Kontes Pamer Otot Para Kuli Genting Jatiwangi

Mereka melumuri badan dengan minyak kelapa, bersiap mengikuti kontes binaraga antar jebor di Jatiwangi, Majalengka, Jawa Barat.

oleh Gde Dharma Gita Diyaksa diperbarui 17 Agu 2017, 08:07 WIB
Diterbitkan 17 Agu 2017, 08:07 WIB
Jebor Jatiwangi
Peserta Jatiwangi Cup sedang berlaga di atas panggung (Liputan6.com/Mochamad Khadafi)

Liputan6.com, Majalengka - Kontes baru dimulai selepas salat Jumat. Namun jauh sebelum itu, ratusan orang telah hadir di lokasi. Mereka seperti tak menghiraukan terik matahari di atas kepala.

Satu jam sebelum kontes dimulai, sejumlah pria berbadan kekar mulai berdatangan. Satu per satu antre di depan meja panitia, mendaftar ulang dan mengambil nomor undian.

Kelar urusan administrasi, mereka memasuki ruangan khusus yang yang disediakan. Tempat itu biasanya digunakan untuk meletakkan genting yang baru selesai dicetak. Namun panitia menyulap menjadi ruang rias.

Di ruang minim cahaya itu, Jumat 11 Agustus 2017, 70 laki-laki berbadan kekar berdiri di depan sebuah cermin. Namun bukan bedak, lipstik, atau eyeliner yang mereka gunakan melainkan minyak kelapa.

Mereka melumuri badan dengan minyak itu, bersiap mengikuti kontes binaraga antar jebor di Jatiwangi, Majalengka, Jawa Barat. Nama acara itu Jatiwangi Cup.

Jebor adalah sebutan untuk perusahaan genting tradisional di Jatiwangi. Para buruh jebor menjadi peserta Jatiwangi Cup. Jatiwangi art Factory (JaF), sebuah lembaga nirlaba, merupakan penggagas kontes ini. Para pengusaha jebor mendukung sejak awal.

Sebelumnya sudah dua kali kontes diselenggarakan. Pada 2016, lokasi kontes di di Jebor Edi Jaya. Kini giliran Jebor Tenang Jaya di Desa Loji yang menjadi tuan rumah. Jatiwangi Cup digelar untuk memperingati kemerdekaan Republik Indonesia.

Di lain sisi, enam juri bersiap di depan panggung pentas. Latar belakang mereka beragam. Ada Sani (juara Jatiwangi Cup 2016), Siti Julaeha (pemilik Jebor Tenang Jaya), Indri Novia Desliani (Dinas Perhubungan Majalengka), Yuni Anggraini (Satpol PP), Dominique Lammli (seniman dari Swiss), dan Loranitha Theo (Jatiwangi Art Factory).

Pada pukul 14.00 kontes dimulai. Pembawa acara meminta para peserta, dimulai nomor urut terkecil, untuk naik ke panggung yang tersusun dari gundukan tanah liat setinggi lebih kurang dua meter.

Di panggung itu para pekerja genting unjuk gigi, memperlihatkan otot-otot. Pantulan cahaya matahari dari kulit yang berlapis minyak kelapa membuat penampakan otot semakin dramatis.

Ratusan pasang mata terpikat. Sorak-sorai tak kunjung henti. Penonton tercengang menyaksikan para kuli genting berpose bak atlet binaraga profesional.

Dari 70 peserta, juri memilih 23 peserta. Kemudian 23 peserta terpilih itu dipersilakan kembali naik ke atas panggung. Di pengujung acara juri menetapkan 12 kandidat terbaik.

Kisah Seorang Buruh dan Industri yang Meredup

Adapun kriteria penilaiannya adalah lekuk tubuh, kreativitas pose, keselarasan paras dan tubuh, keberanian di atas panggung, dan kekuatan angkut.

Berdasarkan kriteria itu, Oman dari Jebor Pasaka berhasil menjadi juara Jatiwangi Cup 2017. Oman mengalahkan puluhan peserta lain. Termasuk Enceng Ahmad.

Usai menjalani pendidikan SD, Enceng harus rela kehilangan masa kanak-kanaknya. Tak punya pilihan, ia harus mencari pekerjaan untuk menyambung hidup. Kala itu yang terlintas menjadi kuli di Pabrik Genting.

Di usia 14 tahun, akhirnya Enceng memantapkan langkah untuk mengikuti jejak kakek dan bapaknya sebagai perajin genting. Enceng memulai pekerjaan sebagai kuli angkut yang bertugas menjemur genting sebelum masuk ke ruang pembakaran.

Pertama kali kerja, bayaran yang Enceng terima hanya Rp 1.500 per hari. Meski demikian Enceng mengaku pendapatan itu cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Hari demi hari ia lalui. Tak terasa sudah 23 tahun Enceng bergumul dengan tanah liat. Spesialisasinya tak lagi sebagai kuli angkut. Enceng kini memegang alat pres genting. “Sekarang sehari dapat Rp. 70 ribu,” ungkapnya.

Dalam sehari Enceng bekerja selama enam jam, mulai pukul 07.00 hingga pukul 13.00. Ia tidak bekerja sendiri. Membuat genting membutuhkan kerja sama tim. Jika satu orang saja absen, satu tim bakal terganggu.

Pekerja jebor sedang memindahkan genting ke tempat penyimpanan (Liputan6.com/Mochamad Khadafi)

Dalam satu tim setidaknya ada 7 pekerja. Ada tugas masing-masing: menyiapkan tanah liat, mengendalikan alat pres, membersihkan sisa tanah pada genting yang baru selesai dipres, dan membawa genting ke tempat penyimpanan sementara.

Secara alami, budaya kerja sama itu membentuk ikatan persaudaraan yang kuat. Suasana itu juga yang membuat Enceng betah berlama-lama kerja di jebor. “Saya bahagia, jadi semangat terus,” ungkap Enceng.

Dalam sehari Enceng dan rekan satu timnya dapat mencetak 2.500 genting. Mungkin bagi orang awam jumlah itu terbilang banyak. Namun sebenarnya, ada penurunan drastis dibanding produksi genting tujuh belas tahun lalu.

Kala itu perusahaan genting Jatiwangi sedang di masa kejayaan. Bahkan genting Jatiwangi diminati hingga pelosok Pulau Jawa. Hal itu juga dirasakan Iim Fathurohim, pemilik Jebor Dua Saudara di Desa Burujul Kulon. Iim mengaku, dulu pabriknya dapat mencetak 3.500 genting per hari. “Belum keluar dari tungku pembakaran, genting sudah banyak yang memesan,” ujar Iim.

Namun seiring berjalannya waktu, pamor genting Jatiwangi semakin redup. Pada 1992, tercatat ada 800 pabrik genting di Jatiwangi. Jumlahnya menurun lebih dari separuh pada 2012. Kini tinggal 200 pabrik.

Sebagian pihak berpendapat  melemahnya jebor Jatiwangi lantaran kalah saing dengan pabrik-pabrik baru di Majalengka. Di sisi lain, ada juga yang menuding peran sejumlah oknum yang menghalalkan segala cara untuk meraup keuntungan.

Arif Yudi Rahman, pendiri JaF, tak menampik dua pandangan yang berkembang itu. Menurut Arif melemahnya industri genting Jatiwangi karena pengaruh internal dan eksternal. “Dari pekerjanya sendiri, juga dari industri,” papar Arif.

Mereka berbaris dan saling bergantian memamerkan otot murni mereka pada ajang tahunan tersebut. Mempunyai badan kurus dan gemuk tak masalah untuk mengikuti kontes ini. (Liputan6.com/Gempur M Surya)


Dulu perajin benar-benar memiliki kecintaan pada pekerjaan sebagai perajin genting. Mereka fokus menghasilkan genting dengan kualitas terbaik.

Namun pada 1980-an mulai terjadi pergeseran cara pandang. Permintaan dari konsumen saat itu terus meningkat. Godaan akan kebutuhan ekonomi tak terbendung.

Orientasinya kemudian tak lagi pada kualitas melainkan kuantitas. Hal ini membuat kejayaan industri genting Jatiwangi melemah setelah melewati tahun 2000. “Semakin banyak jadi semakin tamak dan kemudian bangkrut sendiri,” ungkap Arif.

Cobaan bagi industri genting Jatiwangi tak henti di sana. Sejak 2008, sejumlah pabrik besar berdiri. Hingga 2015 tercatat 15 pabrik mendapatkan izin operasi. Imbasnya niscaya dirasakan perusahaan genting tradisional.


Coba Mengembalikan Identitas Jatiwangi


Arif Yudi, Loranitha Theo, dan Ginggih Syar Hasyim, membangun JaF pada 2005. Tujuannya untuk mengenalkan seni ke lebih banyak orang, terutama warga Jatiwangi dan sekitarnya.

Keberadaan JaF merupakan jawaban dari kegundahan Arif. Sebagai warga Jatiwangi, ia merasa identitas kampung halamannya mulai luntur. Genting Jatiwangi yang terkenal sejak awal abad ke-20 mulai dikesampingkan.

Berkreasi dengan tanah liat tidak lagi menjadi kebanggaan warga Jatiwangi. Sebagian besar warga justru memilih untuk terjun di industri modern yang mulai merebak di Majalengka.

Padahal, menurut Arif, jebor jauh lebih berperikemanusiaan. Pekerja perempuan dapat membawa anaknya ke lokasi kerja, izin tidak masuk kerja saat musim tanam dan musim panen juga diperbolehkan, bahkan dapat meminjam uang kepada pemilik jebor bila ada kebutuhan mendesak. “Seperti tidak ada jarak antara bos dan karyawan,” ujar Arif.

Mendambakan keharmonisan itu, Arif percaya seni mampu membangun kembali identitas Jatiwangi. Laki-laki paruh baya itu sengaja menjadikan seni sebagai senjata. Selain mudah diterima di kalangan masyarakat, melalui seni tak ada batasan antar strata sosial.

Jerih payah Arif dan rekan-rekan di JaF mulai membuahkan hasil. Lingkungan di Jatiwangi kembali tertib, warganya tidak mudah tersulut emosi, dan yang terpenting anak-anak muda mulai berpikir kritis menanggapi isu sosial.



Namun pencapaian itu tak membuat para aktivis JaF cepat puas. Mengingat salah satu tujuan besar JaF adalah mengembalikan identitas Jatiwangi, Arif dan rekan-rekan juga mencetuskan acara yang melibatkan landmark Jatiwangi: tanah liat. Jatiwangi Cup pun dihelat.

“Kita berusaha mengembalikan, sekaligus memberi apresiasi pada pekerjaan mereka,” tegas Arif.

Matahari rebah di barat. Terpilihnya Oman sebagai pemenang juga sekaligus menjadi penanda berakhirnya acara. Semua berjalan lancar, tidak ada keributan. Menang atau kalah bukan masalah. Para peserta yang kalah tetap menunjukkan raut muka cerah.

Lihat Enceng Ahmad. Meski gagal menang, pria 37 tahun itu tak gundah. Bagi Enceng, acara tersebut lebih untuk mempererat tali persaudaraan antar perajin genting. “Saya bangga dengan adanya lomba jebor, menguatkan persaudaraan,” tutur Enceng.

Julian Abraham, aktivis JaF, memberikan pernyataan selaras dengan Enceng. Menurut Julian atau lebih dikenal dengan Togar, lomba binaraga antar jebor tak sekadar untuk meramaikan HUT RI. Jatiwangi Cup juga menjadi media menjaga kelestarian jebor di Jatiwangi.

“Supaya bisa mengumpulkan teman-teman para pekerja jebor dalam satu event dan dapat mengamplifikasi keindahan yang ada di jebor,” tutur Julian.

 

 

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya