DPR Minta KY Usut Hakim Pemvonis Bebas Pembakar Lahan

Komisi III DPR akan mempertimbangkan kembali pembahasan RUU Penghinaan Pengadilan untuk mengoreksi sikap hakim.

oleh Putu Merta Surya Putra diperbarui 04 Jan 2016, 14:28 WIB
Diterbitkan 04 Jan 2016, 14:28 WIB
Sufmi Dasco Ahmad
Anggota MKD Sufmi Dasco Ahmad. (Ist)

Liputan6.com, Jakarta - Putusan Pengadilan Negeri (PN) Palembang yang menolak gugatan perdata Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) senilai Rp 7,9 triliun terhadap PT Bumi Mekar Hijau (BMH) karena kasus kebakaran lahan dan hutan mengundang kritikan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Anggota Komisi III DPR Fraksi Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad berpendapat pertimbangan yang disampaikan majelis hakim yang dipimpin Parlas Nababan itu tidak tepat. Ia meminta agar Komisi Yudisial (KY) bergerak untuk memeriksa apakah ada pelanggaran etik yang dilakukan majelis hakim.

"Komisi Yudisial akan bekerja kalau ada laporan. Saya tidak tahu apakah bisa lakukan periksa dugaan etik yang dilakukan. Kalau memang ada, KY harus bisa proses dugaan itu," ujar Dasco, Senin (4/1/2016).

Terkait kasus itu, ia menyatakan akan mempertimbangkan kembali pembahasan RUU Penghinaan Pengadilan (contempt of court). Hal itu harus dilakukan untuk mengoreksi sikap hakim agar tidak memutuskan kasus secara gegabah.

"Karena itu berkaitan dengan pertimbangan hakim, kami, Komisi III, mempertimbangkan kembali pembahasan RUU tentang contempt of court. Karena, kita harus bisa memberikan koreksi," sahut dia.

Dalam pertimbangan yang disampaikan, Ketua Majelis Hakim Parlas Nababan menyatakan bahwa membakar hutan tidak merusak lingkungan karena tanaman masih bisa ditanam. Selain itu, hakim juga menilai seluruh gugatan dalam kasus kebakaran hutan dan lahan oleh anak usaha Asia Pulp and Paper (APP) itu tidak dapat dibuktikan, baik berupa kerugian maupun kerusakan hayati.

Apalagi, selama proses kebakaran lahan, PT BMH selaku tergugat telah menyediakan sarana pemadam kebakaran dalam lingkungan perkebunan. Majelis hakim menilai kebakaran lahan perkebunan bukan dilakukan tergugat, tetapi pihak ketiga, sehingga tergugat lepas dari jeratan hukum.

Sebagai gantinya, majelis hakim justru membebankan KLHK selaku penggugat untuk membayar biaya perkara sebesar Rp 10.200.000,-

Atas pertimbangan itu, Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Herman Khaeron menyebut putusan yang disampaikan tidak pro-lingkungan. Ia mengakui jika tanaman merupakan sumber daya yang dapat diperbarui, tapi proses pemulihannya memerlukan waktu panjang.

Lagipula, hutan tidak hanya berisi tanaman, tetapi juga manusia. Karena itu, ia mendukung niat pemerintah mengajukan banding atas putusan tersebut.

"Kalau ada keputusan yang bertolak belakang dengan akibat yang ditimbulkan, harus digugat ke pengadilan lebih tinggi dan saya sangat menyesalkan kalau pengadilan tidak pro terhadap lingkungan. Padahal di luar negeri, kejahatan lingkungan itu kejahatan luar biasa," ujar Herman.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya