Liputan6.com, Jakarta Skema reforma agraria yang didorong pemerintah melalui legislasi dan redistribusi lahan (seluas 9 juta hektar), serta pelaksanaan program perhutanan sosial (seluas 12,7 juta hektar) masih jauh dari harapan.
Hal itu terungkap dalam Rapat Dengar Pendapat Umum Komite I DPD RI dengan Aliansi Gerakan Reforma Agraria, Serikat Petani Indonesia, Dewan Nasional Konsorsium Pembaruan Agraria, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dalam rangka membahas pelaksanaan Reforma Agraria terkait Redistribusi Lahan, Legalitas aset dan RUU tentang Pertanahan di Komplek Parlemen Senayan, Senin (4/9).
Ketua Komite I DPD RI, Ahmad Muqowam menjelaskan reforma agraria seharusnya menjadi hal mendasar, saat ini pemerintah mempunyai program akan mendistribusikan 9 juta hektar lahan untuk disistribusikan dan dalam Undang Undang No.41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan jelas memberikan kepada petani untuk diolah.
Baca Juga
Lahan tersebut diadakan melalui pengadaan Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA) oleh pemerintah, akan tetapi masih banyak kendala.
Advertisement
"Pelaksanaan reforma agraria yang dilaksanakan pemerintah saat ini pelaksanaannya masih jauh panggang dari api, prioritas yang didengung-dengungkan oleh pemerintah belum disikapi dengan praktek yang nyata, keberpihakan kepada kaum petani dan masyarakat kecil belum terwujud masih jauh dari target 9 juta hektar redistribusi lahan yang dicanangkan,” ujarnya saat memimpin rapat tersebut.
Sementara itu, sekretaris umum Serikat Petani Indonesia, Agus Ruli Hardiansyah menambahkan dalam hal legalisasi dan sertifikasi lahan, saat ini banyak terjadi konflik dimana petani dan masyarakat adat yang banyak menjadi korban. Pada prakteknya, 9 juta hektar legalisasi dan redistribusi skema dari pemerintah tidak ideal. Sampai saat ini tanah objek reforma agraria yang dilepaskan tidak tepat sasaran hanya mengakomodasi kepada pemilik perkebunan skala besar dan sisanya ke masyarakat.
“Kami melihat reforma agraria belum berhasil, sebagai contoh petani di Mekar Jaya Langkat, Sumatera Utara tetap digusur meski sudah bertahun-tahun mengusahakan lahan disana malah terusir, ini bukti bahwa masih kuatnya penguasa melindungi kepentingan bisnis,” tegas
Senada dengan Agus, Rahmat Ketua Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) memaparkan saat ini pemerintah dalam mewujudkan reforma agraria tidak menyentuh praktek monopoli penguasaaan atas tanah. Tanah-tanah yang saat ini menjadi milik penguasa dan kaum bisnis tidak masuk dalam objek reforma agraria, artinya keberpihakan pemerintah kepada petani dan masyarakat saat ini.
“Dampak monopoli mempengaruhi input dan output pada pertanian. Kami akan menentang selama belum menyentuh dan membela kaum tani. Reforma agraria harus mengurangi monopoli, agar petani dapat menikmati juga bagi hasil serta keuntungan dari apa yang diusahakannya,” jelasnya.
(*)