Liputan6.com, Jakarta - 2 Pegawai bidang administrasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menjadi saksi fakta membenarkan adanya surat perintah penyelidikan (sprinlidik) dan surat perintah penyidikan (sprindik) atas kasus yang menjerat Komjen Pol Budi Gunawan. Sprinlidik untuk kasus Budi terbit pada 2 Juni 2014. Sedangkan sprindik keluar pada 12 Januari 2015, atau sehari sebelum KPK menetapkan Budi sebagai tersangka.
Wahyu Budi Raharjo, pegawai administrasi di Divisi Penyelidikan, dan Dimas Adiputra, pegawai administrasi di Divisi Penyidikan, menyampaikan hal tersebut dalam sidang praperadilan Budi melawan KPK di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jumat (13/2/2015) malam. Keduanya dihadirkan KPK sebagai saksi fakta secara bersamaan.
"Apakah sprinlidik tanggal 2 Juni 2014 tercatat di register?" tanya salah satu kuasa hukum KPK, Catharina Muliana Girsang kepada Wahyu.
"Benar, 2 Juni 2014 keluar sprinlidik yang ditandatangani Abraham Samad," jawab Wahyu.
Catharina lalu menanyakan, apakah ada sprinlidik yang kemudian statusnya dinaikkan pada 12 Januari 2015 menjadi penyidikan atas nama Budi Gunawan. Wahyu kembali membenarkannya.
"Tercatat di administrasi," jawab Wahyu yakin.
Catharina lalu kembali bertanya kepada Dimas yang bekerja di admnistrasi divisi penyelidikan mengenai penerbitan sprindik itu. Dimas juga membenarkan adanya sprindik itu.
"Betul, diserahkan langsung oleh penyidiknya," jawab Dimas.
Sprinlidik dan Sprindik kemudian ikut diserahkan ke hakim sebagai bukti bersama 21 dokumen terkait lainnya. Namun materi untuk kepentingan penyidikan oleh KPK, materi sprindik ditutupi. Hakim dan pihak Budi hanya melihat nomor register dan tanggal sebagai bukti.
Saksi KPK: Bukti Permulaan Tak Perlu Melalui Keterangan Tersangka >>>
Saksi KPK: Bukti Permulaan Tak Perlu Melalui Keterangan Tersangka
Saksi KPK: Bukti Permulaan Tak Perlu Melalui Keterangan Tersangka
Sementara itu saksi ahli yang diajukan KPK, Adnan Paslyadja menyatakan, untuk mendapatkan bukti permulaan tidak perlu melalui keterangan tersangka. Alasannya, bukti permulaan bisa didapatkan di antaranya dari keterangan saksi, ahli, dan surat.
"Bukti permulaan tidak harus dari tersangka. Bisa keterangan saksi, ahli, dan surat," kata Adnan saat dalam persidangan praperadilan Komjen Pol Budi Gunawan alias BG di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jumat (13/2/2015).
Adnan pun menjelaskan proses pemeriksaan terhadap tersangka bukanlah bentuk upaya paksa. Namun tujuannya untuk memberikan hak membela diri.
"Tersangka diperiksa untuk memberikan hak membela diri," ujar mantan jaksa itu.
Sebelumnya, penyelidik KPK, Iguh Sipurba mengatakan KPK tidak meminta keterangan Budi Gunawan pada saat proses penyelidikan. KPK tidak meminta keterangan Budi Gunawan didasarkan ketentuan Pasal 44 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK yang mengatur bukti permulaan.
Iguh menyatakan dalam pasal itu dijelaskan, penyelidikan dilakukan untuk menemukan bukti permulaan yang cukup. Sekurang-kurangnya, sambung dia, ada 2 alat bukti. Apabila sudah dinyatakan cukup bukti maka tidak diperlukan lagi keterangan dari seorang calon tersangka.
Saksi KPK Bikin Kuasa Hukum BG Kesal >>>
Advertisement
Saksi KPK Bikin Kuasa Hukum BG Kesal
Saksi KPK Bikin Kuasa Hukum BG Kesal
Adapun salah satu kuasa Hukum Komjen Pol Budi Gunawan, Frederich Yunandi tampak geram pada saat bertanya ke saksi yang dihadirkan dari pihak KPK selaku termohon. Alasannya, Direktur Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) Zainal Arifin Mochtar yang dihadirkan sebagai ahli selalu membandingkan Indonesia dengan Amerika Serikat.
"Iya (saya emosi), karena gini, dia selalu mengambil dari Amerika. Kita ini bukan (sedang) dijajah Amerika gitu lho. Peraturan di Amerika nggak berlaku di Indonesia. Karena Indonesia itu berdasarkan UU yang tertera," cetus Frederich di sela-sela persidangan praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jumat (13/2/2015).
Dikatakan Fredrich, ada hal lagi yang membuat ia emosional dalam persidangan yang mengungkapkan bahwa persoalan hukum selalu dilihat dengan logika.
"Ada lagi (membuat emosi), selalu menggunakan logika-logika. Hukum pidana itu legalitas, bukan logika. Bagaimana bisa menurut logika seseorang dihukum. Kan nggak bisa begitu," jelas dia.
Menurut Frederich, ketika saksi ahli yang dihadirkan dari pihak lembaga antirasuah itu membandingkan peraturan Komisi Yudisial (KY) dengan KPK sangat tidak relevan dalam persidangan.
"Termasuk juga dengan KY saat membandingkan, ternyata begini, ternyata begitu. Lah KY kan urusan KY. Kalau KPK ya urusan KPK. Tidak relevan dong dalam hal ini. Jangan dicampuradukkan," tandas Fredrich. (Ans)