Uji Materi Penerbitan SIM, Polri Nyatakan Tak Ada Diskriminasi

MK ‎kembali menggelar sidang uji materi Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian dan UU Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas.

oleh Oscar Ferri diperbarui 16 Sep 2015, 14:21 WIB
Diterbitkan 16 Sep 2015, 14:21 WIB
Pembuatan SIM
Pembuatan SIM (Liputan6.com/ Dian Kurniawan)

Liputan6.com, Jakarta - Mahkamah Konstusi (MK) ‎kembali menggelar sidang uji materi Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian dan UU Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ). Pada uji materi ini Pemohon mempermasalahkan kewenangan Polri menerbitkan Surat Izin Mengemudi (SIM), Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK), dan Bukti Pemilik Kendaraan Bermotor (BKPB).

Dalam sidang beragendakan mendengarkan keterangan saksi itu, Wakil Kepala Korps Lalu Lintas (Waka Korlantas) Polri, Brigadir Jenderal Pol Sam Budigusdian mengatakan‎, tidak ada diskriminasi dalam pengajuan SIM, STNK, maupun BKPB. Hal itu sudah diatur dalam UU LLAJ dan Peraturan Kapolri Nomor 9 tahun 2012 tentang aturan lain kesehatan jasmani.

"‎Tidak ada diskriminasi‎ dan sudah diatur di UU LLAJ mapun Perkap," ujar Sam di Gedung MK, Jakarta, Rabu (16/9/2015).

Namun begitu, lanjut Sam, tetap ada syarat dalam pengajuan SIM misalnya, khususnya untuk penyandang cacat. Dalam hal ini peserta uji SIM D harus lolos tes kesehatan jasmani. Syarat lolos kesehatan itu tertuang dalam Pasal 80 UU LLAJ dan Pasal 35 Perkap itu.

"Lolos kesehatan, karena SIM itu berkaitan dengan keselamat diri dalam berlalu lintas," ucap dia.

Karena itu, kata Sam‎, para penyandang cacat tetap bisa mengajukan SIM D. Namun, mereka tetap harus mengikuti sejumlah persyaratan kesehatan.

"Kalau kemarin ada yang buta dan tuli, itu tidak ada masuk syarat. Karena itu membahayakan diri, dan kita pasti memperhatikan keselamatannya. Jadi bukan berarti Polri tidak keluarkan SIM D. Di Polda Metro Jaya suda ada 3 ribu lebih SIM D diterbitkan, belum di Jawa Timur," papar Sam.

Salah satu saksi yang dihadirkan Pemohon, Hari Kurniawan mengaku sudah berkali-kali gagal dalam ujian SIM di Kabupaten Tuban, Jatim. Namun, justru teman-temannya sesama penyandang cacat di Jember malah sudah mendapat SIM D.

"Sudah mengendarai kendaraan roda tiga selama 4 tahun. Tempat mengajukannya di Polres Tuban. Tapi teman-teman saya di Jember banyak yang dipermudah," kata Hari.

Sejumlah warga negara perseorangan dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) menggugat beberapa pasal dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian dan Undang-Undang Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ) ke Mahkamah Konstitusi (MK).‎ Mereka menguji Pasal 15 ayat 2 huruf b dan huruf c UU Polri serta Pasal 64 ayat 4 dan ayat 6, Pasal 67 ayat 3, Pasal 68 ayat 6, Pasal 69 ayat 2 dan ayat 3, Pasal 72 ayat 1 dan ayat 3, Pasal 75, Pasal 85 ayat 5, Pasal 87 ayat 2 dan Pasal 88‎ UU LLAJ.

Dalam gugatan uji materi ke MK, pemohon mempermasalahkan kewenangan kepolisian dalam menerbitkan Surat Izin Mengemudi (SIM), Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK), dan Bukti Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB) yang tertuang dalam pasal-pasal tersebut.

‎Para pemohon menganggap kebijakan Polri mengeluarkan SIM, STNK, dan BPKB bertentangan dengan Pasal 30 ayat 4 UUD 1945. Di mana dalam Pasal 30 ayat 4 tersebut menyatakan polisi sebagai alat keamanan negara yang bertugas melindungi dan mengayomi masyarakat.

‎Dengan menguji Pasal 30 ayat 4 UUD 1945 itu, para pemohon menilai kewenangan Kepolisian hanya sebatas keamanan dan ketertiban masyarakat, bukan‎ mengurusi urusan administrasi seperti menerbitkan SIM, STNK, dan BPKB.

‎Adapun para pemohon ini adalah warga negara bernama Alissa Q Munawaroh Rahman dan Hari Kurniawan. Sedangkan pemohon dari LSM yakni Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Malang Corruption Watch, dan Pemuda Muhammadiyah. (Mut)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya