Intimidasi di Medsos, Persekusi Dukun Santet Era Digital

Aksi persekusi pernah marak pada 1998 silam dengan ramainya kasus tuduhan dukun santet terhadap sejumlah kiai.

oleh Nanda Perdana Putra diperbarui 01 Jun 2017, 19:15 WIB
Diterbitkan 01 Jun 2017, 19:15 WIB
Persekusi
Ilustrasi

Liputan6.com, Jakarta - Aksi persekusi pernah marak pada 1998 silam dengan ramainya kasus tuduhan dukun santet terhadap sejumlah kiai. Persekusi kembali marak pada awal 2017 pada era digital.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), persekusi adalah pemburuan sewenang-wenang terhadap seorang atau sejumlah warga yang kemudian disakiti, dipersusah, atau ditumpas.

Persekusi saat ini dimulai dari media sosial yang menjadi alat sekelompok orang untuk memobilisasi massa dalam upaya mengintimidasi seseorang atau kelompok sebagai target, yang dianggap telah melakukan penistaan agama dan ulama. Target diburu mulai dari rumah hingga tempat kerjanya, demi melancarkan ancaman bahkan perlakuan kasar.

Pelaku persekusi akan memaksa target untuk membuat surat permohonan maaf dengan dibubuhi materai Rp 6 ribu. Tidak ketinggalan, yang bersangkutan akan diminta membacakan surat itu sambil didokumentasikan melalui video dan foto.

Selesai itu, pelaku persekusi akan mengunggah video dan foto target yang meminta maaf, kemudian kembali diviralkan ke media sosial. Hasilnya, tak jarang target mendapat hinaan dan caci maki dari pengguna sosial media yang melihat dokumentasi tersebut.

Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati menyampaikan, hal itu merupakan upaya kelompok pelaku persekusi untuk menanamkan dan mengarahkan persepsi publik. Benar atau salah urusan belakangan.

"Saya sebenarnya jadi ingat bahwa tahun 98-an, ada kita masih ingat soal dukun santet di Banyuwangi, ketika itu ada persekusi juga kepada para kiai NU, khususnya yang dianggap, difitnah dukun santet," tutur Asfinawati di Kantor YLBHI, Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, Kamis (1/6/2017).

"Ini tidak penting apakah dia dukun santet atau betulan. Sama seperti ini apakah orangnya itu menghina ulama betulan atau agama, yang penting ada persepsi publik yang ditanamkan bahwa telah terjadi itu," lanjut dia.

Pada akhirnya, pada 1998 itu terjadi pembunuhan terhadap orang-orang yang dianggap dukun santet oleh pelaku persekusi. Padahal, para ulama NU yang dihabisi nyawanya itu tidak sepenuhnya terbukti dukun santet.

"Dan ternyata bukan (dukun santet). Dan saya ingat, ini seperti dukun santet tapi dalam era digital saja," jelas Asfinawati.

Tentunya, persekusi sangat meresahkan. Sejumlah organisasi juga menyatakan sikap mengecam atas tindakan tersebut. Pemerintah dituntut mengusut tuntas dan mengungkap siapa dalang dari pelaku persekusi di era media sosial ini.

"Karena itu saya bilang tadi, seruannya negara harus segera melakukan investigasi serius dan negara itu tidak hanya kepolisian, tapi juga Komnas untuk melihat ada apa sebetulnya di balik ini semua," Asfinawati menandaskan.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya