Liputan6.com, Jakarta - Ketua Tim penasihat hukum Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, Trimoelja D. Soerjadi, menegaskan kliennya tidak layak didakwa dengan Pasal 156a KUHP. Sebab, jika menjerat dengan pasal tersebut harus terlebih dahulu dengan peringatan keras berupa Surat keputusan Bersama (SKB) tiga menteri (Menteri Agama, Menteri/ Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri).
Apalagi, ketentuan pasal tersebut, dikuatkan dengan putusan Mahkamah Konsitusi (MK) dalam uji materinya pada 2012 lalu.
Ketua Mahkmah Konstitusi (MK) Arif Hidayat memastikan, setiap pertimbangan dalam amar putusan selalu mengingat. Atas dasar itulah, pertimbangan tersebut dapat dijadikan yurisprudensi sehingga menjadi hukum positif.
Advertisement
"Dalam sistem apapun, dimana pun dalam rangka judical review, amar putusan dan pertimbangan putusan, itu menjadi mengikat dalam hukum positif," ucap Arif di kantornya, Jakarta, Kamis (29/12/2016).
Karena itu, ia mengatakan, harus menjadi pedoman bagi para hakim dalam memutuskan suatu perkara. "Jadi amar putusan otomatis jadi langsung hukum positif. Dan itu harus jadi yurisprudensi," tegas Arif.
Hal tersebut, menurutnya, berlaku secara universal, di belahan negara apapun, yang memperbolehkan dilakukannnya judical review. Termasuk, salah satunya di Indonesia.
"Dan itu universal, setiap putusan MK yang di negara-negara sistem judical review, itu menjadi hukum positif yang mengikat," Arif memungkas.
Diketahui, dalam kasus dugaan penistaan agama, yang didakwakan kepada Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, Jaksa Penuntut Umum (JPU) mendakwakan Ahok dengan pasal 156 a KUHP. Padahal MK sudah memasukkan pertimbangan hukumnya terkait uji materi Pasal 156a KUHP.
Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 84/PUU-X-2012 terkait uji materil Pasal 156 a KUHP, halaman 145 poin 3.16 disebutkan, "Menimbang bahwa terhadap dalil para Pemohon bahwa Pasal 156a KUHP seharusnya tidak dapat diterapkan tanpa didahului dengan perintah dan peringatan keras untuk menghentikan perbuatan di dalam Suatu Keputusan Bersama 3 Menteri (Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri), Mahkamah berpendapat sebagai berikut: Bahwa Pasal 156a KUHP merupakan tindak pidana yang ditambahkan ke dalam KUHP berdasarkan perintah dari UU Pencegahan Penodaan Agama. Adapun rumusan Pasal 156a KUHP a quo mengatur tindak pidana dalam perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia. Oleh karena itu, untuk menerapkan ketentuan tersebut, maka sebelumnya diperlukan perintah dan peringatan keras sesuai dengan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Pencegahan Penodaan Agama.
Sedangkan dalam kasus Ahok, perintah dan peringatan keras yang diberikan oleh Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri, sebagaimana tertuang dalam Pasal 2 UU Pencegahan Penodaan Agama, tidak terlihat. Perkara Ahok langsung disidangkan dan dilanjutkan dengan pembuktian pada 3 Januari 2016.