2 Dampak Jika Tak Ada Autopsi pada Kematian Tak Wajar

Dalam kacamata forensik, sampel tidak bisa menjadi satu-satunya tindakan yang dapat mengungkap penyebab kematian.

oleh Nafiysul Qodar diperbarui 20 Jan 2017, 06:32 WIB
Diterbitkan 20 Jan 2017, 06:32 WIB
Soal Kematian Wayan Mirna Salihin, Ini Kata Ahli Hukum Pidana
Seseorang yang meninggal karena keracunan seperti Wayan Mirna Salihin harus ada delapan item yang diperiksa. (Foto: Instagram/Mirna_Salihin)

Liputan6.com, Jakarta - Pentingnya autopsi pada kasus kematian tak wajar menjadi perdebatan di kalangan praktisi hukum, terutama pascabergulirnya persidangan kasus 'kopi sianida' dengan terdakwa Jessica Kumala Wongso. Perdebatan tersebut terkait keharusan melakukan autopsi secara menyeluruh untuk menentukan penyebab kematian.

Ketua Umum Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia Ade Firmansyah Sugiharto menyampaikan, pentingnya autopsi pada kasus kematian tak wajar. Setidaknya ada dua dampak yang terjadi jika tidak dilakukan autopsi terhadap jenazah yang mati tak wajar. Pertama, penyebab kematian akan menjadi misteri.

"Pada kematian yang mencurigakan atau tidak wajar, tanpa autopsi tidak dapat ditentukan penyebab kematian secara pasti," ujar Ade dalam diskusi bertajuk 'Autopsi sebagai Penentu Kematian Seseorang yang Tidak Wajar' di Kampus Pascasarjana Universitas Pelita Harapan, Semanggi, Jakarta Selatan, Kamis 19 Januari 2017.

Kedua, keragu-raguan dalam proses hukum. Tidak ditemukannya penyebab kematian yang tidak akurat pun menimbulkan keragu-raguan pada proses hukum. Sebab, keputusan hukum dalam persidangan tidak bisa didasarkan pada asumsi dan keyakinan-keyakinan, melainkan fakta yang bersifat pasti.

"Tanpa autopsi, masih ada keragu-raguan yang beralasan. Autopsi adalah hak bagi jenazah untuk diperiksa dan diketahui penyebab kematiannya sehingga kemudian menjadi jelas," terang dia.

Dalam kasus tindak pidana, Pasal 133 ayat 2 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) membagi autopsi menjadi tiga kategori, yaitu pemeriksaan luka (terhadap korban hidup), pemeriksaan mayat dan pemeriksaan bedah mayat (terhadap korban meninggal).

"Penyidik harus menyebutkan dengan tegas dalam surat permintaannya kepada dokter forensik, untuk pemeriksaan yang mana," tegas Ade.

Ia juga menyoroti pemeriksaan terhadap jenazah yang mati tidak wajar dengan hanya mengambil sampel. Dalam kacamata forensik, kata dia, sampel tidak bisa menjadi satu-satunya tindakan yang dapat mengungkap penyebab kematian. Sebab, pemeriksaan itu tidak dilakukan secara menyeluruh.

"Sampel itu memang dibutuhkan, tapi sifatnya penunjang dari proses autopsi itu sendiri dan tidak ada di KUHAP," tandas Ade.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya