Kala KBRI di Yaman Terkena Serangan

"Kita ini terkena imbas, bukan target," kata Menteri Luar Negeri Retno Marsudi.

oleh RochmanuddinTanti YulianingsihAndreas Gerry Tuwo diperbarui 21 Apr 2015, 00:08 WIB
Diterbitkan 21 Apr 2015, 00:08 WIB
 KBRI di Yaman Terkena bom.
KBRI di Yaman Terkena bom. (Facebook/Muhammad Wazier Hidayat)

Liputan6.com, Jakarta - Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Sanaa, Yaman terkena serangan bom. Bangunan Kantor KBRI di negara yang tengah dilanda konflik itu rusak berat.

Selain bangunan yang rusak, serangan pada Senin 20 April 2015 pukul 10.45 waktu setempat itu juga mengakibatkan terlukanya 2 staf diplomat Indonesia. Seluruh kendaraan milik KBRI yang berada di area tersebut juga rusak.

"Mohon doa.. kami baru dapat info dari rekan anggota tim evakuasi WNI di Yaman, KBRI Sanaa kena serangan & hancur.. temen2 luka2," tulis akun Twitter @elvitria, Senin (20/4/2015).

Akun Facebook milik Muhammad Wazier Hidayat juga mengabarkan informasi tersebut. "Rudal di samping KBRI.. Kami selamt kecuali satu terkena luka kena kaca.. Kemungkinan bukan dari pesawat tpi dari markaz militer...," posting Muhammad Wazier Hidayat

Kepala Sub Direktorat Repatriasi dan Bantuan Sosial Kementerian Luar Negeri RI Aji Surya mengatakan, akibat serangan tersebut 2 staf KBRI mengalami luka ringan, sementara beberapa staf lainnya menyelamatkan diri di kediaman Duta Besar RI di Sanaa. Aji menambahkan, bom tersebut menghancurkan 90 persen dari Gedung KBRI Sanaa.

2 Staf diplomat dan seorang WNI yang terluka telah mendapatkan pertolongan dan bersama seluruh WNI lainnya sudah dievakuasi ke Wisma Duta di Sanaa untuk segera berupaya menuju ke Hudaidah.

Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Indonesia mengecam keras insiden tersebut. Pemerintah menegaskan, pengeboman ini merupakan bukti bahwa penyelesaian masalah melalui kekerasan hanya akan menimbulkan korban warga tidak bersalah.

WNI Diimbau Mau Dievakuasi

Menteri Luar Negeri Retno Marsudi pun meminta warga negara Indonesia (WNI) yang masih berada di Yaman mau dievakuasi.

"Situasi Sanaa membuktikan situasi (Yaman) akan cepat berubah, situasi akan cepat berubah menjadi tak kondusif karena wilayah tersebut adalah wilayah konflik," kata Menteri Luar Negeri Retno Marsudi di Gedung Jakarta Center (JCC), Senin (20/4/2015).

"Anak-anak kita mahasiswa Indonesia yang berada di Tarim dan Almukala (Yaman) yang sebenarnya sudah banyak dievakuasi, untuk mau dievakuasi," sambung dia.

KBRI Sanaa menginformasikan, saat ini terdapat 17 WNI yang terdiri dari staf KBRI Sanaa, anggota tim evakuasi WNI dari Jakarta, dan WNI yang sedang mengungsi.

Kementerian Luar Negeri (Kemlu) juga telah menginstruksikan kepada KBRI dan tim evakuasi di Sanaa untuk segera mengambil langkah yang diperlukan untuk mengamankan keselamatan WNI yang berada di sana.

Bukan Target Serangan

Menlu menolak pernyataan yang menyebut tempat tersebut sudah dijadikan target serangan. "Kita ini terkena imbas, bukan target," kata Retno.

Retno menegaskan, alasan tersebut mempunyai dasar yang kuat. Sebab, Pemerintah RI sudah melakukan assesment (penaksiran) insiden yang melukai 2 staf diplomat dan seorang WNI itu. "Kita bukan sasaran, mungkin sasaran target ada di dekat KBRI," tegas Retno.

Pemerintah pun memastikan akan segera mencari pelaku serangan. "Sampai saat ini kita belum tahu siapa yang mengebom dan belum ada pernyataan resmi dari Pemerintah Yaman," ujar Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Arrmanatha Nasir di Jakarta Convention Center (JCC), Senayan, Jakarta.

Pria yang kerap disapa Tata itu menyebutkan, kawasan di sekitar KBRI Sanaa, belakangan ini memang tidak kondusif sejak konflik memanas di Yaman.

Tak Perlu Bersikap Berlebihan

Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana menilai, kecaman Pemerintah RI memadai. Namun tak perlu mengambil tindakan berlebihan, atas pengeboman itu, karena 3 alasan.

"Pertama, pengeboman tidak dilakukan dengan target KBRI. Ini mengingat operasional KBRI telah dipindahkan ke Salalah, tempat yang lebih aman," ujar Hikmahanto, Senin. "Adapun yang menjadi target adalah depot amunisi, yang letaknya tidak terlalu jauh dari Gedung KBRI," sambung dia.

Kedua, serangan secara bertubi-tubi dan sistematis itu dapat disimpulkan Sanaa telah dijadikan war zone atau zona perang. Kendati dalam hukum humaniter--aturan perang untuk alasan kemanusiaan, penyerang harus meminimalkan penduduk sipil dan situ-situs bersejarah, serta gedung pemerintahan.

"Bila ada penduduk sipil yang menjadi korban, maka mereka akan dianggap sebagai korban yang bukan menjadi target (collateral damage)," jelas dia. Ketiga, menurut Hikmahanto, presisi menembak ke tepat sasaran meski menggunakan alutsista yang canggih, sulit dilakukan bila serangan dari udara.

"Idealnya perang di dalam kota dilakukan melalui darat, meski konsekuensinya banyak korban yang berperang akan jatuh," kata dia.

Hikmahanto menyimpulkan, pengeboman ke KBRI di Sanaa, Yaman diduga tidak sengaja. Karena itu ke depan menjadi pelajaran bagi Pemerintah RI agar memiliki lokasi kantor KBRI di negara mana pun, tidak dekat dengan instalasi militer.

Beberapa waktu lalu, 1.988 WNI dievakuasi dari Yaman setelah situasi keamanan di negara tersebut semakin tidak kondusif akibat pertempuran pasukan koalisi pimpinan Arab Saudi melawan pemberontak Houthi.

Dari 1.988 WNI, 1.369 sudah sampai di Indonesia. Sisa 619 WNI masih dalam perjalanan menuju tanah air. Sebanyak 619 WNI tersebut berasal dari Jizan, yaitu 117 WNI, Ciboty 98 WNI‎, dan Salalah 404 WNI.

Namun demikian, masih banyak pula WNI yang menolak pulang ke Tanah Air. Umumnya, WNI menolak dievakuasi dengan alasan situasi di tempat mereka tinggal belum terlalu genting. Padahal situasi di negara konflik tidak dapat dipastikan.

Yaman terus bergejolak setelah kelompok milisi Houthi, yang berjuang untuk mendapatkan peningkatan otonomi di Provinsi Saada, melancarkan pemberontakan secara berkala sejak 2004. Aksi mereka yang paling signifikan terjadi sejak Juli 2014. Pada September 2014, mereka menguasai Ibukota Sanaa, menyandera staf kepresidenan, dan menembaki kediaman Presiden Abdu Rabuh Mansour Hadi.

Kondisi ini kemudian membuat Arab Saudi dan sekutunya di Teluk turun tangan Puncaknya, mulai Maret 2015, Arab Saudi dan negara teluk memutuskan untuk melakukan operasi militer "Decisive Storm" untuk menggempur kelompok Houthi di Yaman setelah Presiden Abedrabbuh Mansour Hadi meminta bantuan. (Mvi/Ans)

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya