Harap-Harap Cemas Sidang E-KTP

Tak hanya dua tersangka kasus korupsi pengadaan E-KTP yang harap-harap cemas menanti persidangan perdana besok.

oleh RinaldoDevira PrastiwiTaufiqurrohmanPutu Merta Surya PutraEka HakimFachrur RozieLizsa Egeham diperbarui 08 Mar 2017, 00:09 WIB
Diterbitkan 08 Mar 2017, 00:09 WIB
banner kasus e-KTP
Kasus Pelik e-KTP (Liputan6.com/Abdillah)

Liputan6.com, Jakarta Dua tersangka kasus dugaan suap proyek pengadaan E-KTP pada 2011-2012 di Kemendagri akan mulai disidang pada Kamis 9 Maret besok. Keduanya, adalah mantan Dirjen Dukcapil Kemendagri, Irman dan mantan Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan Ditjen Dukcapil Kemendagri, Sugiharto.

Namun, tak hanya mereka berdua yang harap-harap cemas menanti persidangan besok. Seperti disebutkan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Raharjo, akan ada kejutan dalam dakwaan yang dibacakan jaksa penuntut umum. Akan banyak nama pejabat dan politisi yang disebutkan pada dakwaan itu.

Tak heran kalau sejumlah pihak kemudian langsung menanggapi sinyal dari Ketua KPK tersebut. Ada yang menanggapi secara pribadi dan ada pula yang bicara atas nama partai politik. Intinya, mereka merasa tak terlibat dengan praktik culas yang tengah dibongkar KPK itu.

Ketua DPR Setya Novanto, misalnya, langsung membantah keras keterlibatannya dalam dugaan korupsi pengadaan E-KTP. Dia pun heran dengan pernyataan mantan Bendahara Umum Demokrat Muhammad Nazaruddin. Terlebih, dia tidak pernah membahas soal E-KTP bersama terpidana kasus korupsi Wisma Atlet itu.

"Kalau itu kan kita tahu Nazar bicara beberapa tahun lalu, saya lihat dan dengar pernyataannya di beberapa media saat itu. Seingat saya dan saya bersumpah tidak pernah bersama-sama membicarakan masalah E-KTP, silakan tanya ke Nazar lagi. Saya juga enggak ngerti kok saya dikait-kaitkan dan disebut-sebut Nazar saat itu," kata Novanto di Jakarta, Selasa (7/3/2017).

Ketua DPR Setya Novanto, usai menjalani pemeriksaan, di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (13/12). Novanto dimintai keterangan sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi pengadaan Kartu Tanda Penduduk berbasis elektronik (e-KTP). (Liputan6.com/Helmi Affandi)

Dia menduga kondisi psikologis Nazaruddin yang tengah bermasalah dengan Demokrat lah yang membuatnya meracau.

"Mungkin kondisi psikologis Nazar sedang ada masalah dengan partainya dan Mas Anas, jadi semua orang dikait-kaitkan dan disebut-sebut. Saya pastikan pernyataan Nazar tidak benar," tegas Novanto.

Namun, dia mengakui Komisi II DPR pernah membahas proyek E-KTP dengan pemerintah. Saat itu, dia masih menjadi bagian dari komisi tersebut.

"Kalau saya merasa pertemuan ada, pertemuan-pertemuan itu nantikan sudah masuk teknis dalam penyelidikan di pengadilan. Tapi yang jelas pertemuan (kata Nazaruddin) itu menurut saya hanya tuduhan saja," ujar Novanto.

Dia juga membantah pernah meminta jatah persenan dari proyek E-KTP sebagai Ketua Fraksi Golkar di DPR saat itu, selain menjadi anggota Komisi II.

"Saya kan waktu itu sebagai ketua fraksi, saya membatasi hal-hal yang berkaitan dengan masalah uang atau pendanaan dan tentu hal tersebut tidak mungkin saya lakukan melibatkan saya, dan tak ada hal-hal lain apalagi saya minta uang atau uang yang beredar ke saya juga tidak pernah ada," beber Novanto.

Bantahan juga datang dari Ketua Komisi VI DPR Teguh Juwarno. Dia sendiri pernah menjadi saksi KPK dalam kasus E-KTP. "Saya sama sekali tidak tahu-menahu soal adanya pembagian duit E-KTP. Saya yakin nama saya dicatut pihak-pihak tertentu," ucap Teguh di Jakarta, Selasa (7/3/2017).

Anggota DPR, Teguh Juwarno memberi keterangan kepada awak media usai menjalani pemekrisaan di gedung KPK, Jakarta, Rabu (14/12). Teguh Juwarno diperiksa terkait kasus dugaan korupsi proyek pengadaan e-KTP tahun 2011-2012. (Liputan.com6/Helmi Affandi)

Menurut dia, ketika dulu saat anggaran E-KTP disetujui, dia sudah tidak berada di Komisi II DPR.

"Saat anggaran E-KTP disetujui Komisi II pada Oktober dan November 2010 (sesuai dokumen di KPK), saya sudah tidak di Komisi II, saya pindah ke Komisi I pada 21 September 2010," tutur anggota Fraksi PAN ini.

Selain itu, dia mengaku tak hadir pada rapat pembahasan proyek pengadaan E-KTP.

"Dua kali rapat pembahasan E-KTP yakni 2 dan 10 Mei 2010 saya juga tidak hadir karena sedang memimpin Panja Pertanahan," imbuh Teguh.

Dia menyebut sudah menyerahkan semua notulensi rapat ketika menjadi saksi oleh KPK. Dia pun mengaku telah memberi keterangan ke KPK dengan sebenar-benarnya terkait kasus ini.

Teguh menegaskan mendukung pengusutan kasus tersebut oleh KPK. Dia pun siap bila diminta menjadi saksi di pengadilan.

"Siap, saya pasti akan mendukung penegakan hukum, sebagaimana saya memenuhi panggilan KPK sebagai saksi," papar Teguh.

 

 

Partai Politik Bersuara

 


Tak hanya para politisi, partai politik pun membantah keterlibatan anggotanya dalam kasus ini. Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Romahurmuziy, misalnya, memastikan tidak ada kader PPP di DPR-terlibat dugaan suap proyek pengadaan E-KTP atau Kartu Tanda Penduduk berbasis elektronik.

Menurut Romi, sapaan akrab Romamurhuziy, dirinya telah berkomunikasi dengan para kadernya yang disebut terduga terlibat dalam proyek E-KTP. Dia menjelaskan, ketika dipanggil KPK untuk menjadi saksi dalam kasus dugaan korupsi E-KTP, para kadernya datang karena namanya ada pada daftar absen komisi II.

"Yang bersangkutan katakan sama sekali tidak tahu-menahu karena nama-nama yang beredar itu lebih merupakan daftar absen Komisi II, bukan soal siapa terlibat atau tidak terlibat dalam proyek E-KTP," terang Romi di Gowa, Sulsel, Minggu 5 Maret 2017.

Selain itu, salah satu nama yang diduga terlibat kasus E-KTP ini juga tidak lagi berstatus sebagai kader partai berlambang Kakbah itu. Sebab, ketika kader tersebut masih sebagai anggota DPR, dia sudah tersandung kasus ijazah palsu sehingga diberhentikan partai.

Romahurmuziy menjawab pertanyaan wartawan saat mengunjungi kantor KPU. Romi menjelaskan perihal kedatangannya untuk membahas legalistas kepengurusan partai, Jakarta, Selasa (27/1/2015). (Liputan6.com/Faisal R Syam)

Sementara, terkait dugaan keterlibatan kadernya, Presiden PKS Sohibul Iman membenarkan bahwa mantan kadernya disebut. Namun, dia hanya mengetahui jumlahnya dua orang, bukan empat.

"Bahwa di situ ada dua orang nama PKS, kalau saya enggak salah, Pak Gamali, satu lagi Agus Purnomo," kata Sohibul di kantornya, Jakarta, Minggu 5 Maret 2017.

Dia menuturkan, pernah mengklarifikasi terhadap kedua orang tersebut. Saat itu, keduanya membantah terlibat dalam kasus korupsi E-KTP. "Sudah. Mereka katakan sih tidak, itu tidak benar," jelas Sohibul.

Dia pun menyerahkan dan mendukung KPK untuk mengusut kasus ini. "Karena kerugian negaranya sangat luar biasa. Dari anggaran yang Rp 6 koma sekian triliun, itu (yang dikorupsi) mencapai Rp 2 triliun. Artinya, itu lebih dari 30 persen. Saya kira, ini harus diproses," Sohibul memungkas.

Penegasan juga disampaikan Ketua Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keaman DPP Partai Golkar Yorrys Raweyay. Dia menyatakan, Golkar tidak akan melindungi kadernya yang terlibat kasus korupsi, termasuk korupsi E-KTP.

"Golkar konsisten mendukung pemberantasan korupsi. Golkar tak akan melindungi siapa pun kadernya yang terlibat korupsi," kata Yorrys kepada Liputan6.com di Jakarta, Senin 6 Maret 2017.

Presiden PKS Muhamad Sohibul Iman (Liputan6.com/Yoppy Renato)

Saat disinggung apakah termasuk Setya Novanto jika terlibat, mengingat Novanto adalah orang nomor satu di Golkar, Yorrys menegaskan siapa pun kader partai beringin tak akan dibela jika terlibat kasus korupsi.

"Tanpa terkecuali, siapa pun kader Golkar," tegas dia.

Dia menuturkan, saat Jusuf Kalla atau JK menjadi Ketua Umum Golkar, telah menyatakan secara terang-terangan perang terhadap korupsi.

"Waktu zaman Pak JK Beliau mengatakan, jangan jadikan Golkar tempat persembunyian para koruptor. Jadi ini prinsip yang dipegang Golkar pascareformasi, dan kami mendukung KPK bersama-sama KPK," tutur Yorrys.

Dia menambahkan, dirinya bangga terhadap pimpinan KPK saat ini yang terang-terangan menyatakan akan ada nama-nama besar tokoh negeri ini, yang akan disebut dalam persidangan kasus mega proyek E-KTP, yang merugikan negara triliunan rupiah.

"KPK harus punya prinsip, kita dukung KPK bersama-sama lawan korupsi. Saya bangga kepada KPK yang menyatakan akan kena nama-nama besar tokoh-tokoh politik, bahwa ini sebenarnya imbauan agar bersama-sama melawan korupsi," tandas Yorrys.

Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan (tengah) didampingi Ketua DPP PAN Yandri Susanto (kiri) menggelar jumpa pers di Kantor DPP PAN, Jakarta,  (20/5). Konpers terkait persiapan rakernas PAN dan isu terkini. (Liputan6.com/JohanTallo)

Hal senada disampaikan Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan yang mendukung KPK menuntaskan kasus E-KTP. Ia juga meminta KPK tidak tebang pilih terkait kasus tersebut.

"Kita dukung KPK berantas sampai tuntas, itu kasus besar, kita mendukung penuh agar ini dituntaskan. Kita serahkan saja sama KPK. Jadi KPK jangan pilih-pilih dong, tuntaskan," ujar dia di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin lalu.

Ia mengaku telah memanggil para anggota dewan dari Fraksi PAN terkait kasus tersebut. Namun, ia enggan menyebut siapa saja yang dipanggilnya.

"Pokoknya kita serahkan kepada KPK. Nanti kalau saya ngomong ini dibilang saya membela, kita dukung penuh 1.000 persen usut tuntas," tutur Zulkifli.

"Ini uji nyali bagi KPK. Ini uji nyali bagi KPK dong. Katanya banyak nama besar. Katanya ada ada gubernur, menteri macam-macam ya, coba aja kita lihat (dakwaan E-KTP)," tambah dia.

Pria yang juga Ketua MPR ini pun meminta KPK agar menuntaskan kasus E-KTP ini sampai ke akar-akarnya. "Makanya kita dukung KPK memberantas sampai ke akar-akarnya," tegas Zulkifli.

 

 

Menguji Keberanian KPK

 

 

Kasus ini memang tergolong besar, baik dari sisi angka yang dikorupsi serta jumlah mereka yang diduga berbuat. KPK mengisyaratkan adanya 14 nama besar yang akan muncul dalam sidang kasus dugaan suap pengadaan E-KTP. Hanya saja, KPK tak merinci nama-nama tersebut.

"Kami akan pelajari fakta-fakta yang muncul di persidangan. Dan juga memproses pihak-pihak lain sepanjang ada bukti yang cukup," ujar Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Gedung KPK, Jakarta Selatan, Senin 6 Maret 2017.

Ketua KPK Agus Rahardjo juga sempat mengatakan, dalam dakwaan kasus E-KTP pada 9 Maret 2017 mendatang, akan ada nama-nama besar yang akan muncul. Nama-nama tersebut sempat menjalani pemeriksaan di Gedung KPK.

"Ada 23 orang anggota DPR yang kita panggil juga, tapi tidak semuanya hadir, yang hadir sekitar 15 orang dalam pemeriksaan di penyidikan," kata Febri.

Dia meminta agar masyarakat ikut mengawal persidangan kasus yang menjerat Sugiharto dan Irman ini. "Ada indikasi pengkondisian pengadaan, atau pengkondisian pemenang tertentu yang nanti akan kami ungkap juga didakwaan. Termasuk indikasi adanya aliran dana pada pihak-pihak tertentu. Kita berharap publik ikut mengawasi proses sidang ini," sambung Febri.

Dia juga mengatakan, ada bebarapa nama besar lain yang diduga menerima dana lebih besar namun tak kooperatif.

Tersangka dugaan korupsi proyek e-KTP, Sugiharto, keluar dari Gedung KPK, Jakarta, Rabu (19/10). Mengenakan rompi oranye, pejabat pembuat komitmen dalam proyek pengadaan e-KTP ini didorong penyidik masuk ke mobil tahanan. (Liputan6.com/Helmi Afandi)

"Perlu juga kami sampaikan bahwa ada pihak-pihak lain yang juga diduga menerima uang dalam jumlah yang lebih besar, dan tidak bersikap kooperatif," ujar Febri.

Dia mengaku sudah mengantongi bukti keterlibatan pihak lain, hanya saja dirinya masih belum bisa menyampaikan lebih rinci. "Kami memiliki bukti-bukti itu, dan kami akan sampaikan nanti mulai dari proses dakwaan," kata dia.

Dalam dakwaan perkara E-KTP yang akan digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Kamis 9 Maret 2017 mendatang, Febri mengatakan akan menjelaskan peran nama-nama besar tersebut dalam perkara ini.

"Kita tentu tidak hanya bicara soal nama-nama yang ada di dakwaan, tapi lebih kompleks dari itu, ada nama-nama peran dan posisi dalam rentang waktu proyek E-KTP yang kita sidik," kata Febri.

Menurut hasil penyidikan, lanjut dia, ada perencanaan dalam pengadaan E-KTP yang diduga merugikan negara hingga Rp 2,3 triliun. Pada proses perencanaan tersebut, Febri mengatakan terjadi pertemuan informal di antara pihak yang diduga terlibat.

"Ada pertemuan di luar kantor antara sejumlah pihak untuk membicarakan E-KTP," ujar Febri.

Selain itu, penyidik juga mendalami proses pembahasan anggaran yang melibatkan eksekutif, legislatif dan pihak lain yang diduga terlibat kasus korupsi E-KTP ini.

"Proses pembayaran anaggaran ini tentu melibatkan pihak-pihak legislatif dan eksekutif dan pihak lain yang terkait," Febri melanjutkan.

Kabiro Humas KPK, Febri Diansyah usai memberi keterangan pers di gedung KPK, Jakarta, Selasa (6/12). Setelah Taufiqurahman ditetapkan sebagai tersangka, KPK melakukan penggeledahan beberapa tempat di Nganjuk dan Jombang.  (Liputan6.com/Helmi Affandi)

Kemudian, penyidik mendalami proses pengadaan yang terjadi setelah pembahasan tersebut terjadi. Pengadaan E-KTP diduga dilakukan pihak tertentu untuk memperkaya diri sendiri maupun korporasi.

"Karena kita gunakan Pasal 2 dan 3 (UU Tipikor), maka kita harus buktikan apa yang langgar prosedur dan ketentuan dan indikasi aliran dana pada siapa saja. Ada salah satu unsur yang kami harus buktikan dalam persidangan, yaitu memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi," kata Febri.

Terlebih, dalam penyidikannya, Sugiharto dan Irman sudah membuka informasi yang dibutuhkan untuk mengungkap kasus yang sempat mangkrak ini.

"Para terdakwa, Sugiharto dan Irman sudah banyak memberikan keterangan yang signifikan dalam perkara ini. Bahkan kembalikan sejumlah uang," kata Febri.

Febri mengungkapkan, berkas perkara atas terdakwa Sugiharto sebanyak 13 ribu lembar berkas. Sedangkan untuk terdakwa Irman, KPK mencapai 11 ribu lembar.

"Untuk terdakwa Sugiharto, berkas yang kita sampaikan sekitar 13.000 lembar, dan jumlah saksi 294 orang dan 5 ahli dan dokumen lain terkait proses penyidikan. Terdakwa Irman berkas sekitar 11,000 lembar jumlah saksi 73 orang dan 5 ahli," papar dia.

Dalam kasus E-KTP ini, berkas Sugiharto dan Irman akan disatukan penyidik dengan alasan efisensi biaya.

"Benar bahwa penyidikan 2 orang tersangka di waktu yang berbeda, untuk dakwaan kita gabungkan. Karena Jaksa Penuntut Umum berkeyakinan untuk memenuhi prinsip pengadilan cepat dan berbiaya murah," sambung Febri.

Jadi, menarik untuk ditunggu jalannya persidangan kasus yang maha besar ini. Publik tentu menunggu, siapa saja politisi dan pejabat di negeri ini yang berperilaku tak terpuji dengan menipu rakyat yang telah menggaji mereka.

 

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya