KY: Lembaga Peradilan Belum Terbebas dari Pelanggaran Hukum

Dari Januari sampai September 2016, tercatat ada 28 aparat peradilan yang perkaranya terpublikasi media.

oleh Taufiqurrohman diperbarui 30 Des 2016, 07:19 WIB
Diterbitkan 30 Des 2016, 07:19 WIB
20160106-Ilustrasi-Gedung-Komisi-Yudisial-Hel
Ilustrasi Gedung Komisi Yudisial (Liputan6.com/Helmi Fitriansyah)

Liputan6.com, Jakarta - Komisioner Komisi Yudisial (KY) Farid Wajdi mengatakan, meski model sistem peradilan di Indonesia telah berubah pascareformasi, hal ini tidak serta merta membuat lembaga peradilan terbebas dari kasus pelanggaran hukum.

Bahkan, selama 2016, pelanggaran hukum yang dilakukan aparat peradilan mencapai angka 20 lebih.

"Dari bulan Januari sampai September 2016, tercatat ada 28 aparat peradilan yang perkaranya terpublikasi media. Terdiri dari 23 hakim dan lima pejabat pengadilan," kata Farid di Kantor PP Muhammadiyah, Jakarta, Kamis (29/12/2016).

Farid menyinggung soal peningkatan kesejahteraan pegawai di lingkungan lembaga peradilan. Pada 2004, ada kebijakan remunerasi yang diterapkan bagi hakim karena saat itu ada pandangan gaji hakim terlalu kecil.

Selain itu, kata dia, ada peningkatan status hakim pada 2009 sebagai pejabat negara. Terakhir, pada 2012, kesejahteraan hakim kembali ditingkatkan sehingga berada di atas rata-rata aparatur sipil negara lainnya namun kinerja aparat peradilan tetap menjadi sorotan.

Dia menuturkkan, fakta kinerja lembaga berdasarkan evaluasi yang dilakukan MA 2008, keberhasilan program dan capaian yang diperoleh MA baru mencapai 30 persen. Kemudian, dari penilaian Organizational Diagnostic Assessment tahun 2009, kinerja lembaga peradilan tetap mendapat sorotan dari berabagai kalangan.

"Sorotan itu meliputi informasi proses peradilan yang tertutup, biaya perkara yang tinggi, masih sulitnya akses masyarakat miskin dan terpinggirkan, serta proses penyelesaian perkara yang dirasakan masih sangat lama," sambung Farid.

Dia menjelaskan, kasus yang menimpa oknum lembaga peradilan itu meliputi suap, pengaturan majelis dan putusan pengadilan, hingga nepotisme. Kasus serupa, menurut dia, juga terjadi di era sebelum reformasi bergulir.

Ia menambahkan, pascareformasi Indonesia menerapkan sistem peradilan satu atap di bawah Mahkamah Agung (MA). Namun, sistem yang telah diterapkan selama 17 tahun terakhir itu kurang mampu menekan angka kejahatan di lingkungan lembaga peradilan.

"Kalau masih ingat, ada pegawai nonhakim di MA itu bisa atur putusan, bisa atur majelis, maka pada tahun 17 tahun lalu ada, tahun ini ada, tahun depan juga mungkin ada. Kecuali ada pengawasan maksimal," Farid menandaskan.

 

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya