Kisah 2 Kecelakaan Pesawat karena Cuaca Buruk

Kecelakaan akibat gangguan awan badai pernah terjadi sebelumnya. Yakni yang terjadi pada Garuda Indonesia Airlines 421, 16 Januari 2002.

oleh Rizki Gunawan diperbarui 07 Jan 2015, 08:10 WIB
Diterbitkan 07 Jan 2015, 08:10 WIB
awan badai
Ilustrasi awan badai

Liputan6.com, Jakarta - Penyebab jatuhnya AirAsia QZ8501 belum diketahui secara pasti. Diketahui, sang pilot saat itu melaporkan akan menghindari awan Cumulonimbus (Cb) dengan berbelok ke arah kiri dan kemudian minta izin untuk menaikkan ketinggian pesawat dari 32.000 kaki menjadi 38.000 kaki. Beberapa saat kemudian, pesawat hilang kontak.

"Analisis awal menunjukkan bahwa pesawat kemungkinan telah terbang masuk ke dalam awan badai. Fenomena cuaca yang paling memungkinkan adalah terjadinya icing yang dapat menyebabkan mesin pesawat mengalami kerusakan karena pendinginan," demikian penjelasan analisis yang dilakukan Kepala Penelitian dan Pengambangan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Prof Edvin Aldrian, dan timnya yakni Ferdika Amsal, Jose Rizal, dan Kadarsah, seperti Liputan6.com kutip dari situs Bmkg.go.id, Rabu (7/1/2015).

Namun demikian, BMKG menegaskan bahwa, "hal ini hanyalah salah satu analisis kemungkinan yang terjadi berdasarkan data meteorologis yang ada, dan bukan merupakan keputusan akhir tentang penyebab terjadinya insiden tersebut."

Dijelaskan bahwa kecelakaan akibat gangguan awan badai pernah terjadi sebelumnya. Yakni pada Garuda Indonesia Airlines dengan nomor penerbangan 421, 16 Januari 2002.

"Garuda Indonesia Airlines dengan nomor penerbangan 421, sebuah Boeing 737-300 dengan registrasi PK-GWA mengalami dual-engine flameout (power loss) akibat mencoba menghindari awan badai," papar BMKG dalam penjelasan yang dirilis pada 4 Januari 2015 lalu. Pesawat kemudian mendarat darurat di Sungai Bengawan Solo, dekat Kota Solo, Jawa Tengah.

Dari total 60 orang di atas pesawat, satu awak kabin atau pramugari tewas karena terseret arus sungai dan 12 penumpang mengalami luka fatal dan 10 penumpang mengalami luka ringan.

Analisis dari data penerbangan digital (DFDR) dan gambar yang diperoleh dari satelit NOAA-12 menunjukkan bahwa penerbangan pesawat memasuki daerah dengan cuaca buruk yang disertai badai.

Berdasarkan dari pencitraan satelit, cockpit voice recorders (CVR) atau percakapan di kokpit dan flight data recorder (FDR) atau rekaman data penerbangan, pesawat pesawat menuju selatan dan terbang menuju ke celah antara dua badai.

Pilot melaporkan bahwa mereka mencoba terbang di celah antara dua badai yang dapat dilihat dari radar cuaca pesawat. Setelah 90 detik memasuki badai, kedua mesin pesawat mati, CVR dan DFDR berhenti merekam karena kehilangan listrik dari generator yang berada di kedua mesin pesawat. Pilot mencoba 3 kali menghidupkan kembali mesin pesawat, namun gagal dan memutuskan untuk melakukan pendaratan darurat di sungai Bengawan Solo.

Adam Air 574>>>

Adam Air 574

Kecelakaan akibat cuaca buruk juga terjadi pada Pesawat Adam Air penerbangan 574 pada 1 Januari 2007.

"Adam Air penerbangan 574 (KI 574, DHI 574) jurusan Jakarta-Surabaya-Manado pada 1 Januari 2007 mengalami kerusakan pada alat bantu navigasi Inertial Reference System (IRS) akibat cuaca buruk yang terjadi," jelas BMKG. Kapal terbang tersebut kemudian jatuh di Perairan Majene, Sulawesi Barat.

Pada 27 Agustus 2007, kotak hitam pesawat ditemukan. Berdasarkan hasil analisis CVR dan FRD, Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) menyimpulkan Adam Air jatuh ke laut menabrak permukaan air laut lalu terbelah dua, yang disebabkan oleh cuaca buruk dan kerusakan alat navigasi.

Menurut KNKT, kedua pilot terkonsentrasi memperbaiki kerusakan dan lupa memerhatikan instrumen yang lain. Mereka tidak menyadari pesawat miring dan turun mendekati laut. Mereka baru sadar dua menit sebelum pesawat pecah menabrak laut. Namun hal itu sudah terlambat, mereka tak sempat lagi mengendalikan pesawat.

Agustus 2008, beredar rekaman pembicaraan yang konon pembicaraan terakhir di kokpit Adam Air KI-574. Jika rekaman itu asli, rekomendasi KNKT yang menyimpulkan kecelakan akibat kesalahan manusia (human error) dianggap tidak mendasar dan keliru.

Dari rekaman tersebut, selain karena IRS-nya tidak berfungsi, terdapat faktor-faktor lain yang menjadi penyebab kecelakaan yang menewaskan 102 penumpang pesawat Boeing 737-400 tersebut. Jadi, bukan human error.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya