Liputan6.com, Jakarta - Cucuran keringat menetes membasahi wajah Michael Sigarlaki yang sedang berdiri di atas panggung kayu berukuran 8x4 meter. Kedua lengannya diangkat dalam posisi siaga. Di depan Michael, berdiri Enthing yang juga mengangkat kedua lengannya. Dua lelaki itu berhadap-hadapan untuk saling menyerang.
Advertisement
Michael yang berbadan tambun terus menatap tajam Enthing yang berbadan kekar. Keduanya waspada memperhatikan gerak masing-masing. Tiba-tiba, lengan kanan Michael yang dibungkus kain putih, menerobos kesigapan Enting dan menghantam wajahnya. Enting terhuyung jatuh di atas ring.
Sorak-sorai suara langsung bergemuruh di samping ring. Rintik hujan dan dinginnya angin tak lantas mengurangi panasnya ring yang didirikan di tengah-tengah Lapangan Kauman, Srengat, Blitar, Jawa Timur, Sabtu malam, 17 Desember 2016.
Kedua petarung merupakan "musuh bebuyutan". Mereka sudah tiga kali bertanding dalam setahun terakhir. Laga kali ini merupakan yang terakhir buat Michael, yang akan pensiun di arena Pencak Dor. Ini adalah sebuah arena tarung bebas yang awalnya dihelat di antara santri dan jadi tontonan warga sejak dekade 1960-an.
“Sekarang sudah berubah seperti tinju. Kalau dulu murni mukul-nendang,” kata Latief, salah seorang bekas petarung Pencak Dor kepada Liputan6.com.
Latief merupakan satu di antara petarung Pencak Dor di era 1960-an. Ia merupakan santri Pondok Pesantren Lirboyo, yang kala itu diasuh almarhum Kiai Agus Maksum Jauhari atau Gus Maksum. Gus Maksum dikenal sebagai pendekar silat sekaligus yang pertama kali menjadikan Pencak Dor sebagai ajang hiburan pertarungan bebas antara santri atau warga.
Dalam satu dasawarsa terakhir, Pencak Dor menjadi tontonan yang digandrungi masyarakat Jawa Timur, khususnya Kediri dan Blitar. Acara ini diselenggarakan Pondok Pesantren Lirboyo dan Gerakan Aksi Silat Muslimin Indonesia (GASMI).
Ketua Umum GASMI Zainal Abidin menuturkan, Pencak Dor tak semata sebuah ajang pertarungan. Melainkan, sebuah ajang silaturahmi bersama. "Jiwanya Pencak Dor itu di atas lawan, di bawah kawan. Tidak ada menang kalah di sini,” kata lelaki yang akrab disapa Gus Bidin ini kepada Liputan6.com.
Gus Bidin yang juga merupakan keponakan almarhum Gus Maksum ini mengatakan, nilai dasar Pencak Dor tersebut dipahami semua petarung yang bertanding di atas ring. Tak jarang, gelak tawa muncul saat masing-masing petarung sedang bertanding.
Ini seperti yang terjadi saat Enting berhasil memukul balik Michael di atas ring. Michael yang sudah jatuh malah tertawa melihat Enting berjingkrak-jingkrak di atas ring dengan riang. Bahkan, Michael sempat-sempatnya menghadap penonton sembari mengacungkan dua jempolnya dan menjulurkan lidah tanda memelet.
Tak heran, riuh tepuk tangan kian membahana di Lapangan Kauman, meski gerimis kian menerpa penonton Pencak Dor. “Kalau sudah di ring Pencak Dor, niatnya sudah tidak (mencari kemenangan) lagi,” ucap Ali Salim Assegaf, salah satu santri dan petarung Pencak Dor di samping ring.
Jejak Tarung Para Santri
Meski menjadi tontonan sejak 1960-an, Gus Bidin menuturkan akar budaya tarung ala Pencak Dor sudah tumbuh di lingkungan pesantren yang berada di Karesidenan Kediri sejak zaman penjajahan. Awalnya, menurut Gus Bidin, Pencak Dor dijadikan momentum untuk menyelesaikan perselisihan antarsantri. Acara ini biasanya rutin diselenggarakan setiap tahun ajaran berakhir.
Lama-kelamaan, kata Gus Bidin, Pencak Dor tak hanya mendamaikan dua orang yang berselisih, tetapi dijadikan wahana tukar ilmu bela diri. Bahkan, sempat menjadi cara membela negeri. Ini seperti yang dilakukan santri saat menghadapi prajurit Jepang dan prajurit Belanda saat agresi militer II pada 1948.
“Karena Pesantren Lirboyo kan bagian dari (pesantren) yang dituakan untuk komando. Dulu kan untuk perang itu santrinya semua dari Kediri sampai Cirebon,” tutur Gus Bidin.
Lelaki yang juga merupakan pengurus Pondok Pesantren Lirboyo ini menjelaskan, akar budaya tersebut dipertahankan pesantren. Sebab, pertarungan dinilai efektif memberikan pembelajaran kepada santri.
Selain menghilangkan kebencian dan menumbuhkan persaudaraan, Gus Bidin mengatakan pertarungan ini mampu membentuk mental yang kuat untuk santri. Sebab, petarungan ini tidak menjadikan menang dan kalah sebagai patokan.
“Kami lebih ke silaturahmi, mengajarkan tahu diri, tahu tempat. Setelah mereka bertarung, ya makan bersama” kata Gus Bidin.
Seiring perjalanan waktu, Gus Bidin mengatakan, pertarungan ini jadi ajang hiburan. Nama Dor kemudian diselipkan dalam tarung pencak ini. Kata Dor berasal dari tabuhan tanjidor yang digunakan untuk berselawat dan mengiringi pertandingan.
Saat menjadi ajang hiburan ini, bukan hanya santri yang mau bertanding. Banyak orang tertarik untuk bertanding. Lantaran, Pencak Dor tidak menerapkan syarat apa pun dan melarang siapa pun untuk bertarung. Termasuk, kata dia, mempersilakan jika ada penonton yang ingin bertarung.
“Di sini ada tetangga yang punya masalah di kampungnya, kelahinya di atas ring, selesainya di Pencak Dor,” kata Gus Bidin.
Selama lima dasawarsa, petarung Pencak Dor tak pernah dibayar. Namun dalam tiga tahun belakangan, Pesantren Lirboyo dan GASMI selaku pihak penyelenggara Pencak Dor memberikan bayaran kepada petarungnya.
Ini lantaran penonton Pencak Dor kian membeludak. Walhasil, pihak penyelenggara menerapkan parkir berbayar buat penonton yang membawa kendaraan. Biaya parkir ini kemudian dijadikan sumber dana untuk membayar petarung. Terlebih, laga Pencak Dor belakangan mulai disokong sponsor.
“Minimal Rp 200 ribu (untuk petarung atlet). Terus (untuk masyarakat yang berpartisipasi) dipukul rata Rp 25 ribu. Dikasih di amplop. Makan juga (diberikan),” kata Gus Bidin sembari tersenyum.
Advertisement
Tak Sekadar Berkelahi
Pencak Dor, diakui Latief, sudah tak lagi merupakan kebudayaan kaum santri. Tarung bebas dengan bermacam ilmu ini kini sudah melibatkan masyarakat umum seperti diakui Gus Bidin. Namun, ada satu tradisi kaum santri yang selalu melekat dalam Pendak Dor.
Tradisi tersebut tak lain keberserahdirian kepada Yang Maha Kuasa. Soal berserah diri ini sempat membuat Ali Salim Assegaf (20) pusing bukan kepalang. Santri Pesantren Lirboyo asal Cibinong, Bogor, Jawa Barat, tak habis pikir saat Gus Bidin berkata bertarung bisa jadi sebuah ibadah.
Habib Ali, biasa dia disapa, tak mengerti dengan petuah sang guru ihwal bertarung adalah ibadah. Maklum, Ali memang doyan berkelahi. Lelaki yang sudah tujuh tahun nyantri di Pesantren Lirboyo ini memang tak perlu disuruh untuk memukuli orang. Dengan perawakannya yang jangkung, dia akan senang hati memukuli lawannya. Tapi saat gurunya bilang berkelahi bisa jadi ibadah, Ali bingung.
“Saya mikir satu minggu,” kata Ali.
Sepekan berlalu setelah Gus Bidin mengajaknya ikut pertandingan, Ali mulai sadar. Sang guru menjelaskan maksudnya. Sebuah pertarungan jika diniatkan ibadah, akan menjadi ibadah. Terlebih, kata dia, tarung Pencak Dor merupakan metode dakwah mengajak masyarakat menyekolahkan anaknya ke Pesantren Lirboyo.
“Kalau saya tarungnya enak dan orang suka, kalau mereka punya anak bisa saja, ’Oh ya sudah nanti anak saya, saya masukin Lirboyo biar bisa pencak’, itu bentuk dakwah,” ujar Ali.
Hal senada dikatakan Latief, yang tak lain guru bertarung Ali. Latief menuturkan, Pencak Dor dimaknai santri Lirboyo bukan sekedar ajang bertarung. Akan tetapi, cara mendekatkan diri pada Allah SWT.
Menurut Latief, hal pertama yang dia ajarkan kepada murid-muridnya adalah menanamkan sikap berserah diri atau tawakal kepada Allah SWT. Sebab, segala kekuatan yang dimiliki petarung di atas ring, merupakan kekuatan yang diberikan Allah SWT.
“Perlu ada sandaran kepada Allah SWT. Pencak secara lahiriah, tapi secara batiniah menggiring anak-anak tawakal kepada Allah SWT,” kata Latief menjelaskan.
Pencak Dor yang lahir dari rahim Pesantren Lirboyo, tak bisa dimungkiri mendasarkan keberadaanya kepada konsep keimanan dalam agama Islam. Meski yang bertanding bukan hanya santri, toh Pencak Dor malah makin digemari.
Gus Bidin tersenyum dengan cerita Ali dan Latief. Ia menyadari arti penting Pencak Dor bagi kalangan santri. Namun di luar arti untuk kaum santri, Gus Bidin punya satu arti lain dalam memaknai Pencak Dor untuk negeri ini.
“Sebagai pemersatu bangsa,” ucap Gus Bidin, menyitir tradisi makan bersama usai pertarungan Pencak Dor.