Liputan6.com, Jakarta - Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu mengaku tidak menyetujui rencana pembongkaran kuburan massal korban peristiwa 1965. Penolakan itu karena dikhawatirkan akan menimbulkan konflik baru.
Berbeda dengan Menhan, Menko Polhukam Luhut Binsar Pandjaitan justru berpendapat pembongkaran perlu dilakukan. Tujuannya untuk menghilangkan prasangka adanya tindak kejahatan, yang selama ini ditujukan kepada negara.
"Saya enggak mau yang muda-muda ini dituduh, kita ini bangsa bunuh 400 ribu orang. Karena angka 400 ribu itu besar," ujar Luhut di Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat 13 Mei 2016.
Luhut mengaku tidak percaya bila korban tragedi 1965 jumlahnya mencapai 400 ribu orang. Karena itu, proses investigasi terhadap kasus tersebut perlu dilakukan.
"Saya tidak percaya angka itu, karena berbagai sumber, tapi itu kan suatu proses. Bisa saja terjadi dan itu sebab akibat saja yang harus kita pelan-pelan," kata dia.
Baca Juga
Kendati, untuk membongkar makam korban, pemerintah perlu lebih dulu mendata jumlah kuburan massal yang menjadi tempat para korban tragedi 65 disemayamkan.
"Saya lihat dulu nanti. Itu kan mau lihat dulu, verified dulu datanya, baru tentukan apa yang akan dilakukan," kata dia.
Ryamizard Ryacudu sebelumnya mengaku tak menyetujui rencana pembongkaran kuburan massal korban peristiwa 1965.
"Justru itu. Bongkar-bongkar kuburan, kalau semuanya marah? Berkelahi semua," ujar Ryamizard di Balai Kartini, Jakarta Selatan, Jumat 13 Mei 2016.
Ryamizard mengingatkan semua pihak, agar tidak memprovokasi dan mengundang terciptanya pertumpahan darah. Pembongkaran kuburan massal korban peristiwa 1965 dianggapnya bukan membangun negara, justru merusak negara.