Panglima TNI Sudah Siapkan Perwira TNI untuk KPK

TNI masuk KPK bukan sebagai penyidik, melainkan ditempatkan di jajaran sekretariat jenderal dan pengawas internal.

oleh Luqman RimadiNafiysul Qodar diperbarui 16 Mei 2015, 09:42 WIB
Diterbitkan 16 Mei 2015, 09:42 WIB
tni
Panglima TNI Jenderal Moeldoko. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Panglima TNI Jenderal Moeldoko mengaku telah bertemu dengan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk membahas rencana perekrutan tokoh berlatar belakang perwira TNI. Sebab, anggota TNI masuk KPK bukan sebagai penyidik, melainkan ditempatkan di jajaran sekretariat jenderal dan pengawas internal.

"Sudah disiapkan. Ada dari TNI AD. Satunya kami usahakan dari POM (polisi militer)," ujar Moeldoko di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Jumat 15 Mei 2015 malam.

Lalu, siapa saja sosok yang akan ditempatkan di KPK? Moeldoko masih merahasiakannya. Kendati demikian, ia memastikan setelah bergabung dengan KPK, perwira TNI yang ia tunjuk akan langsung meninggalkan jabatan di ketentaraan dengan mengajukan pensiun. Pengajuan pensiun dilakukan karena aturan yang menetapkan kalau prajurit aktif dalam lembaga pemerintahan seperti KPK.

"Dilarang, undang-undang nggak boleh. Jadi yang masuk ke KPK adalah mereka yang saya pilih bagus. Setelah itu dia akan ajukan pensiun sebelum duduk di sana," imbuh Moeldoko.

Terkait merebaknya isu kekhawatiran publik karena masuknya TNI dalam lembaga antirasuah itu, Moeldoko menekankan hal tersebut tidak patut menjadi kekhawatiran. Sebab, masuknya anggota TNI yang telah bergabung dalam institusi sipil telah menjadi sipil lebih dahulu dengan mundur dari TNI.

Ia pun menganggap, bila dibutuhkan oleh negara, sebagai rasa tanggung jawab, seorang anggota TNI harus siap ditugaskan di manapun, asalkan tidak terlibat ke ranah politik.

"Sepanjang TNI dibutuhkan negara untuk mengawal jalannya pembangunan nasional lewat kementerian, silakan. Tapi jangan coba-coba siapa pun yang tarik TNI ke politik, sorry, nggak bakalan. Sepanjang sosial, silakan," tukas Moeldoko.

Selanjutnya: Jokowi Setuju...

Jokowi Setuju

Jokowi Setuju

Moeldoko mengatakan, Presiden Joko Widodo tidak mempermasalahkan masuknya sejumlah tokoh berlatar belakang TNI dalam sejumlah lembaga negara seperti KPK dan Kementerian Perhubungan.

Menurut dia, keterlibatan anggota militer bukan atas keinginan TNI. Namun karena permintaan lembaga negara yang membutuhkan tenaga anggota TNI.

"Iyalah Presiden (Jokowi) setuju. Masa Panglima TNI awur-awuran. Jadi jangan salahin TNI. Panglima TNI nggak pernah sodorkan ke kementerian-kementerian. Tapi teman-teman kementerian yang minta bantuan Panglima TNI agar anggotanya bisa dipakai sementara, jadi semuanya itu bukan inisiatif panglima TNI," ujar Moeldoko.

Wakil Ketua sementara KPK Johan Budi SP sebelumnya mengakui pihaknya meminta TNI untuk mengisi jabatan di lembaga anti-rasuah itu, seperti Kepala Bagian Pengamanan. Namun, wacana masuknya TNI ke KPK ini belum dibahas secara detail oleh unsur pimpinan KPK.

Kapuspen TNI Mayjen Fuad Basya mengatakan, pihaknya memiliki sumber daya manusia yang melimpah dan cakap. Tidak hanya sebagai penyidik, tapi tenaga profesional lainnya yang dibutuhkan KPK.

Selanjutnya: Minta KUHAP Direvisi...

Minta KUHAP Direvisi

Minta KUHAP Direvisi

Mantan Wakil Kapolri Komjen Pol Purn Oegroseno menyatakan pemerintah perlu merivisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Langkah itu perlu dilakukan untuk mencegah kriminalisasi oleh penegak hukum.

"Saya rasa KUHAP sudah bagus tinggal beberapa yang perlu direvisi lagi. Seperti penggeledahan, penangkapan, atau penahanan utamanya," ungkap Oegroseno dalam sebuah diskusi di Kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH), Menteng, Jakarta Pusat, Jumat 15 Mei 2015.

Anggota Tim 9 ini juga mengatakan, tidak perlu lagi membentuk hakim komisaris. "Ngapain dibikin struktur lagi. Cukup ke hakim setempat, bahwa kami akan menggeledah ini atau penahanan ini, jelaskan saja pasalnya, kalau landasan jelas, ya sudah selesai."

Selain itu, pencegahan terhadap kriminalisasi juga bisa dilakukan melalui proses yang transparan. Oegroseno menjelaskan, para penegak hukum perlu melakukan simulasi proses mengadili seseorang. Agar masyarakat tahu bagaimana menegakkan hukum yang sebenarnya.

"Jadi dari tingkat penyidikan hingga persidangan di pengadilan. Itu kalaupun yang saya katakan tadi, simulasi. Bagaimana penegakan hukum yang sebenarnya supaya masyarakat tahu, ya dibuka saja ke publik," papar dia.

Untuk memperbaiki sistem hukum di Indonesia saat ini, lanjut dia, juga perlu adanya kemauan baik dari pemerintah, penegak hukum, maupun masyarakat. Kalau tidak ada, sesering apa pun diskusi soal penegakan hukum tidak akan bisa mengubahnya ke arah yang lebih baik.

"Ya kemauan dulu, kalau nggak ada nggak bakal berubah. Jadi polisi, jaksa, atau penyidik lainnya sama pengadilan harus mau kalau negara kita ingin maju. Sehingga bangsa ini juga percaya kalau Indonesia punya kepastian hukum," pungkas Oegroseno. (Ans/Sss)

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya