Liputan6.com, Jakarta - Jessica Kumala Wongso terbukti bersalah dalam kasus pembunuhan berencana Wayan Mirna Salihin dengan racun sianida. Tidak terima putusan itu, designer grafis lulusan Billy Blue College, Sidney, Australia itu tempuh upaya hukum banding.
Lalu, apa respons suami Wayan Mirna Salihin, Arief Soemarko terkait upaya hukum yang ditempuh Jessica?
Baca Juga
"Keluarga akan kawal kasus ini. Sampai mati pun kami kawal," kata Arief saat berbincang dengan Liputan6.com, Senin (31/10/2016).
Advertisement
Menurut Arief, dukungan keluarga tidak akan berhenti sampai dengan vonis hukuman. "Tidak akan pernah berhenti," kata Arief.
Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjatuhkan vonis 20 tahun penjara kepada terdakwa kasus kematian Wayan Mirna Salihin, Jessica Kumala Wongso. Jessica diyakini sengaja membunuh temannya itu secara terencana menggunakan racun sianida.
Tim pengacaranya resmi mengajukan banding sehari setelah vonis diketuk di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
"Jumat kemarin kami daftarkan banding ke Pengadilan Tinggi Jakarta. Hari ini tim mendatangi Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk mengambil berkas putusan," kata koordinator pengacara Jessica, Otto Hasibuan, saat berbincang dengan Liputan6.com, Senin (31/10/2016).
Terdapat beberapa poin keberatan yang dinilai kubu Jessica tidak mencerminkan rasa keadilan, yaitu hakim mengesampingkan seluruh bukti ilmiah dan ahli yang diajukan pihak pengacara.
"Tidak satu pun bukti-bukti, saksi-saksi, dan ahli yang diajukan dipertimbangkan oleh hakim dan tanpa alasan," kata Otto.
Dalam hal barang bukti 4, yaitu cairan di lambung Wayan Mirna Salihin 70 menit setelah dinyatakan tewas usai menyeruput es kopi Vietnam, hakim tidak mempertimbangkannya. Barang bukti itu, ujar Otto, jelas-jelas menyebut tidak ada sianida di dalam lambung Mirna.
"Mestinya, kalau hakim mengabaikan harus ada alasannya," Otto mengungkapkan.
Selain itu, kata Otto, hakim menyimpulkan sendiri sebab kematian Mirna. Hakim mengacu hanya pada kopi bersianida yang diseruput Mirna tanpa pertimbangan ada-tidaknya autopsi.
"Hakim tidak berkompeten menyimpulkan matinya korban. Yang berkompeten adalah ahli patologi dan itu pun dengan autopsi. Tapi kan ini tidak (autopsi)," kata Otto.
Adapun autopsi digunakan untuk kepentingan pengadilan, sehingga hakim dapat mempertimbangkan putusan sebelum palu diketuk.
"Jadi (autopsi) bukan untuk kepentingan terdakwa, korban, jaksa, tapi untuk pengadilan," Otto menguraikan.