Liputan6.com, Jakarta - Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) akan memeriksa etik mantan kuasa hukum Setya Novanto, Fredrich Yunadi. Saat ini, Fredrich telah berstatus tersangka merintangi penyidikan kasus korupsi e-KTP dan ditahan di Rutan KPK.
"Penyidikan bolehlah sama-sama berjalan, dia (KPK) mungkin mempunyai dasar dan punya alat bukti yang cukup bahwa telah terjadi tindak pidana," kata Anggota Komisi Pengawas Peradi Kaspudin Noor di Jakarta, Minggu 14 Januari 2018.
Baca Juga
Ia menambahkan, KPK masih mengedepankan asas praduga tidak bersalah dengan memberikan kesempatan kepada Fredrich Yunadi untuk membela dirinya. "Itu kan diatur dalam undang-undang," ujarnya.
Advertisement
Jadi, kata eks Komisioner Komisi Kejaksaan Republik Indonesia (KKRI), tidak boleh ada penghukuman sebelum putusan dari pengadilan.
"Semoga juga penangkapan terhadap Frederich ini berdasarkan Pasal 21 yang diatur dalam KUHAP, bukan karena alasan vokal dalam pembelaan terhadap kliennya," ungkap Kaspudin seperti dilansir Antara.
Sidang etik Peradi terhadap Fredrich Yunadi akan memeriksa sesuai fakta apakah kasusnya itu pelanggaran hukum atau pelanggaran etik. Selanjutnya dari hasil sidang etik itu akan diputuskan oleh Dewan Kehormatan Peradi Jakarta.
Â
Terancam 12 Tahun Penjara
Frederich Yunadi ditetapkan sebagai tersangka dengan tuduhan merintangi penyidikan kasus KTP elektronik dengan tersangka Setya Novanto pada 10 Januari 2018 dan saat ini sudah ditahan di KPK.
Fredrich dan juga dokter Bimanesh Sutarjo diduga bekerja sama untuk memalsukan tersangka Setya Novanto ke rumah sakit untuk dilakukan rawat inap dengan data-data medis yang diduga dimanipulasi sedemikian rupa untuk menghindari panggilan dan pemeriksaan oleh penyidik KPK termasuk dengan menyewa satu lantai di RS Medika Permata Hijau.
Atas perbuatannya tersebut, Fredrich dan Bimanesh disangkakan melanggar Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Pasal tersebut mengatur mengenai orang yang sengaja mencegah, merintangi atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang terdakwa dalam perkara korupsi dapat dipidana maksimal 12 tahun dan denda paling banyak Rp 600 juta.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Advertisement