Liputan6.com, Jakarta - Fraksi-Fraksi di DPR RI yang tergabung dalam barisan Koalisi Merah Putih (KMP) bersuara bulat menolak Rencana Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (RAPBN) 2016 yang diajukan pemerintah.
Salah satu alasan penolakan adalah adanya Penyertaan Modal Negara (PMN) bagi BUMN yang besarnya mencapai Rp 30 triliun. Menangapi hal tersebut, Wakil Presiden Jusuf Kalla akan berkonsultasi dengan Menteri Keuangan.
"Nanti saya bicara dengan Menteri Keuangan," ujar JK usai menghadiri KTT Menteri Tenaga Kerja negara-negara muslim di Hotel Mulia, Senayan, Jakarta, Kamis, (29/10/2015).
JK mengakui partai-partai yang tergabung dalam KMP memang mempertanyakan pos-pos anggaran yang diangap tidak pro terhadap rakyat. Karena itu, dalam waktu dekat JK mengaku akan segera melakukan pembahasan dengan beberapa menteri terkait.
"Memang KMP ada mempertanyakan pos pos anggaran yang perlu jadi perhatian. Makanya kita akan membahas lagi," ucap JK.
Saat disinggung mengenai soal anggaran PMN bagi BUMN yang menjadi sorotan, yakni dana Silpa (Sisa Lebih Penggunaan Anggaran) yang disebut jumlahnya mencapai Rp 130 triliun, JK pun langsung membantahnya.
"Tidak mungkin Silpa sebesar itu, kan defisitnya tinggi. Bagaimana ada Silpa. Silpa itu kalau lebih banyak penerimaan daripada pengeluaran. Sekarang kan pajak tidak mencapai target. Karena ekonomi begini maka tidak mungkin ada Silpa," ucap JK.
Menanggapi hal itu, pengamat politik Universitas Paramadina Hendri Satrio menilai tarik-menarik kepentingan tersebut sebenarnya sudah diprediksi sejak awal. Khususnya sejak pilpres di mana Koalisi Merah Putih (KMP) berada di barisan oposisi, sementara partai-partai pemerintah berada di barisan Koalisi Indonesia Hebat (KIH).
"Meskipun pada pembahasan APBN-P 2015 dua kubu relatif adem karena masih menyesuaikan program kerja dari pemerintahan sebelumnya," ujar Hendri di Jakarta (29/10/2015)
Namun, ujar Hendri, memasuki tahun 2016, program kerja pemerintahan baru sudah "murni" realisasi atas janji-janji Jokowi-JK pada masa pilpres 2014. Oleh sebab itu, dua kubu dengan berbagai pertimbangan masing-masing mengkritisi RAPBN 2016.
Menariknya, dalam pengamatan dia, tarik-menarik kepentingan dua kubu kali ini menjadi bias. Pasalnya setahun pemerintahan Jokowi-JK ada penilaian negatif terhadap kinerja pembantu presiden di Kabinet Kerja.
Di sisi lain, pembahasan RUU Tax Amnesty yang sampai sekarang tidak ada kejelasan apabila dirunut ke belakang berasal dari Komisi XI. Apabila dirunut lagi kelihatan bagaimana penolakan yang disuarakan anggota dari Fraksi PDI Perjuangan.
“Tax Amnesty ini walaupun kelihatannya diusung KMP, padahal itu sebenarnya Komisi XI. Dan di Komisi XI itu paling yang kenceng menolak itu PDIP,” ujar Hendri. (Dms)**
Advertisement