Ketua MA: RUU Penghinaan Pengadilan untuk Jaga Hakim dari Teror

Hatta mengatakan, dalam ruang sidang seringkali terjadi peserta sidang tidak menghormati jalannya persidangan.

oleh Oscar Ferri diperbarui 31 Des 2015, 17:00 WIB
Diterbitkan 31 Des 2015, 17:00 WIB
20150819-Hatta Ali Pimpin Upacara Peringatan HUT MA ke-70-Jakarta
Ketua Mahkamah Agung Hatta Ali memberi kata sambutan saat upacara peringatan HUT Mahkamah Agung ke-70 bertema ‘Meningkatkan Kepercayaan Publik Melalui Independensi Lembaga Peradilan’ di Jakarta, Rabu (19/8/2015). (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Liputan6.com, Jakarta - Ketua Mahkamah Agung (MA) Hatta Ali mengatakan, pengadilan perlu dijaga oleh sebuah aturan perundang-undangan. Hal ini terkait Rancangan Undang-Undang Contempt of Court (CoC) atau penghinaan peradilan yang telah masuk program legislasi nasional.

Hatta mengatakan, terkadang dalam suatu sidang perkara, ada pengerahan massa di pengadilan. Hal itu merupakan bentuk teror kepada majelis hakim. Terutama ketika mau menjatuhkan putusan.

"Kadangkala di persidangan ada hakim mau jatuhkan putusan, tapi bagi orang-orang tertentu mengerahkan massa kemudian melakukan keributan di ruang sidang. Ini sudah berupa teror pada hakim," ujar Hatta di Gedung MA, Jakarta, Kamis (31/12/2015).

Hatta mengatakan, jika pengerahan massa yang kemudian menimbulkan keributan di dalam persidangan itu terjadi, bukan tak mungkin majelis hakim jadi takut. Pada akhirnya, hakim menjadi 'terintervensi', sehingga yang tadinya mau menghukum berat terdakwa, malah divonis ringan.

Di sini, RUU CoC itu diperlukan. Karena bisa jadi jaminan agar bentuk teror semacam itu bisa dicegah.

Hatta juga mengambil contoh lain terkait perlunya rancangan regulasi yang menuai kontroversi di masyarakat tersebut. Misalnya, dalam ruang sidang seringkali terjadi peserta sidang tidak menghormati jalannya persidangan.

"Keluar-masuk seenaknya (saat persidangan), mengambil gambar seenaknya tanpa izin hakim yang menyidangkan. Ini tidak boleh," ujar Hatta.

Lebih jauh Hatta membandingkan dengan persidangan di beberapa negara lain. Di mana pengambilan foto terdakwa harus atas seizin terdakwa dan hakim yang menyidangkan. Ketika tidak ada izin dari dua pihak tersebut, pengambilan foto dianggap melanggar Hak Asasi Manusia (HAM).

‎"Orang yang disidang harus menggunakan asas praduga tak bersalah. Sepanjang belum diputus oleh keputusan yang berkekuatan hukum tetap, orang itu di mata kita tak boleh dinyatakan bersalah," kata Hatta.

Contoh lain yang terjadi di Indonesia. Di satu daerah pernah terjadi, hakim berlari menyelamatkan diri dengan masih mengenakan toga ketika dikejar massa. Hatta menilai, masih banyak hakim yang jadi korban saat menyidangkan perkara atas ketidakpuasan pihak-pihak terkait.

Karena itu, Hatta berpendapat, jika hakim tidak dilindungi, maka yang rugi masyarakat sendiri. Di situ salah satu inti RUU Penghinaan Pengadilan dibutuhkan dalam dunia peradilan di Indonesia.

"Tujuannya itu, menjaga hakim sehingga bisa tenang menyidangkan perkara, tidak terganggu intervensi dan ancaman keamanan. Hakim itu harus kita hargai jabatannya, putusannya. Kalau kita tidak puas, kan ada upaya hukum banding, kasasi, sampai peninjauan kembali.

"Kalau di luar negeri, alangkah irinya kita melihat. (Di sana) Orang keluar masuk ruang sidang tidak sembarangan, hormat dulu, tidak boleh berisik, dan tidak boleh ambil gambar tanpa persetujuan," kata Hatta. ‎
‎
Saat ini, DPR memasukkan RUU Contempt of Court ke dalam program legislasi nasional (prolegnas). Meski sudah masuk ke dalam prolegnas, RUU ini tidak menjadi salah satu RUU prioritas DPR.

MA pun selama ini selalu mendorong pentingnya keberadaan RUU ini. Sebab hingga kini Indonesia belum memiliki undang-undang yang mengatur tentang penghinaan pada pengadilan.

‎Namun, materi penghinaan pada pengadilan oleh seseorang melalui media massa untuk dimasukkan ke dalam RUU CoC masih menimbulkan perdebatan. Pasalnya, di satu sisi sejumlah kalangan menilai aturan itu bisa berpotensi membelenggu kebebasan pers, di sisi lain aturan itu dinilai beberapa pihak sangat diperlukan, karena proses maupun putusan pengadilan seringkali menjadi objek penghinaan seseorang lewat media massa.

Materi itu sejatinya sudah termuat dalam draft Revisi KUHP yang saat ini masih tengah digodok di DPR. Misalnya, dalam Pasal 327 Revisi KUHP yang berbunyi:

Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV bagi setiap orang yang secara melawan hukum:
a. menampilkan diri untuk orang lain sebagai peserta atau sebagai pembantu tindak pidana, yang karena itu dijatuhi pidana dan menjalani pidana tersebut untuk orang lain;
b. tidak  mematuhi perintah pengadilan yang dikeluarkan untuk kepentingan proses peradilan;
c. menghina hakim atau menyerang integritas atau sifat tidak memihak hakim dalam sidang pengadilan; atau
d. mempublikasikan atau membolehkan untuk d‎ipubli­kasikan segala sesuatu yang menimbulkan akibat yang dapat mempengaruhi sifat tidak memihak hakim dalam sidang pengadilan.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya