Liputan6.com, Patussibau - "Jangan lupa kami ya Nak," ujar seorang nenek bernama Juna warga Dusun Meliau, Desa Melemba, Kecamatan Batang Lupar, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Berkali-kali dia memeluk dan menggenggam jemari tangan Liputan6.com yang berkesempatan menginap di rumahnya.
Pelukan dan genggaman sebagai tanda perpisahan hangat kepada orang asing yang mencoba menikmati ekowisata di dusun itu.
Dulu, tak ada tak ada cerita seperti ini. Sebagian masyarakat di sana sangat berhati-hati dengan pendatang, terutama yang ingin menaikkan kesadaran tentang menjaga kelestarian hutan.
Maklum, kala itu, sebagian dari mereka menggantungkan hidup pada perusahaan yang mengambil kayu-kayu di wilayah tersebut. Wilayah yang masuk dalam kawasan Taman Nasional Betung Kerihun dan Danau Sentarum (TNBKDS).
Baca Juga
Namun kini, pola pikir mereka berubah. Mereka sadar akan pentingnya menjaga kelestarian hutan di kawasan TNBKDS.
Mereka memiliki sejumlah aturan adat untuk menjaga kelestarian alam di sekitar tempat tinggalnya. Pertama soal kelestarian hutan. Ketika akan memotong pohon, pihak yang bersangkutan harus lah warga setempat. Itupun harus dirembuk dan mendapat izin dari warga lainnya.
"Ada hukum adatnya. Kalau untuk menebang, harus kompromi dengan warga lain, gunanya untuk apa, butuhnya berapa, supaya tetap lestari. Dulu memang ada tebang liar. Tapi sekarang tidak. Kalau tidak taat bisa kena syarat dan denda. Sudah tiga tahun ini warga tidak mau menebang sembarangan," kata Kepala Desa Melemba, Yohanis Agustinus Karunding, kepada Liputan6.com, rombongan media beserta WWF di Meliau, Senin 30 Mei 2016.
Advertisement
Kedua, tentang kelestarian ikan, warga Melemba memiliki aturan main yang juga saklek. Salah satunya, warga melarang pemancingan ikan dengan menggunakan jangkrik, katak atau belalang.
"Kami punya aturan nelayan dan itu tertulis. Ada beberapa aturan, misalnya tidak boleh menggunakan jala, tidak boleh menggunakan umpan hidup dan tidak diperkenankan mencari ikan pada malam hari karena pada saat itu ikan sedang ada di permukaan. Jika melanggar, tidak akan diperbolehkan mencari ikan selama 3 tahun," ucap Sudik Asmoro, Ketua Pengelola Pariwisata Dusun Meliau.
Lalu, kok bisa mereka berubah drastis? Apa sebabnya?
Keanekaragaman jenis ikan lah yang memacu semangat mereka. Ya, berbagai jenis ikan endemik di sana ternyata mencuri perhatian pemancing dari seluruh pelosok dunia. Terlebih kawasan ini memiliki 10 danau kecil yang memiliki karakteristik berbeda.
Salah satu pemancing yang terpikat dengan TNBKDS adalah Majidi Oma. Bagi pengusaha asal Sibu, Serawak, Malaysia ini, Meliau memiliki magnet magis yang selalu membuatnya ingin kembali.
"Di sini itu seperti ada daya tarik. Kalau orang tahu sini, pasti tidak cuma sekali datang. Bisa 2-3 kali hingga puas. Kalau saya, sejak 2015 sudah tidak tahu berapa kali ke sini," ujar Majidi.
Menurut dia, Meliau memuaskan hobi memancingnya. Keahlian dalam memainkan tongkat pancing dan memilih umpan tiruan terasah tajam di sini. Untuk melempar umpan saja, lanjut dia, butuh keahlian dan perhitungan tepat. Salah-salah, kail Anda bisa memangkas habis dahan pepohonan di sana atau tersangkut di pinggir danau.
Terlebih, sampai sekarang ada ikan endemik yang menjadi targetnya belum pernah terbidik, yakni arwana super red dan piang (snake cobra head).
Dia menuturkan, beberapa ikan di kawasan ini sulit untuk ditaklukkan. Daya berontak ikan di sini lebih menantang, meski sejumlah jenis ikan bisa ditemukannya di Malaysia atau pulau lain di Indonesia.
Majidi selalu ingin kembali walaupun tentu saja, dia harus taat pada aturan adat istiadat setempat. Jika sudah berhasil memancing ikan, tangkapannya akan dilepas kembali.
Ketika alam tidak terjaga, ikan pun menjadi langka. Salah satu wilayah The Heart of Borneo itupun tidak akan dikunjungi wisatawan dan memberi hasil alam berlimpah untuk masyarakat.
Keluarga Baru Mamut dan Juna
Kehidupan Mamut menjadi lebih berwarna. Dulu, keterbatasan penghasilan membuatnya sulit bergerak. Maklum, dia hanya menggantungkan hidup pada hasil menangkap dan mengolah ikan.
Rumahnya pun kosong. Hanya ada foto-foto cucu dan anak angkatnya yang terbingkai, melekat di dinding kamar. Kamar dengan cahaya temaram mentari.
Kini, rumahnya menjadi ramai. Juna, istrinya pun mendapat teman berbicara. Teman bicara yang belum pernah dikenalnya.
Ya, keberadaan wisatawan warga Dusun Meliau memberi nilai lebih pada kehidupan Mamut dan Juna. Pertama, mereka mendapat penghasilan tambahan.
"Lumayan lah nak walau tak seberapa," kata Mamut.
Tak hanya mendapat uang tak terduga, kedua juga mendapat keluarga baru. Wisatawan yang menginap di rumahnya lah keluarga barunya itu.
"Bapak enggak ada anak. Tapi ada anak adik (yang diangkat). Ada tiga, satu tinggal di rumah bentang, dua ada di Malaysia. Saya juga punya cucu," ujar Mamut sembari menata ikan untuk dikeringkan.
Oleh karena itu, rumahnya sepi. Terutama di siang hari. Hanya ada dua ekor anjing yang berjaga di belakang rumahnya. Mamut dan Juna harus pergi ke salah satu danau di kawasan Taman Nasional Betung Kerihun dan Danau Sentarum (TNBKDS).
Adanya wisatawan, mereka memiliki teman mengobrol, baik di pagi, siang atau malam hari. Selain itu, dia pun menjadi lega karena lingkungannya menjadi asri kembali.
Advertisement
Melepas Penat di Meliau
Meliau telah menjadi salah satu obyek ekowisata eksklusif unggulan di Kalimantan Barat. Brand wisata eksklusif dipasang untuk mengontrol jumlah wisatawan yang datang, sehingga kelestarian alamnya terjaga.
Tak hanya memancing, jika berkunjung ke Meliau, Anda dapat lebih mengenal kebudayaan saudara sebangsa di pedalaman Kalimantan.
Walaupun, Anda akan kesulitan saat berkomunikasi dengan sejumlah penduduknya. Sebagian dari mereka hanya tahu bahasa Dayak.
Sama seperti yang dialami Liputan6.com. Tiba di rumah bentang Meliau, seorang nenek tengah menganyam. Ketika ditanya tengah membuat apa, dia menjawab dengan bahasa setempat.
Akhirnya, dengan bahasa tubuh dia menerangkan tentang benda yang dibuatnya. Ternyata, dia tengah membuat tempat untuk menampung ikan hasil tangkapan di danau. Butuh seharian penuh untuk menyelesaikannya.
Ketua Pengelola Pariwisata Dusun Meliau, Sudik Asmoro, mengakui hal tersebut. Bukan hanya berbahasa Indonesia, mereka juga kesulitan saat harus mengantar wisatawan yang hanya bisa Bahasa Inggris.
Dia menuturkan pernah dulu ada rombongan bule pemancing yang minta diantar.
"Perahu kalau kelebihan muatan, air akan merembes. Yang mengantar ini ingin minta tolong agar wisatawannya membantu menyerok air keluar perahu karena dia sendiri ada di ujung perahu. Tapi, dia tahunya hanya kata 'Sir' dan 'Smoking'. Ya sudah, dia bilang 'Sir, smoking' sambil memperagakan gerakan menyerok. Tapi bule yang diantar malah merokok," ujar Sudik.
Tapi, inilah daya tariknya. "Bisa melepas stres dari hidup perkotaan," ujar Boy, salah satu pemancing asal Malaysia yang datang ke Meliau.
Terlebih, lanjut pegawai bank tersebut, di sini, ponsel Anda tidak akan mendapat sinyal. Terputus dari hingar-bingar perkotaan dan teknologi, membuat lebih tenang.
Wisatawan seolah diajak masuk ke lorong waktu, ke zaman tidak ada teknologi canggih. Untuk memasak saja, beberapa rumah di rumah bentang masih menggunakan kayu bakar.
Mereka pun harus memutar otak untuk mengawetkan makanan selain ikan, seperti yang dilakukan Juna. Wanita 60-an tahun itu mengasapi telur-telur ayamnya agar lebih awet disimpan. Wajar, di Meliau memang lebih mudah menemukan ikan daripada ayam dan sayur.
Warga juga harus mengirit penggunaan listrik. Mereka iuran solar agar disel hidup dan mampu mengalirkan listrik ke rumah bentang. Itupun, hanya mampu menghasilkan listrik beberapa jam. Oleh karena itu, jangan kaget jika listrik di sana hanya hidup pukul 18.00-23.00 WIB.
Saran Liputan6.com, jika berwisata ke sini, sebaiknya matikan saja sinyal ponsel, bawa power bank sebanyak-banyaknya dan tetap mematuhi aturan adat setempat.
Nah, konsep green economy dalam ekowisata ini diperkenalkan oleh World Wide Fund for Nature (WWF). Sebelum masyarakat mengenal konsep ini, mereka menggantungkan hidup pada penebangan hutan.
"Ketika kita berbicara Meliau, dia ini wilayah paling ujung sebagai pertahanan menjaga Taman Nasional Betung Kerihun dan Danau Sentarum (TNBKDS) yang masuk dalam kawasan The Heart of Borneo. Oleh karena itu, kami memperkenalkan konsep green economy. Salah satunya dengan ekowisata ini. Kami ubah mindset mereka, ketika alam rusak, kamu hanya dapat hasilnya hari ini. Berbeda jika dijaga kelestariannya," ucap Ecotourism Development Officer WWF-Indonesia Program Kalimantan Barat Hermas Rintik Maring.
"Kita pun dorong ke pemanfaatan sumber daya alam agar tetap lestari. Masyarakat akan terus mendapatkan hasil dan berkelanjutan dengan sistem ini," kata Technical Supporting Unit Leader WWF Indonesia Program Kalimantan Barat Jimmy Syahir Syah.