Liputan6.com, Jakarta - Presiden Joko Widodo atau Jokowi tegas menolak revisi UU KPK. Namun, DPR tetap meminta agar revisi undang-undang segera dijalankan. ‎Wakil Ketua DPR Fadli Zon mengatakan, revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 ini tidak bisa dihindari lantaran sudah masuk Prolegnas.
"Masalahnya itu kapan? Apakah tahun ini 2015 atau tahun-tahun ke depan? Saya kira lebih cepat lebih bagus, karena KUHP juga sudah masuk dari pemerintah. Tidak ada yang luar biasa kalau merevisi undang-undang, termasuk UU KPK. Karena banyak juga kelemahannya dalam undang-undang itu," ujar Fadli Zon usai mengikuti buka puasa bersama di Istana Negara, Jakarta, Jumat (19/6/2015) malam.
Elite Partai Gerindra itu mencontohkan, salah satu poin yang harus direvisi adalah terkait pengangkatan penyidik independen. Padahal menurut dia dalam beberapa diskusi, penyelidik harus berasal dari kepolisian.
"Harus dijelaskan masalah undang-undang, penyidik misalnya, boleh KPK membuat satu penyidik sendiri, tapi penyelidik itu harus dari kepolisian. Kalau KPK membuat penyelidik independen, itu berarti menjadikan institusi baru. Institusi hukum baru di luar kepolisian dan kejaksaan yang selama ini saling mengontrol antara kepolisian dan kejaksaan," kata Fadli.
Fadli menilai, sekarang ini merupakan saat yang tepat untuk merevisi UU KPK. Terlebih, sejauh ini lembaga anti-rasuah ini sudah 3 kali kalah dalam sidang praperadilan. Hal ini menjadi pertimbangan untuk merevisi undang-undang lembaga anti-korupsi itu.
"Ini satu momen yang bagus karena sudah 3 kali KPK dikalahkan dalam sidang praperadilan dengan masalah yang berbeda-beda, kurang 2 alat bukti, kemudian masalah penyidik yang tidak legal. Kan berbahaya, akan kalah terus KPK," kata dia.
Fadli mengatakan, walau Jokowi telah menolak revisi UU KPK, pihaknya akan tetap berupaya melakukan pendekatan dengan pemerintah. Namun, ia ngotot revisi tetap dilakukan.
"Sekarang belum masuk Prolegnas prioritas. Kita diskusikan lagi. Kalau nanti setuju dengan pihak terkait akan kita masukkan sekaligus untuk pembenahan ini. Tapi, saya garisbawahi sudah pasti akan direvisi, cuma apakah tahun ini atau tahun depan. Bukan dibatalkan, tetapi masalah waktunya saja, timing kita saja‎," pungkas Fadli.
Komentar Nasdem
Baca Juga
Â
Advertisement
Sementara itu anggota DPR Fraksi Nasdem Patrice Rio Capella menyatakan, sejak berdiri KPK telah memberi sumbangsih besar terhadap penegakan hukum di Indonesia, terutama dalam memberantas korupsi.
Kendati demikian, menurut dia, KPK sebagai lembaga tetap membutuhkan pengawasan demi kebaikan lembaga antirasuah itu, termasuk pengawasan dalam tindak penyadapan.
"Bahwa banyak kasus-kasus besar bisa dibongkar oleh KPK. Tetapi KPK sebagai lembaga juga butuh pengawasan. Jangan sampai KPK bisa menyadap orang dengan alasan tidak sadar. Ini tidak boleh," ujar Patrice di Gedung DPR, Jakarta, Jumat 19 Juni 2015.
Ia mencontohkan kasus penyadapan tidak sengaja yang dilakukan KPK terhadap petinggi partai politik dan petinggi Polri. "Kemudian (hasil penyadapan) diumumkan. Ini kan bisa digugat. Sebuah lembaga itu tidak bisa menyadap seseorang asal mau, meski dengan alasan tidak sadar."
Karena itu, Patrice sangat setuju jika kewenangan penyadapan KPK direvisi melalui undang-undangnya. Hal itu untuk menghindari kesalahan petugas di KPK dalam bertugas.
Patrice juga menyoroti usulan agar KPK bisa menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Menurut Patrice, SP3 perlu dimiliki KPK agar dalam menetapkan seseorang sebagai tersangka lebih berhati-hati.
KPK Apresiasi Penolakan Jokowi
Pelaksana Tugas (Plt) Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Taufiequrrachman Ruki mengatakan, lembaganya mengapresiasi keputusan Jokowi yang menolak usulan DPR terkait revisi Undang-Undang KPK Nomor 32 Tahun 2002.
Dengan demikian, kata Ruki, pihaknya tinggal fokus terhadap upaya pemberantasan korupsi dan menyelesaikan perkara pidana korupsi, yang belum tuntas hingga selesai masa jabatannya, Desember 2015 mendatang.
"Suka sekali saya. Jadi saya tidak perlu memikirkan hal-hal lain. Alhamdulillah," ujar Ruki di Gedung KPK, Jakarta, Jumat (19/6/2015).
Ruki menjelaskan, penolakan Jokowi terhadap revisi UU KPK bukan lantaran pihaknya yang meminta, melainkan inisiatif presiden pribadi.
"Enggak minta saya, memang inisiatif Presiden. Presiden punya komitmen tentang yang satu ini (pemberantasan korupsi)," kata dia.
Terkait alasan tidak direvisinya UU KPK tersebut, kata Ruki memang tidak ada yang perlu diubah. Wacana revisi yang sudah masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015 di DPR tersebut, hanya menambah persoalan.
"Tidak ada yang perlu diubah, tidak ada yang perlu diganti-ganti. Daripada bikin persoalan, biarkan saja usulan. Tapi kan pembahasan dengan pemerintah, pemerintah tidak bersedia merubah itu," tegas Ruki.
Ruki sebelumnya pernah menyatakan ada sejumlah hal dalam undang-undang lembaganya yang harus segera direvisi. Salah satunya adalah, KPK perlu memiliki kewenangan menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) terkait perkara yang ditangani.
Selain itu, ia juga berharap lembaganya dapat memiliki kewenangan mengangkat penyidik sendiri, di luar penyidik yang berasal dari Polri dan Kejaksaan. (Rmn/Ado)