Dapat Ancaman Pembunuhan, Saksi Sidang E-KTP Lari ke Singapura

Direktur Utama PT Sandipala Arthaputra, Paulus Tannos, bersaksi di sidang e-KTP melalui teleconference dari Singapura.

oleh Lizsa Egeham diperbarui 18 Mei 2017, 18:11 WIB
Diterbitkan 18 Mei 2017, 18:11 WIB
Sidang Lanjutan Korupsi e-KTP, Jaksa Hadirkan 8 Orang Saksi
Suasana sidang lanjutan kasus korupsi pengadaan e-KTP yang digelar di pengadilan Tipikor, Jakarta (10/4). Juru bicara KPK menyatakan akan menggali keterangan dari para saksi terkait proses pengadaan e-KTP. (Liputan6.com/Helmi Afandi)

Liputan6.com, Jakarta - Direktur Utama PT Sandipala Arthaputra Paulus Tannos bersaksi di sidang e-KTP melalui teleconference dari Singapura. Paulus kini menetap di Singapura karena dirinya dan keluarga mendapat ancaman.

"Rumah saya diserang kurang lebih pada bulan Februari 2012. Karena ada masalah pada chip yang saya pesan dari STM dari perusahaan Oxel. Tapi tidak dapat dipakai di proyek e-KTP," kata Paulus saat bersaksi di PN Tipikor Jakarta Pusat, Kamis (18/5/2017).

Saat ditanya hakim Anwar siapa pihak yang menyerang rumahnya, Paulus mengaku tidak mengetahui. Dia hanya mengatakan bahwa pernah diancam akan dibunuh sehingga hal itu membuat dia lari dari Indonesia dan pindah ke Singapura.

"Saya tidak tahu siapa yang serang rumah saya, tiba-tiba rumah saya diserang. Saya akan dibunuh sehingga saya lari dari Indonesia," ungkapnya.

"Sebenarnya saya yang Mulia, saya mohon maaf harus melakukan saksi melalui teleconference dan merepotkan banyak orang. Saya ingin hadir di Indonesia. Tapi demi keselamatan jiwa saya, terpaksa saya lakukan (telenconference) ini," tambah Paulus.

PT Sandipala Athaputra adalah anggota dari konsorsium PNRI, yang merupakan pemenang lelang dari mega proyek e-KTP ini. Anggota konsorsium lain adalah PT Quadra Solution, PT Sucofindo, PT LEN Industri, dan PNRI yang merupakan ketua konsorsium.

PT Sandipala awalnya mendapat jatah 60 persen atau 103 juta kartu. Namun secara sepihak dan tiba-tiba, PT Sandipala hanya mendapat jatah proyek 45 juta kartu. Paulus juga mengatakan bahwa konsorsium tidak membayar perusahaannya senilai Rp 150 miliar.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya