PKS: Jangan Sampai Surat Kapolri Bungkam Kritik ke Pemerintah

Sohibul menilai sumber persoalannya adalah bagaimana menentukan ujaran-ujaran yang bernada kebencian dan yang tidak bernada kebencian.

oleh Liputan6 diperbarui 04 Nov 2015, 08:25 WIB
Diterbitkan 04 Nov 2015, 08:25 WIB
20150915-Presiden-PKS-Muhamad-Sohibul-Iman
Presiden PKS Muhamad Sohibul Iman (Liputan6.com/Yoppy Renato)

Liputan6.com, Jakarta- Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mohamad Sohibul Iman mengatakan sangat menghargai kebijakan Kapolri Jenderal Polisi Badrodin Haiti mengeluarkan Surat Edaran Nomor SE/6/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian.

Namun, dia mengatakan kebijakan tersebut jangan sampai membungkam kebebasan untuk menyampaikan kritik kepada pemerintah.

"Satu hal yang harus digarisbawahi bahwa kebebasan untuk berbicara, memberi kritik dan sebagainya harus benar-benar dijaga," ujar Sohibul Iman dalam siaran persnya, Kamis (4/11/2015).

Sohibul menyadari adanya kebebasan berbicara yang cenderung membangkitkan kebencian-kebencian tidak sesuai dengan alam demokrasi. Hanya menurutnya, yang jadi persoalan adalah bagaimana memilah ujaran yang bernada kebencian dan tidak.

"Nanti di dalam forum di DPR akan menjadi pembicaraan, kami memiliki sikap seperti apa dalam hal itu. Jangan sampai nanti ada kesan tidak ingin dikritik, kemudian sedikit-sedikit menganggap itu sebagai 'hate speech'," kata mantan Wakil Ketua DPR RI ini.

Menurut dia, kritik yang disampaikan jika sesuai ukurannya justru sangat menyehatkan bagi pemerintah. Pada akhirnya, nanti publik melihat penebar kebencian.

"Kritik itu kalau pas ukurannya, seperti vitamin yang sangat menyehatkan. Kalau ada yang overdosis, sebetulnya itu akan hilang sendirinya. Larut," kata imbuh Sohibul Iman.

Isi Surat Kapolri

Pada salinan surat yang diterima dari Divisi Pembinaan dan Hukum (Divbinkum) Polri, disebutkan persoalan ujaran kebencian semakin mendapatkan perhatian masyarakat baik nasional atau internasional seiring meningkatnya kepedulian terhadap perlindungan hak asasi manusia (HAM).

Pada Nomor 2 huruf (f) SE disebutkan, ujaran kebencian dapat berupa tindak pidana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan ketentuan pidana lainnya di luar KUHP, yang berbentuk antara lain:
1. Penghinaan.
2. Pencemaran nama baik.
3. Penistaan.
4. Perbuatan tidak menyenangkan.
5. Memprovokasi.
6. Menghasut.
7. Menyebarkan berita bohong dan semua tindakan di atas memiliki tujuan atau bisa berdampak pada tindak diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa, dan atau konflik sosial.

Selanjutnya pada huruf (g) disebutkan, ujaran kebencian sebagaimana dimaksud di atas, bertujuan untuk menghasut dan menyulut kebencian terhadap individu dan atau kelompok masyarakat, dalam berbagai komunitas yang dibedakan dari aspek:
1. Suku.
2. Agama.
3. Aliran keagamaan.
4. Keyakinan atau kepercayaan.
5. Ras.
6. Antargolongan.
7. Warna kulit.
8. Etnis.
9. Gender.
10. Kaum difabel.
11. Orientasi seksual.

Pada huruf (h) disebutkan, ujaran kebencian sebagaimana dimaksud di atas dapat dilakukan melalui berbagai media, antara lain:
1. Dalam orasi kegiatan kampanye.
2. Spanduk atau banner.
3. Jejaring media sosial.
4. Penyampaian pendapat di muka umum (demonstrasi).
5. Ceramah keagamaan.
6. Media masa cetak atau elektronik.
7. Pamflet.

Pada huruf (i) disebutkan, dengan memperhatikan pengertian ujaran kebencian di atas, perbuatan ujaran kebencian apabila tidak ditangani dengan efektif, efisien, dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, akan berpotensi memunculkan konflik sosial yang meluas, dan berpotensi menimbulkan tindak diskriminasi, kekerasan, dan atau penghilangan nyawa. (Nil/Bob)

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya