Liputan6.com, Jakarta - Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada 9 Juni 2015 mengeluarkan fatwa bahwa program Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan tidak sesuai syariah Islam. Putusan itu ditetapkan di Pesantren At-Tauhidiyah dalam Sidang Pleno Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia V.
Sidang yang dipimpin Ketua Bidang Fatwa MUI Ma'ruf Amin itu membahas program termasuk modus transaksional yang dilakukan BPJS Kesehatan dari perspektif ekonomi Islam dan fiqh muamalah, dengan merujuk pada Fatwa Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) dan beberapa literatur.
"Tampaknya bahwa secara umum program BPJS Kesehatan belum mencerminkan konsep ideal jaminan sosial dalam Islam, terlebih lagi jika dilihat dari hubungan hukum atau akad antarpara pihak," tulis dokumen hasil sidang yang dikutip Liputan6.com dari laman resmi mui.or.id, Rabu 29 Juli 2015.
Dalam poin Ketentuan Hukum dan Rekomendasi, sidang memutuskan, penyelenggaraan jaminan sosial oleh BPJS Kesehatan, terutama yang terkait dengan akad antarpara pihak, tidak sesuai dengan prinsip syariah. "Karena mengandung unsur gharar, maisir, dan riba."
MUI pun mendorong pemerintah untuk membentuk, menyelenggarakan, dan melakukan pelayanan jaminan sosial berdasarkan prinsip syariah dan melakukan pelayanan prima.
Sidang ijtima juga mengeluarkan 2 rekomendasi. Pertama, agar pemerintah membuat standar minimum atau taraf hidup layak dalam kerangka jaminan kesehatan yang berlaku bagi setiap penduduk, sebagai wujud pelayanan publik sebagai modal dasar bagi terciptanya suasana kondusif di masyarakat tanpa melihat latar belakangnya.
Kedua, agar pemerintah membentuk aturan, sistem, dan memformat modus operandi BPJS Kesehatan agar sesuai dengan prinsip syariah.
Keluarnya fatwa ini langsung ditanggapi Direktur Utama BPJS Kesehatan Fahmi Idris. Dia mengatakan pihaknya akan segera menemui MUI untuk menanyakan langsung faktor keluarnya fatwa tersebut.
"Kami tidak menyatakan berita itu benar atau tidak, tapi mungkin Dewan Pengawas BPJS atau Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) akan bertanya langsung ke MUI," katanya di sela-sela acara halalbihalal seluruh stakeholder BPJS Kesehatan di Kantor Pusat BPJS Kesehatan, Jakarta.
Menurut Fahmi, pernyataan MUI tersebut belum menjadi fatwa, sebab usulan mereka dalam mendorong pemerintah untuk membentuk, menyelenggarakan, dan melakukan pelayanan jaminan sosial berdasarkan prinsip syariah dan melakukan pelayanan prima hanya bentuk rekomendasi.
Fatwa yang Dipertanyakan
Namun, tidak semua pihak menanggapi fatwa ini dengan positif. Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), misalnya, menyayangkan sikap MUI yang terlalu gampang mengeluarkan fatwa tentang suatu masalah atau kebijakan.
Ketua Umum PBNU, Said Aqil Siradj, mengatakan, lembaga yang biasa memberikan label halal atau haram itu seharusnya tidak terburu-buru mengeluarkan fatwa.
"MUI itu sering kali mengeluarkan fatwa hampir 11 item. Kita ini terlalu fatwa banget. Di Timur Tengah (sebagai kiblat agama Islam) bisa setahun sekali," ujar Said Aqil di Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (29/7/2015).
"Kalau saya contohkan, misalnya di Mesir. Itu cuma 3 kali dalam setahun di mana seorang Mufti (orang yang mengeluarkan fatwa) berfatwa," tutur Said Aqil.
Saat ditanya bagaimana sikap NU terhadap program BPJS, dia menyatakan akan dibahas dalam Muktamar NU yang akan diselenggarakan di Jombang, Jawa Timur.
"Akan dibahas di Muktamar nanti. Kita punya metode sendiri dalam menentukan sikap seperti itu," pungkas Said Aqil.
Tak hanya PBNU, Wakil Presiden Jusuf Kalla atau JK pun mempertanyakan keluarnya fatwa tersebut. JK mempertanyakan hal-hal yang dinilai tidak sesuai syariah dalam BPJS Kesehatan.
"Pertanyaannya apa yang tak sesuai syariah? Itu yang masih kita kaji," kata JK di Gedung Bappenas, Jakarta.
Dia baru mendengar adanya fatwa tersebut. "Saya memang belum baca, tapi yang dimaksud halal itu jelas. Agama Islam itu sederhana, selama tidak haram ya halal," ujar JK.
Digagas Gus Dur, Diresmikan SBY
Hingga disahkan dan diundangkan, UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang menjadi cikal BPJS telah melalui proses yang panjang, dari tahun 2000 hingga tanggal 19 Oktober 2004.
Diawali dengan Sidang Tahunan MPR Tahun 2000, di mana Presiden Abdurrahman Wahid menyatakan tentang Pengembangan Konsep SJSN. Pernyataan tersebut direalisasikan melalui upaya penyusunan konsep tentang Undang-Undang Jaminan Sosial (UU JS) oleh Kantor Menko Kesra
Sejalan dengan pernyataan Presiden, DPA melalui Pertimbangan DPA RI No. 30/DPA/2000, tanggal 11 Oktober 2000, menyatakan perlu segera dibentuk Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat sejahtera.
Dalam Laporan Pelaksanaan Putusan MPR oleh Lembaga Tinggi Negara pada Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2001 (Ketetapan MPR RI No. X/ MPR-RI Tahun 2001 butir 5.E.2) dihasilkan Putusan Pembahasan MPR yang menugaskan Presiden RI "Membentuk Sistem Jaminan Sosial Nasional dalam rangka memberikan perlindungan sosial yang lebih menyeluruh dan terpadu".
Pada tahun 2001, Wakil Presiden RI Megawati Soekarnoputri mengarahkan Sekretaris Wakil Presiden membentuk Kelompok Kerja Sistem Jaminan Sosial Nasional (Pokja SJSN).
Advertisement
Pada perkembangannya, Presiden Megawati akhirnya mengesahkan UU No. 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) pada 19 Oktober 2004.
Munculnya UU SJSN ini juga dipicu oleh UUD Tahun 1945 dan perubahannya Tahun 2002 dalam Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 28H ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), serta Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2) yang mengamanatkan untuk mengembangkan SJSN.
Baru 10 tahun kemudian, BPJS Kesehatan diresmikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Mulai 1 Januari 2014, sekitar 121 juta warga Indonesia menjadi peserta program ini.
"Terhitung mulai besok, pada tahap awal kita berikan pelayanan kesehatan 121 juta peserta atau 48 persen jumlah penduduk indonesia," kata SBY di Istana Bogor, Selasa 31 Desember 2013.
Dengan besarnya jumlah peserta BPJS, lanjut SBY, penyelenggara BPJS di Indonesia diharapkan memberikan manfaat dan keuntungan yang besar bagi anggotanya. BPJS juga bisa menjadi model dan tes bagi negara lain di dunia. "Dengan segala kesiapan itukah kita mulai program yang sangat dinantikan dan bermanfaat bagi rakyat," ujarnya.
Menurut SBY, dua program BPJS yang diresmikan adalah BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Kedua BPJS ditujukan untuk berikan jaminan sosial dan kesehatan yang lebih merata, lebih adil, dan dirasakan manfaat secara nyata oleh seluruh rakyat Indonesia. BPJS kesehatan akan memberikan perlindungan kesehatan bagi rakyat miskin.
"Rakyat miskin gratis berobat dan dijamin oleh BPJS. Sekali saya lagi ditekankan, dengan BPJS Kesehatan pemerintah berharap tidak ada lagi yang was-was bagi orang tidak mampu," kata SBY.
Sementara itu Menko Kesra Agung Laksono menegaskan, terhitung 1 Januari 2014 sebanyak 121 juta penduduk Indonesia yang merupakan peserta BPJS sudah bisa mendaftarkan dirinya.
"Mulai tanggal itu BPJS sudah bisa mendaftarkan peserta baru yang diselenggarakan di kantor BPJS di seluruh (wilayah) Tanah Air dan kantor seperti BRI, Bank Mandiri," kata Agung.
Sementara, dari 2.300 rumah sakit di Indonesia, 1.710 di antaranya sudah mengikat perjanjian kerja sama untuk menyukseskan program JKN. "Untuk Puskesmas tercatat sudah 9.217 yang menjadi operator BPJS Kesehatan," kata Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi.
Fasilitas kesehatan ini terdiri dari 533 rumah sakit pemerintah, 919 rumah sakit swasta, 109 rumah sakit khusus dan rumah sakit jiwa, 104 rumah sakit TNI, dan 45 rumah sakit Polri.
Melalui JKN, pelayanan kesehatan yang ditanggung ialah pelayanan kesehatan dasar yang mengancam jiwa seseorang. Meliputi kecelakaan, pengobatan, hingga cuci darah. Begitu menjadi peserta dan membayar iuran maka warga berhak mendapatkan pelayanan kesehatan secara lengkap sesuai indikasi medis.
Berapa iuran per bulannya? Bagi pekerja bukan penerima upah dan bukan pekerja, ada 3 pilihan besaran iuran per jiwa per bulan, yaitu Rp 25.500 untuk rawat inap kelas 3, Rp 42.500 untuk rawat inap kelas 2, dan Rp 59.500 untuk rawat inap kelas 1. Untuk rakyat tergolong tidak mampu dibayar oleh negara sebesar Rp 19.225 per bulan. Besar iuran akan dievaluasi tiap 2 tahun.
Pihak BPJS Kesehatan sendiri sudah menargetkan, paling lambat 1 Januari 2019, seluruh penduduk Indonesia sudah memiliki jaminan kesehatan nasional. (Ado/Ans)