagu tentang cinta, perdamaian dan persatuan. Bagian dari propaganda junta militer untuk memenangkan hati rakyat dan memberi kepastian Thailand berada di tangan yang aman.

Sementara, televisi didominasi tayangan dukungan publik pada militer, orang-orang yang memberikan roti atau bunga pada tentara, juga berpose ‘selfie’ dengan mereka. Iklan perekrutan personel ketentaraan terjepit di antara iklan aki mobil dan pupuk. Sinetron menggantikan acara debat yang kini dilarang. Kementerian Kesehatan Masyarakat tak ketinggalan memperingatkan warga tentang bahaya terlalu banyak menonton dan membaca berita. Bisa stres!

“Orang yang menghadapi risiko stres seperti itu disarankan untuk mengikuti hanya berita dari media yang dikelola negara,” ujar Menkes Narong Sahamethaphat.

Belum jelas kapan militer akan kembali ke barak dan mengembalikan kekuasaan pada sipil. Kepala militer sekaligus ‘dalang kudeta’, Jenderal Prayuth Chan-ocha sudah mengumumkan, pemilu tidak akan digelar dalam waktu lebih dari setahun, untuk menyediakan waktu bagi rekonsiliasi dan reformasi.

Dalam siaran televisi, Jenderal Prayuth Chan-ocha mendesak seluruh pihak untuk bekerja sama dan menghentikan protes. “(Rezim militer yang berkuasa) memiliki waktu satu tahun dan tiga bulan untuk kemudian menggelar pemilu,” kata Jenderal Prayuth, Jumat 30 Mei 2014, dalam penampilan perdananya di hadapan publik setelah kudeta. ”Sudah banyak waktu terbuang akibat konflik.”

Jenderal Prayuth mengatakan, fase pertama selama tiga bulan akan fokus pada ‘rekonsiliasi’. Fase kedua yakni membuat rancangan konstitusi dan kabinet membutuhkan waktu setahun penuh. Setelah dua fase tersebut selesai, pemilu baru bisa diselenggarakan.

“Fase ketiga adalah pemilu di bawah sistem demokrasi yang absolut dan bisa diterima dua pihak. Segala aspek hukum akan dimodernisasi. Jadi, kita akan mendapatkan orang-orang yang jujur dan baik untuk menjalankan negeri ini,” ujar Prayuth.

Jenderal Prayuth tak lupa memperingatkan jika protes berlanjut, dia tidak mempunyai pilihan selain menurunkan pasukan. Itu sudah dilakukannya di Bangkok, hampir 6.000 ribu pasukan dan kendaraan tempur disiagakan di ibukota sejak akhir pekan lalu, untuk menghadang protes.

‘Ekonomi Teflon` Melempem

Rusuh di Thailand diawali November 2012 lalu, saat Perdana Menteri Yingluck Shinawatra, adik Thaksin, mengajukan UU Amnesti yang membuka ruang kakaknya kembali dari pengasingan tanpa menghadapi ancaman hukum. Sang PM cantik dianggap menyalahgunakan kekuasaan.

Pemimpin oposisi Suthep Thaugsuban tampil ke depan, memimpin protes yang menyebabkan Yingluck Shinawatra membubarkan parlemen. Kelompok penentang juga membarikade tempat pemungutan suara (TPS) yang menggagalkan Pemilu 12 Februari 2014. Suasana demikian kacau hingga akhirnya militer menerapkan status darurat dan mengambil alih kekuasaan.

Bagi sebagian warga Thailand, perebutan kekuasaan adalah cerita lama. Sudah biasa. Sebelumnya, Negeri Gajah Putih pernah mengalami 12 kali kudeta militer yang sukses sejak 1932 ketika Raja Prajadhipok (Rama VII) digulingkan dalam kudeta tak berdarah oleh junta. Mengakhiri pemerintahan monarki absolut yang berlangsung selama hampir 7 abad. Kali terakhir terjadi pada 2006 yang menggulingkan pemerintahan Thaksin Shinawatra. (Lihat: INFOGRAFIS)

Kisahnya hampir-hampir mirip: sekelompok perwira merebut kekuasaan, membekukan konstitusi, dan memulai kembali pemerintahan. Kebanyakan adalah kudeta tak berdarah dan tandanya bisa terbaca -- yang memungkinkan pemimpin terguling melarikan diri ke luar negeri atau memilih berdamai.

Ada juga yang melihat kudeta kali ini sebagai cara untuk mengakhiri kebuntuan politik selama lebih dari 6 bulan yang menewaskan 28 orang dan melukai 800 lainnya. “Kami tak peduli orang asing menganggap kudeta adalah kediktatoran militer, karena banyak di antara mereka tak mendapat informasi tentang parahnya korupsi di Thailand,” kata seorang pengguna Facebook yang pro-militer.

Apa yang biasa bagi warga Thailand adalah hal luar biasa bagi orang asing. Kata ‘kudeta’ terlalu menakutkan. Akibatnya berdampak pada sektor ekonomi, terutama pariwisata yang jadi salah satu sumber pemasukan negara yang dahulunya bernama Siam itu.  

Pemesanan pesawat menuju Thailand anjlok. Seperti dimuat Canberra Times, Senin  2 Juni 2014, Pacific Asia Travel Association (PATA) menyebut, pada 19 Mei 2014, ada 28 ribu pemesanan tiket ke Thailand. Namun pada 23 Mei 2014, setiap harinya, ada 5.000 pembatalan yang dilakukan.

Bahkan sebelum militer ikut campur, Otoritas Pariwisata Thailand telah memangkas proyeksi kedatangan turis asing ke level terendah dalam lima tahun menjadi 26,3 juta.

Pimpinan PATA telah menghubungi pihak militer, menggarisbawahi pariwisata sebagai sektor perekonomian penting, dan menyerukan pencabutan jam malam yang berlaku nasional, yang saat ini diterapkan sejak tengah malam hingga pukul 04.00 waktu setempat.

Penerapan jam malam tak hanya bikin turis jeri atau cemas, tapi juga sudah mencabut nyawa manusia. Seorang ekspatriat asal Irlandia tewas dalam kecelakaan motor di Phuket.

Seperti dimuat situs The Journal, Denis Bates (30) mengalami kecelakaan dalam perjalanan pulang ke tempat tinggalnya Jumat malam pekan lalu. Ia dilaporkan ngebut pada pukul 23.00 untuk menghindari penindakan atas pelanggaran jam malam.

Padahal, Thailand adalah destinasi wisata favorit. Tahun lalu ada 26,7 juta kedatangan, naik 20% dari kunjungan pada tahun sebelumnya. Pariwisata menyumbang 9% PDB angka tertinggi di Asia setelah Hong Kong. Nilainya sebesar US$ 35 miliar untuk tahun 2013 lalu. Juga membuka lapangan pekerjaan bagi 2,5 juta orang.

Dan Thailand tak hanya soal pantai tropis: negara itu adalah roda penggerak penting dalam rantai pasokan global. Menghasilkan sekitar sepertiga dari seluruh perangkat keras komputer dan merupakan eksportir top dunia untuk gula dan beras. Sektor otomotifnya adalah yang terbesar di Asia Tenggara dan telah melahirkan industri suku cadang yang berkembang.

Selama bertahun-tahun, Thailand dikenal punya “ekonomi Teflon” karena kemampuannya untuk lepas dari panasnya guncangan politik. Namun tahun ini dampak ekonomis kudeta militer lebih terasa daripada sebelumnya.

Angka-angkanya mencemaskan. Ekonomi terbesar kedua di Asia Tenggara ini menyusut pada triwulan pertama tahun ini dibandingkan tahun sebelumnya. Konsumsi turun 2,1%, penanaman modal turun 9,8%, manufaktur turun 2,7% dan konstruksi turun 12,4%.

Pada saat yang sama, Malaysia dan Singapura menikmati pertumbuhan ekonomi sedikitnya 5% per tahun pada periode yang sama. Badan Pengembangan Ekonomi dan Sosial Thailand memperkirakan pertumbuhan berkisar antara 1,5% dan 2,5% tahun ini, turun dari perkiraan sebelumnya yang berkisar antara 3% dan 4% per tahun.

Mata uang Thailand turun nilainya hingga 0,5% setelah kudeta diumumkan. Nilai mata uang ini telah turun hingga 4,5% sejak krisis dimulai pada bulan Oktober tahun lalu, sehingga baht menjadi mata uang dengan performa terburuk di Asia. “Kondisi ini betul-betul suatu pukulan telak kepada pertumbuhan ekonomi,” kata ekonom Credit Suisse, Santitarn Sathirathai. “Volume pariwisata sekarang lebih terpengaruh daripada pada tahun-tahun sebelumnya. 'Si teflon' tak lagi berfungsi.”

Menurut analisis dari Credit Suisse, kerugian Thailand bisa menjadi keuntungan bagi tetangga-tetangganya di Asia Tenggara. Secara khusus, Malaysia mendapatkan keuntungan selama kekisruhan di Thailand. Demikian juga dengan Indonesia.

Dari data yang ada, jumlah pengunjung ke Malaysia meningkat 18,2% pada bulan Januari dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Di Indonesia, jumlah pengunjung naik 10% dalam triwulan pertama tahun ini.

Menurut Tony Nafter dari CLSA, kebanyakan pariwisata Asia Tenggara cenderung untuk saling melengkapi, bukannya saling bersaing. Misalnya, seorang pengunjung akan menggabungkan kunjungan ke Thailand dengan kunjungan ke salah satu negara tetangga.

Intrik Menuju Takhta Raja

Ini adalah kisah nyata tentang seorang mantan polisi yang yang menjalankan bisnis penjualan komputer sebagai usaha sampingan. Ia lalu memenangkan lisensi monopoli untuk membuat jaringan ponsel pertama di Thailand.

Saat kekayaannya membengkak pada tahun 1990-an, ia kemudian masuk dunia politik, menjadi ancaman bagi mereka yang terbiasa memerintah: elite jenderal, pejabat pemerintah, para bangsawan, dan eksekutif yang berpusat di Bangkok yang meninggikan monarki.

Dia adalah Thaksin Shinawatra, yang memenangkan hati rakyat dalam pemilu 2001 dengan janji kampanye pelayanan publik meluas dan bantuan kepada rumah tangga berpenghasilan rendah di wilayah timur laut.

Pemerintahan Thaksin dikudeta oleh militer dan polisi pada 19 September 2006, ketika dia sedang berada di Kota New York, AS untuk menghadiri Sidang Umum PBB.

Meski demikian, pengaruh Thaksin tak lantas hilang. Pada tahun 2008, iparnya Somchai Wongsawat menjadi pejabat sementara perdana menteri menggantikan Samak Sundaravej yang dicopot gara-gara mendapat bayaran tak seberapa karena memandu dua program acara masak-masakan.

Kemudian pada 5 Agustus 2011, giliran adiknya Yingluck Shinawatra merebut kursi tertinggi dalam Pemerintahan Thailand. Nasib Yingluck serupa dengan Thaksin, digulingkan kudeta militer. “Sangat disayangkan kudeta kembali terjadi,” kicau Thaksin di Twitter menanggapi situasi terkini negerinya.  

Di permukaan, sistem politik Thailand memang bersifat demokratis. Namun pihak militer berkali-kali melancarkan kudeta dan menguasi beberapa kali pemerintahan. Dan untuk perebutan kekuasaan kali ini, kenyataan tak sesederhana apa yang tampak di permukaan.

Sejumlah pengamat melihat, kisruh politik di Thailand bukan sekonyong-konyong terjadi. Pertempuran politik sungguh rumit, mengakar, emosional, dan bersifat pribadi. Sejarah juga mencatat, konflik seringkali dilatarbelakangi persaingan internal militer.

Nirmal Gosh dari Straits Times menulis, ”Sengketa di Thailand itu rumit dan berlapis-lapis. Sengketa itu menggabungkan perselisihan pribadi dengan dendam politik, perselisihan antar-kelas, kesenjangan ekonomi dan rebutan sumber daya, dan ketakutan kelas menengah perkotaan akan pemerintahan politisi korup yang digdaya, ditambah lagi tanpa kehadiran yang menenangkan dari monarki yang kuat secara moral dan welas asih.”

Thaksin, kata Nirmal Gosh, merupakan perwujudan dari populisme yang tidak bertanggung jawab terkait penggunaan jabatan dan dana-dana publik untuk membeli suara. Ia telah divonis bersalah dalam kasus korupsi -- walaupun keputusan itu dicemari oleh keinginan pengadilan untuk mengorbankan keadilan demi memperkuat pemerintahan kaum mapan.

Sebagaimana halnya dengan Thaksin, Suthep Thaugsuban dan kaki tangannya hanya mengabdikan diri pada kepentingan mereka sendiri. Mereka diam-diam rebutan kekuasaan dan mengambil untung selagi kaum elite menjadi penguasa tanpa peduli dengan hasil pemilu.

Andrew MacGregor Marshall jurnalis yang fokus pada isu Thailand dan pernah kena pasal penghinaan raja atau lèse majesté mengatakan, konflik yang terjadi tak bisa dilepaskan dari intrik kerajaan.

Memang, ada dimensi geopolitik yang penting, saat ini Amerika Serikat dan China berjuang untuk menjadi kekuatan asing paling berpengaruh di Thailand. Juga unsur regional -- di mana elite dan penduduk provinsi selatan yang relatif kaya atau ‘kaus kuning’ melawan penduduk utara miskin dan timur laut alias ‘kaus merah’.

“Konflik utama berkecamuk di Thailand kontemporer adalah perjuangan antara kaya dan miskin, mirip dengan negara-negara berkembang di seluruh dunia,” kata Marshall seperti dimuat situs Financial Review.

Tapi alasan utama krisis politik Thailand belakangan tak lepas dari isu suksesi raja. Sang penguasa, Bhumibol Adulyadej yang berusia 86 tahun sudah lama sakit-sakitan. Sang raja sangat dihormati seluruh rakyat, penguasa militer pun tunduk padanya. Sayang, kondisi fisik membuatnya tak lagi mampu berbuat banyak.

Lebih parah lagi, orang-orang yang mengelilingi raja dan ratu mendekatkan diri pada pihak militer dan kaum elite lainnya. Peradilan juga berada di tangan kaum mapan, padahal arah politik di negara ini sering ditentukan juga oleh para hakim.

Pertempuran suksesi kerajaan sedang dilancarkan oleh elite faksi-faksi kaum bangsawan, mempertaruhkan kontrol kerajaan yang asetnya diperkirakan bernilai lebih dari US$ 37 miliar.

Tak hanya itu, pihak mana pun yang menjadi king maker berpotensi mampu mendominasi politik dan ekonomi seluruh negeri dalam waktu lama, bertahun-tahun mendatang. Itu sebabnya mengapa konflik begitu pahit dan kejam.

Dan Thaksin juga dianggap mengincar posisi king maker saat Bhumibol wafat suatu ketika nanti. Ia diketahui dekat dengan putra mahkota Maha Vajiralongkorn -- yang ditakuti oleh banyak warga Thailand dan dicerca oleh elite bangsawan.

Dalam pesan yang dikirim duta besar Amerika Serikat untuk Thailand tahun 2005 disebutkan, Thaksin “telah lama berkelindan (erat menjadi satu) dengan masa depan putra mahkota”. Salah satu caranya adalah dengan melunasi utang-utang Maha Vajiralongkorn di meja judi.

Kalangan lain di Jerman mengetahui tentang hadiah yang diberikan oleh Thaksin kepada sang pewaris takhta tahun 2001, yaitu sebuah Maybach, mobil mewah seharga 500 ribu poundsterling yang belakangan dijadikan bagian dari armada kendaraan kerajaan.

Rentetan fakta itu juga yang membuat kaum elite ingin menyingkirkan pengaruh Thaksin. Kemenangan besarnya dalam Pemilu 2001, disusul pada Pemilu 2005 adalah sinyal yang bikin panik kalangan darah biru. Maka, muncullah gerakan kelas menengah jalanan atau kaus kuning yang terus menyoroti dugaan korupsi rezim Shinawatra. Melawan kubu kaus merah yang mati-matian membela.

Ketakutan yang tak terucapkan -- tabu dalam hukum majesté lèse --  adalah setelah wafatnya Bhumibol, tatanan sosial yang ada di Thailand akan terbalik, elite lama dikalahkan oleh persekutuan antara Thaksin dan putra mahkota.

Parlemen pun jadi rebutan. Meski secara historis menjadi institusi yang sangat lemah, kalah dari kekuatan oleh para birokrat istana, konglomerat, dan para jenderal, namun lembaga perwakilan memainkan peran penting dalam proses suksesi kerajaan selama beberapa dekade. Dalam konstitusi Thailand, yang beberapa kali ditulis ulang, ditetapkan ketika raja mangkat, penggantinya harus secara resmi disahkan oleh parlemen.

Untuk memiliki kesempatan menyabotase suksesi kerajaan, elite lama Thailand harus memastikan diri sebagai pemegang kontrol parlemen ketika pemerintahan monarki pimpinan Bhumibol berakhir. Inilah sebabnya mengapa elite tradisional Thailand mati-matian sejak tahun 2005 untuk menghancurkan pengaruh Thaksin dalam politik, terutama dalam parlemen.

Jenderal pendukung elite bangsawan memang berhasil menggulingkan dia dalam kudeta tahun 2006, namun gagal menahan pengaruh politiknya. Thaksin tetap menjadi pahlawan bagi jutaan warga biasa dan kaum terpinggirkan Thailand.

Tak peduli dengan kubu kaum ningrat yang lebih menyukai Putri Maha Chakri Sirindhorn sebagai penerus takhta, pada April 2014 lalu pihak istana membuat suatu keputusan penting yang menohok Dewan Penasihat Kerajaan tempat elite berkumpul. Dengan menunjuk Pangeran Maha Vajiralongkorn sebagai kepala suatu badan baru dalam militer, yakni Satuan Keamanan Administrasi Kerajaan (Royal Administration Security Unit).

Selain itu, korps Pengawal Kerajaan 904 ditaruh di bawah kendalinya. Pengawal Kerajaan 904 merupakan suatu resimen infantri enam batalyon yang ditugaskan untuk mengawal keluarga kerajaan sejak didirikan pada tahun 1859.

Pemberian kekuasaan tambahan bagi putra mahkota dianggap sebagai cara untuk menangkal perselisihan terkait suksesi. Memuluskan jalannya menuju penobatan sebagai Raja Rama X.

Kembali ke soal kudeta, Raja Bhumibol Adulyadej telah memberikan restu pada militer. “Untuk memulihkan perdamaian dan ketertiban di negara ini dan demi persatuan, Raja menunjuk Jenderal Prayuth Chan-ocha sebagai kepala Dewan Nasional Ketenteraman dan Ketertiban untuk menjalankan negara,” demikian titah sang Raja.

Lalu di mana putra mahkota?

Ia tak berada di negerinya saat militer mengambil alih kekuasaan sipil. Sang pangeran memilih tinggal di tinggal di sebuah hotel bintang lima di wilayah pedesaan Hampshire, Inggris.

Pangeran Maha Vajiralongkorn, istrinya Putri Srirasmi yang cantik, dan rombongannya yang berjumlah 30 orang menguasai sebuah sayap bangunan Hotel Tylney Hall yang berada di Desa Rotherwick.

Tarif kamar hotel itu tak murah, 250 poundsterling atau Rp 4,9 juta semalam. Sementara untuk Duke and Duchess Suites yang memiliki tempat tidur empat tiang dan bak mandi whirlpool dibanderol 530 poundsterling semalam atau Rp 10,3 juta.

Junta militer memblokir media Inggris, MailOnline atau Daily Mail yang baru-baru ini memuat kembali artikel video pesta mewah yang diadakan sang putra mahkota dan istri untuk merayakan ulang tahun anjing pudel mereka, Foo Foo -- yang pernah bikin heboh tahun 2009 lalu.

Video tersebut direkam di Istana Kerajaan atau Thai Royal Palace di Bangkok. Menunjukkan sang putri yang tampil nyaris polos, hanya mengenakan G-string di depan para tamu dan pelayan. Duh!

 

Sejumlah pengamat mengkhawatirkan kudeta militer kali ini tidak menandai akhir dari kekacauan. Hanya fase terbaru dalam pertempuran berebut pengaruh. “Kita belum melihat ada akhir yang jelas dalam permainan konflik politik Thailand,” kata analis Credit Suisse Dan Fineman. Kita lihat saja nanti...

Jenderal-jenderal Dalang Kudeta

Oleh: Rizki Gunawan

Sang jenderal muncul dalam sorotan cahaya. Berseragam putih, ia berdiri gagah di mimbar, diapit oleh lebih dari selusin pejabat militer lain yang berdiri dalam sikap  sempurna.

Kepada rakyat, Jenderal Prayuth Chan-ocha mengatakan ia telah menerima titah dari Raja Bhumibol Adulyadej untuk mengepalai dewan militer yang berkuasa. Kudeta telah mendapat restu penguasa tertinggi.

Sejak aksi kudeta dan pengambilalihan kekuasaan, nama dan peran Prayuth menonjol, pengaruhnya mengalahkan tokoh-tokoh lain seperti mantan PM Yingluck Shinawatra dan penggerak demo, Suthep Thaugsuban. Belakangan ia mengangkat dirinya sebagai pelaksana tugas perdana menteri.

“Beri kami waktu untuk menyelesaikan masalah Anda. Kemudian tentara akan kembali mengawasi Thailand dari jauh,” kata Prayuth seperti Liputan6.com kutip dari BBC. Ia tak lupa mengingatkan, tindakan keras akan dijatuhkan pada mereka yang turun ke jalan memprotes kudeta.

Butuh waktu panjang bagi jenderal 60 tahun itu untuk menjadi pengendali kekuasaan di Negeri Gajah Putih. Meski prosesnya singkat dan dipaksakan. Lewat kudeta.

Siapa sebenarnya Prayuth Chan-ocha?

Prayuth yang lahir di Kota Nakhon Ratchasima, di timur laut Thailand, 21 Maret 1954, memulai kehidupan militer dengan menempuh sejumlah pendidikan tentara. Yakni pendidikan di Akademi Persiapan Sekolah Tentara Militer atau AFAPS angkatan ke-12. Dia kemudian mengambil studi militer di Kampus Staf Jenderal dan Komando (GSSC) angkatan ke-63.

Prayuth muda juga mengambil pendidikan di kampus Pertahanan Nasional Thailand (NDC) 5020. Juga bersekolah di Infantry Officer Advanced Course angkatan ke-38. Selain pendidikan militer, sang jenderal juga pernah menempuh studi Ilmu Sains di Akademi Militer Kerajaan Chulachomklao.

Setelah lulus Akademi Militer Kerajaan, Prayuth mengawali karier militernya dengan bertugas di Resimen Infantri 21 sebagai pengawal Ratu Thailand. Mulai 2002, dia naik pangkat menjadi Wakil Komandan Jenderal di Divisi Infantri ke-2 Angkatan Bersenjata Kerajaan Thailand. Setahun kemudian, naik lagi, jadi Komandan Jenderal di kesatuan yang sama.

Prestasi Prayuth membuatnya kembali naik jabatan menjadi Wakil Komandan Jenderal Angkatan Darat Area 1 -- setingkat di atas Divisi Infantri ke-2 -- pada 2005. Lalu naik lagi menjadi Komandan Jenderal Angkatan Darat Area 1, setahun kemudian.

Saat Thaksin Shinawatra dikudeta militer pada 2006, Prayuth menjabat sebagai Wakil Komandan Wilayah Ibukota Bangkok. Kemudian dari 2008 sampai 2009, Prayuth menjabat Kepala Staf Angkatan Bersenjata Kerajaan. Lalu ia ditunjuk sebagai ajudan kehormatan untuk Raja. Puncaknya, pada Oktober 2010, Prayuth diangkat menjadi Kepala Angkatan Bersenjata, puncak pimpinan militer Thailand.

Selain menjadi petinggi militer, Prayuth juga menduduki posisi strategis di sejumlah lembaga dan perusahaan negara. Setelah kudeta militer 2006 yang menggulingkan Perdana Menteri Thaksin Shinawatra, Jenderal Besar itu menjadi anggota Majelis Legislatif Nasional. Ia menjadi anggota dewan yang mengurusi masalah lingkungan dan sumber daya alam.

Mulai saat itu juga, Prayuth juga menjadi anggota Dewan Direktur Eksekutif Perusahaan Listrik Metropolitan Electricity Authority of Thailand (MEA Thailand).  Kemudian mulai 2007-2010, Petinggi Militer itu menjabat sebagai Direktur Independen Perusahaan Minyak Thai Oil Public Co Ltd. Sejak 7 Oktober 2010, ia juga menjabat Direktur Thai Military Bank sekaligus Manajer Army United Football Club.

Sejak menjabat sebagai Kepala Angkatan Bersenjata Thailand, Prayuth menegaskan dirinya netral. Tapi sejumlah tindakan yang ia lakukan selanjutnya dipertanyakan. Faktanya, dia ikut campur dalam urusan politik nasional.

Seperti Liputan6.com kutip dari BBC, Human Rights Watch melaporkan Prayuth telah mengintervensi mereka dalam proses investigasi korban jiwa dalam sejumlah aksi protes di Thailand pada 2010. Pada Mei 2011, anggota parlemen dari kubu oposisi sekaligus pemimpin 'kaus merah' Jatuporn Promphan dipenjara setelah dilaporkan Prayuth terkait komentar yang dinilai menghina pemerintah.

Dalam Pemilu Thailand yang digelar pada Juni 2011, Prayuth menyerukan kepada rakyat untuk memilih "orang baik". Ajakan itu diinterpretasikan warga sebagai cara Prayuth untuk mencegah Partai Pheu Thai yang dipimpin Yingluck Shinawatra menang pemilu. Tapi pada akhirnya partai penguasa itu meraih suara terbanyak.

Kini Prayuth menjadi penentu masa depan Thailand. Setidaknya bagaimana nasib Thailand selanjutnya akan ditentukan oleh Kepala Militer yang segera pensiun pada September 2014 mendatang.

Jenderal Muslim Bersuara Lembut



Thailand dikenal sebagai negara yang kerap dilanda kudeta. Dalam kurun waktu 82 tahun terakhir, telah terjadi 18 kali kudeta. Tujuh di antaranya gagal, 11 lainnya, termasuk kudeta 2014 ini, berhasil.

Kudeta militer yang paling fenomenal mungkin adalah kudeta perdana dalam sejarah Thailand pada 1932, yang menggulingkan Raja Prajadhipok atau Rama VII, turunan Dinasti Chakri. Pengambilalihan kekuasaan itu merupakan gerbong awal era modern Thailand. Sejumlah pakar politik menyebut kudeta ini sebagai revolusi karena terjadinya perubahan pada sistem pemerintahan, dari monarki absolut berubah menjadi monarki konstitusional yang berada di bawah demokrasi parlementer.

Sebanyak 15 kudeta terjadi setiap beberapa tahun sejak 1932 sampai 1991. Kemudian mulai 1991 hingga 2006, situasi politik Thailand relatif lebih stabil. Kehidupan Negeri Gajah Putih itu relatif damai dan hampir tidak ada intervensi militer dalam kurun waktu tersebut.

Tapi sejarah berulang pada 19 September 2006 terhadap PM Thaksin Shinawatra yang dipimpin Jenderal Sonthi Boonyaratglin. Penggulingan pemerintahan dilakukan lantaran Thaksin yang merupakan kakak Yingluck dinilai menyalahgunakan kekuasaan dengan menjual Shin Corp -- aset bangsa kepada perusahaan asing.

Thaksin yang saat itu tengah menghadiri Sidang Umum PBB di New York City, Amerika Serikat memilih untuk tak kembali ke Thailand dan bersembunyi di Inggris. Sementara Wakil PM saat itu, Chidchai Vanasatidya dan Menteri Pertahanan Thammarak Isaragura na Ayuthaya ditangkap.

Jenderal Sonthi yang lahir pada 2 Oktober 1946 ini adalah panglima muslim pertama di tengah para anggota militer yang mayoritas Buddha. Ia lahir di Provinsi Pathum Thani. Nama kecilnya seringkali dieja pula Sondhi, sementara nama belakangnya sering pula dieja Boonyaratglin atau Boonyarakarin. Ia memiliki dua istri, bernama Sukanya dan Piyada, meskipun secara hukum terdapat larangan berpoligami.

Latar belakang keluarganya terpandang. Nenek moyangnya, 200 tahun lalu menjadi pemimpin umat muslim pertama di Thailand, dan ibunya adalah dayang istana kerajaan.

Sonthi lulus dari Akademi Militer Kerajaan Thailand Chulachomklao pada 1969 dan pernah ikut bertempur di Perang Vietnam yang berada di pihak Amerika Serikat. Ia adalah mantan pemimpin Komando Perang Khusus, salah satu pasukan antigerilya paling elite di Thailand yang bermarkas di Lopburi, provinsi di timur laut Bangkok.

Pada Agustus 2004, Sonthi diangkat menjadi Wakil Panglima Angkatan Darat Thailand. Sonthi kemudian naik jabatan menjadi Panglima Angkatan Darat pada 1 Oktober 2005 menggantikan Jenderal Prawit Wongsuwan.

Sebagai Panglima Angkatan Darat, Sonthi dikenal dekat dengan Raja Thailand, tapi kerap berselisih dengan Thaksin dalam hal kebijakan keamanan.

Dia mengutamakan adanya dialog dengan kaum militan untuk mengakihiri kekerasan yang telah menewaskan 1.400 orang sejak Januari 2004. Langkah yang ditempuhnya ditolak keras pemerintah yang mengumumkan pembatalan semua rencana negosiasi.

Sebelum menggulingkan pemerintah, Sonthi selalu bersikap netral dalam krisis politik yang sejak Februari 2006 marak dengan unjuk rasa anti-pemerintah.

Setelah pensiun dari kemiliteran pada usia 60 tahun, Sonthi menjadi pemimpin partai kecil yang ia dirikan, Partai Matubhum yang bertanggotakan politisi muslim dari provinsi-provinsi di selatan Thailand. (Baca juga: INFOGRAFIS)

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya