Menkum HAM: Pengguna dan Pengedar Narkoba Jangan Dihukum Sama

Lapas bukan menjadi tempat yang baik buat menghukum pengguna narkoba. Perlu dibedakan hukuman untuk pengguna dan pengedar narkoba.

oleh Mufti Sholih diperbarui 14 Mar 2016, 13:55 WIB
Diterbitkan 14 Mar 2016, 13:55 WIB
20160309- Yasonna Laoly-Jakarta- Yoppy Renato
Menkumham Yasonna Laoly berbincang dengan narapidana di dalam ruang lapas Salemba, Jakarta, Rabu (9/3/2016). Kunjungan Menkumham tersebut untuk mengontrol peredaran narkotika di dalam Lapas. (Liputan6.com/Yoppy Renato)

Liputan6.com, Jakarta Kasus kejahatan narkoba seperti tak ada habisnya. Selang-seling, para penjahat narkoba ditangkap dan ujungnya pun sudah bisa ditebak. Menjadi penghuni terungku. Lamat-lamat, kasus narkoba tak juga menurun. Meskipun, pengedarnya sudah dikurung. Penjara seperti tak jadi solusi. Sebab, modus baru malah berkembang di balik jeruji.
 
Freddy Budiman, bisa jadi orang yang paling gampang kita identifikasi sebagai salah satu gagalnya penjara memberangus narkoba. Penjara, di mata Freddy, malah menjadi lahan subur buat mengeruk pundi duit. Terbaru, kasus yang menjerat KD di Denpasar, Bali, Selasa 8 Maret 2016. Bekas narapidana ini sudah dua kali terjerat kasus narkoba. Saat ditangkap, KD malah sedang berstatus wajib lapor buat kasus yang sama.

Dua kasus tersebut menjadi contoh tak efektifnya penjara buat pecandu narkoba.  Hal ini diamini Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Hamonangan Laoly saat inspeksi ke Lapas IIA Salemba, Jakarta Pusat, Rabu, 9 Maret 2016.
 
Yasonna mengakui, lapas bukan menjadi tempat yang baik buat menghukum pengguna narkoba. Sebaliknya, Yasonna menilai, harus ada paradigma baru terhadap pengguna narkoba. “Paradigma kita harus beda. Penindakan itu sangat penting, tapi konsentrasikan itu menghalau para bandar masuk ke Indonesia, kurir ditangkap. Kalau pengguna harus beda pendekatannya,” kata Yasonna kepada Liputan6.com.
 
Perubahan paradigma ini dinilai sebagai salah satu solusi pasti dalam menyikapi masalah narkoba. Musababnya, kasus narkoba tak kunjung turun tiap tahun. Yasonna menyindir proses penyidikan kasus narkoba yang kerap terjadi di kepolisian. Menurut dia, penyidik harusnya bisa membedakan antara seorang pengguna dengan pengedar.
 
Ia mencontohkan, seorang pengguna narkoba yang kedapatan punya tiga linting ganja. Lantas, disidik dengan sangkaan pasal kurir narkoba. “Masuk dia di dalam, dan bergaul dengan yang lain, karena lalai diawasi, hancurlah dia,” sebut Yasonna.
 
Dalam hal ini, kata dia, polisi harus bisa menggunakan paradigma berbeda. Pengguna harus ditempatkan sebagai pengguna yang sesuai dengan Pasal 54 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkoba, harus mendapat rehabilitasi.
 
Politikus PDI Perjuangan ini menegaskan, pengguna narkoba jelas berbeda dengan pengedar dan kejahatan lainnya. Pengguna narkoba dinilai unik. Sebab merusak dirinya sendiri. “Mereka ini merusak diri mereka sendiri. Treatmentnya harus beda. Paradigma kita harus diubah,” sambung Yasonna.
 
Dalam hal ini, kata Yasonna, komitmen pemerintah dan DPR diuji. Keduanya harus bisa mewujudkan anggaran besar buat rehabilitasi. Yasonna mencontohkan, Lapas Kelas IIA Salemba yang hanya bisa memberikan rehabilitasi kepada 60 narapidana. Padahal, 70% penghuni lapas tersangkut kasus narkoba.
 
Lingkaran Setan Penjara
 
Pengamat hukum pidana dan pemerhati Lembaga Pemasyarakatan Taufik Basari sepakat dengan usulan yang digagas Menteri Yasonna. Taufik menerangkan, penjara bukan menjadi tempat terbaik buat mereka yang dijerat dengan pasal pemberantasan narkotika. Sebaliknya, penjara malah menjadi lingkaran setan dalam pemberantasan narkotika.
 
“Penjara buat pencandu sejenis lingkaran setan. Itu tak mengubah keadaan. Hanya menahan pecandu sekian waktu, tapi tetap tak ada yang berubah,” kata Taufik kepada Liputan6.com, Sabtu (12/3/2016).
 
Menurut Taufik, wacana pengubahan paradigma seperti yang didengungkan Yasonna harus mendapat dukungan. Taufik bilang, perubahan pola pikir bukan hanya menjadi tanggung jawab penegak hukum. Tapi juga, masyarakat. Menurut Taufik,  masyarakat juga harus mulai mengubah pola pikir dengan melihat penjara bukan solusi utama bagi pecandu narkoba.
 
“Jangan menempatkan pecandu sebagai penjahat. Karena tak akan selesaikan masalah. Karena itu tempatkan mereka sebagai orang yang harus diperbaiki kehidupannya. Dengan dia lepas dari beban candu, akan ada efek lain,” sebut Taufik.
 
Program Pendidikan Napi
 
Untuk mengubah paradigma, kata Yasonna, pihaknya sedang berusaha mengampanyekan secara nasional. Kampanye perubahan paradigma terhadap narkoba penting dilakukan. Sekolah, rumah ibadah, dan keluarga harus melihat pengguna sebagai korban yang harus didukung untuk sembuh.
 
Konsep kesadaran ini, kata lelaki asal Nias ini, sudah dituangkan menjadi kebijakan dalam lapas. Yakni, pemberian pendidikan keterampilan untuk warga binaan yang terjerat kasus narkoba.
 
“Saya sudah tingkatkan subdirektorat menjadi Direktorat Latihan, Kerja dan Produksi di Direktorat Jenderal Pemasyarakatan. Saya sudah perintahkan direkturnya susun program buat napi,” kata Yasonna.
 
Program yang diusung direktorat ini, kata dia, akan menjadi unggulan. Narapidana diberi sejumlah pengetahuan dan keterampilan buat menjadi bekal sebelum mereka keluar dari lembaga pemasyarakatan.
 
Dia menyebut, anggaran buat program ini akan diambil dari APBN dan kerja sama dengan sejumlah BUMN. Program ini sudah berjalan di sejumlah lapas. Seperti napi berkebun dan beternak,
 
Dengan demikian, kata Yasonna, dirinya berharap terjadi perubahan paradigma dan sikap dari warga binaan saat keluar dari lapas. “Jadi mereka keluar dari sini harus punya skill. Revolusi mentalnya ya itu tadi,” terang Yasonna.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya