Liputan6.com, Jakarta - Operasi tangkap tangan KPK terhadap Hakim PN Tangerang, Wahyu Widya Nurfitri (WWN) dan panitera pengganti, Tuti Atika (TA) seolah meninju muka peradilan. Uang sebesar Rp 30 juta jadi bukti telak yang memukul jatuh hakim senior itu.
Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan mengatakan, keduanya diduga menerima uang suap Rp 30 juta dari dua pengacara bernama Agus Wiratno (AGS) dan HM Saipudin (HMS).
Menurut Basaria, suap diberikan agar gugatan perdata terkait hak waris yang ditangani kedua pengacara tersebut dimenangkan oleh hakim Widya.
Advertisement
Basaria menyebut kesepakatan awal pemberian suap, yakni Rp 7,5 juta. Namun, Tuti dan Widya merasa jumlah Rp 7,5 juta kurang. Kemudian disepakati nilai suapnya menjadi Rp 30 juta.
"Kekurangan Rp 22,5 juta diberikan kemudian," kata Basaria kemarin.
Sidang putusan perkara tersebut sejatinya digelar pada 8 Maret 2018. Tapi lantaran dua pengacara tersebut belum memberikan uang sisa sebesar Rp 22,5 juta, sidang ditunda dengan alasan anggota hakim bertugas ke luar kota.
Kemudian sidang dijadwalkan ulang pada Rabu, 13 Maret 2018.
"Pada 12 Maret (2018), AGS membawa uang Rp 22,5 juta yang diserahkan ke TA di parkiran PN Tangerang dan KPK melakukan penangkapan di hari yang sama," ujar Basaria.
Kemudian, tim penindakan KPK mengamankan Tuti dan Agus beserta tiga orang lainnya untuk diperiksa secara intensif di gedung KPK. Setelah itu, tim penindakan bergerak menuju Kebon Jeruk dan menangkap HM Saipudin.
"Sekitar pukul 20.00 WIB, tim penindakan lalu bergerak ke Bandara Soetta untuk mengamankan WWN yang baru tiba dari Semarang," kata Basaria.
Dalam OTT ini, KPK menetapkan empat tersangka, yakni Hakim Wahyu Widya Nurfitri, Panitera Pengganti Tuti, dan dua advokat Agus Wiratno dan HM Saipudin.
Suap Merebak ke Pelosok
Godaan uang suap juga menyapa Hakim Sudiwardono yang sekaligus menjabat sebagai Ketua Pengadilan Tinggi Manado, Sulawesi Utara. Malah hakim Sudiwardono sudah merasakan duduk di kursi pesakitan.
Jaksa penuntut umum (JPU) pada KPK mendakwa Ketua Pengadilan Tinggi (PT) Manado, Sulawesi Utara, Sudiwardono, menerima suap 120 ribu dolar Singapura untuk membebaskan terdakwa kasus korupsi, Marlina Moha Siahaan.
Marlina diduga terlibat korupsi di Kabupaten Bolaang Mongondow. Uang suap diterima Sudiwardono agar tak menahan Marlina dalam proses banding perkara korupsinya. Marlina sempat divonis lima tahun penjara oleh Pengadilan Tipikor Manado.
Padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk memengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili," ujar Jaksa KPK, Dody Sukmono, di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Rabu (28/2/2018).
Dalam dakwaan, Sudiwardono menerima uang 80 ribu dolar Singapura dari anggota DPR Fraksi Partai Golkar, Aditya Anugrah Moha. Pemberian dilakukan Aditya Moha agar Marlina yang merupakan ibu kandungnya tidak ditahan selama proses banding.
Penerimaan 80 ribu dolar Singapura itu terjadi di kediaman Sudiwardono di Yogyakarta pada 12 Agustus 2017. Setelah menerima uang tersebut, Sudiwardono langsung menerbitkan surat yang menerangkan bahwa dirinya belum pernah mengeluarkan surat penahanan untuk Marlina.
Sudiwardono merupakan ketua majelis hakim proses banding Marlina, dengan anggota majelis hakim, yakni Yap Arfen Rafael dan Andreas Lumme. Usai menerima uang 80 ribu dolar Singapura, Ketua PT Manado ini kemudian meminta uang kembali kepada Aditya Moha untuk vonis bebas Marlina.
Sudiwardono meminta kepada Aditya Moha untuk menyediakan 40 ribu dolar Singapura untuk membebaskan ibunya. Sudiwardono juga meminta fasilitas kamar di Hotel Alila Jakarta sebagai lokasi penyerahan uang suap.
Menindaklanjuti permintaan tersebut, Aditya Moha kemudian berjanji akan menyerahkan uang pada 29 September 2017. Namun, karena Sudiwardono sakit, rencana penyerahan uang dilakukan pada 6 Oktober 2017.
Kemudian, pada 2 Oktober 2017 Sudiwardono sempat mengirimkan pesan singkat kepada Aditya yang isinya, “Saya berencana Kamis malam (5 Oktober 2017) sudah di tempat 'pengajian'. Sabtu malam ada undangan di TMII,” kata jaksa.
Merespons pesan singkat tersebut, Aditya Moha mengiyakan pertemuan tersebut. "Ok, Pak agak malaman yah," kata jaksa sesuai surat dakwaan.
Lantaran memiliki kesibukan, Aditya Moha membatalkan pertemuan malam itu, dan berjanji malam berikutnya akan segera menyampaikan uang tersebut.
Pada 6 Oktober 2017, sekitar pukul 22.24 WIB, Aditya Moha berangkat menuju Hotel Alila. Dia langsung menyerahkan uang 30 ribu dolar Singapura kepada Sudiwardono. Sementara uang sebesar 10 ribu dolar Singapura baru akan diserahkan Aditya Moha setelah pembacaan vonis bebas untuk ibunya.
Tak lama setelah penyerahan uang tersebut, Aditya dan Sudiwardono ditangkap tim penindakan KPK.
Sudiwardono disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a dan Pasal 12 huruf c atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Advertisement
Hakim Senior yang Bandel
Ketua Komisi Yudisial (KY) Aidul Fitri Ciada Azhari mengatakan, lembaganya telah mengingatkan sejumlah hakim untuk tidak main-main dengan suap. Sebelum tertangkap tangan, KY juga mengaku sudah mendapat informasi adanya praktik suap di PN Tangerang.
"Sudah ada informasi PN tangerang ini ada termasuk di bawah radar tapi kan kita enggak tahu, tapi seingat saya sudah diingatkan," kata Azhari.
Azhari juga mengatakan, yang terkena OTT merupakan hakim senior. Menurut dia, fakta itu memprihatinkan, dimana seharusnya seorang hakim senior tidak lagi punya masalah dengan besaran penghasilannya.
Di sisi lain, Azhari mengaku kesulitan mendeteksi suap di lingkup Pengadilan Negeri.
"KY kan posisinya pencegahan, sejauh ini yang kita lihat masih bersifat personal, di sini hakimnya juga senior, penghasilannya sudah tinggi, sistem yang dibangun juga sudah bagus, ini per orang memang agak sulit menemukan," ujarnya.
Azhari pun sempat mendatangi Pengadilan Negeri Tangerang untuk memastikan adanya operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan oleh KPK, pada Senin (12 Maret 2018) malam.
Di lokasi Azhari mengingatkan hakim lainnya untuk tidak main-main dengan profesinya.
"Hakim harus mulai memahami bahwa dia engga boleh bertemu dengan para pihak kecuali dua-duanya, mengesankan keberpihakan saja tidak boleh," tegasnya.