Polri Bawa Masalah Perburuan Koruptor di Sidang Umum Interpol

Selama ini, Indonesia terbentur pada tidak adanya kerja sama antarnegara untuk menangkap buronan, termasuk koruptor.

oleh Hanz Jimenez Salim diperbarui 26 Okt 2016, 18:40 WIB
Diterbitkan 26 Okt 2016, 18:40 WIB
20161026-interpol-jakarta-polri
Ses National Central Bureau (NCB) Interpol Brigjen Polisi Naufal Yahya dan Kadiv Humas Polri Irjen Boy Rafli Amar. (Liputan6.com/Hanz Jimenez Salim)

Liputan6.com, Jakarta - Polri berjanji menyampaikan sejumlah isu terkait penanganan kejahatan di Tanah Air dalam Sidang Umum Interpol ke 85 yang akan dilangsungkan di Nusa Dua, Bali, pada 7-10 November 2016. Salah satunya, tentang pengejaran buronan korupsi di luar negeri.

Ses National Central Bureau (NCB) Interpol Brigjen Polisi Naufal Yahya mengatakan pengejaran buronan korupsi di luar negeri masuk dalam agenda penegakan hukum nasional. Dia menilai kerja sama antarnegara untuk memburu koruptor di luar negeri penting disampaikan.

"(Itu untuk) Kepentingan nasional Indonesia dan apa yang akan disampaikan nanti memang akan terus berkembang. Ini memang juga jadi prioritas. Tapi ada prioritas dan masalah bersama yaitu terorisme di mana tidak ada negara yang imun dengan aksi teroris. Ini kepentingan Indonesia juga," kata Naufal saat memberikan keterangan pers di kompleks Mabes Polri, Jakarta, Rabu (26/10/2016).

Dia menjelaskan pembahasan mengenai pengejaran buronan koruptor di luar negeri masih sebatas tingkat bilateral. Sebab, pemerintah Indonesia tidak bisa mengintervensi kedaulatan hukum di negara lain.

"Selama ini sistem (Interpol) kalau ada buron Indonesia yang lewat, cross border, mereka memfasilitasi memberikan warning. Tapi karena berlaku kedaulatan masing-masing (kita tidak bisa terlibat jauh)," ucap Naufal.

Meski demikian, dia menilai pemberian warning dari Interpol sudah cukup membantu pengejaran buronan teroris di luar negeri. Semisal, dalam pengejaran buronan kasus penggelapan pajak, Gayus Tambunan.

"Saat itu, jika tidak pulang ke Indonesia, maka Gayus bisa dianggap overstay dan bisa diproses imigrasi Singapura dan lalu dideportasi. Makanya lalu dia mau pulang.  Prinsipnya kita tidak bisa mencampuri kedaulatan hukum negara lain sebagaimana kita tidak mau dicampuri.  Tapi itu memang jadi kendala," terang Naufal.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya