Liputan6.com, Jakarta - Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa bahwa program Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan tidak sesuai syariah Islam. Wakil Presiden Jusuf Kalla atau JK pun mempertanyakan fatwa tersebut.
"Pertanyaannya apa yang tak sesuai syariah? Itu yang masih kita kaji," kata JK di Gedung Bappenas, Jakarta, Rabu (29/7/2015).
Dia baru mendengar adanya fatwa tersebut. "Saya memang belum baca, tapi yang dimaksud halal itu jelas. Agama Islam itu sederhana, selama tidak haram ya halal," ujar JK.
Ia menilai keberadaan BPJS bertujuan untuk membantu rakyat. Hal itu sesuai dengan ajaran Islam.
"Saya pikir perlu kita pelajari baik-baik, karena itu kan membantu rakyat. Apanya yang tidak sesuai syar'i (sesuai syariat Islam)," ucap JK.
JK pun menuturkan pemerintah akan mengundang para ulama untuk membicarakan hal ini. Nantinya akan disamakan persepsi pemerintah dan para ulama.
Advertisement
Bila MUI mempermasalahkan denda karena keterlambatan membayar iuran BPJS, JK menuturkan hal itu bukan persoalan. Sebab, di aturan mana pun selalu ada denda bila tak memenuhi tanggung jawab.
"Kalau soal denda-denda itu kan selalu ada di setiap peraturan kita. Anda telat bayar pajak juga dikenakan denda," tutur dia.
"Kadang-kadang juga dalam Bank Syariah juga begitu, kalau telat sesuatu juga ada sanksinya. Ya, tergantung nanti kita perbaiki sanksinya, bukan denda, apalah itu, administrasi," tandas JK.
MUI pada 9 Juni 2015 mengeluarkan fatwa bahwa program Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan tidak sesuai syariah Islam. Sidang Pleno Ijtima Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia V yang dipimpin Ketua Bidang Fatwa MUI Ma'ruf Amin, membahas program termasuk modus transaksional yang dilakukan BPJS Kesehatan dari perspektif ekonomi Islam dan fiqh mu'amalah, dengan merujuk pada Fatwa Dewan Syari'ah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) dan beberapa literatur.
"Nampaknya bahwa secara umum program BPJS Kesehatan belum mencerminkan konsep ideal jaminan sosial dalam Islam, terlebih lagi jika dilihat dari hubungan hukum atau akad antar para pihak," tulis dokumen hasil sidang yang dikutip Liputan6.com dari laman resmi mui.or.id, Rabu (29/7/2015).
Dalam poin 'Ketentuan Hukum Dan Rekomendasi', sidang memutuskan, penyelenggaraan jaminan sosial oleh BPJS Kesehatan, terutama yang terkait dengan akad antarpara pihak, tidak sesuai dengan prinsip syari'ah. "Karena mengandung unsur gharar, maisir dan riba."
MUI pun mendorong pemerintah untuk membentuk, menyelenggarakan, dan melakukan pelayanan jaminan sosial berdasarkan prinsip syari'ah dan melakukan pelayanan prima.
Keputusan haram itu diputus pada sidang pleno Ijtima Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia V tahun 2015 yang berlangsung di Pesantren At-Tauhidiyah pada 7-10 Juni lalu. Putusan dikeluarkan pada 9 Juni. (Mut)