Sidang Uji Materi, Ahli Sebut BUMN Harus Lebih Bertanggungjawab

BUMN harus dapat menjadi perpanjangan tangan pemerintah untuk mendistribusikan manfaat sumber daya alam yang berkeadilan untuk seluruh rakyat Indonesia.

oleh Putu Merta Surya Putra diperbarui 18 Apr 2018, 21:52 WIB
Diterbitkan 18 Apr 2018, 21:52 WIB
MK Dengar Keterangan Saksi Ahli di Sidang Lanjutan Pengujian UU BUMN
Prof. DR. Koerniatmanto memberi keterangan saat menjadi saksi ahli di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (18/4). Sidang membahas tentang Pengujian UU No. 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN). (Merdeka.com/Iqbal Nugroho)

Liputan6.com, Jakarta - Penyertaan modal oleh pemerintah terhadap Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dipandang harus melalui mekanisme kontrol yang baik. Sehingga, BUMN bisa lebih bertanggungjawab. Hal ini disampaikan oleh akademisi Universitas Mulawarwan, Bernaulus Saragih, saat menjadi saksi ahli di Mahkamah Konstitusi (MK).

Hari ini, Rabu (18/4/2018) dilakukan sidang uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN, khususnya Pasal 2 ayat (1) huruf a dan huruf b. Serta Pasal 4 ayat (4). Gugatan ini diajukan oleh Albertus Magnus Putut Prabantoro dan Letjen TNI (Purn) Kiki Syahnakri.

"Bahwa penyertaaan modal oleh pemerintah terhadap BUMN dari uang rakyat atau APBN harus melalui mekanisme yang dapat dikontrol oleh rakyat dan respresentasinya. Sehingga BUMN dapat lebih bertanggungjawab terhadap pemanfaatan kekayaan alam Indonesia yang lebih berkeadilan, serta bertanggungjawab dalam menjaga kelestarian SDA dalam mendukung pembangunan yang berkelanjutan di Indonesia," ucap Bernaulus di sidang MK, Jakarta, Rabu (18/4/2018).

Dia menyebut, BUMN harus dapat menjadi perpanjangan tangan pemerintah untuk mendistribusikan manfaat sumber daya alam yang berkeadilan untuk seluruh rakyat Indonesia.

"Bukan justru menjadi perantara asing, untuk mengkooptasi dan mengeksploitasi kekayaan alam Indonesia," kata Bernaulus.

Sementara itu, ahli lainnya, Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Parahyangan, Koerniatmanto Soetoprawiro, memandang, keberadaan Pasal 2 ayat (1) huruf a dan huruf b, mempunyai makna yang bias.

"Hal ini dapat dibuktikan dengan tidak dicantumkannya kata "kemakmuran rakyat" sebagaimana disebutkan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, yang sesungguhnya merupakan landasan utama dari pembentukan UU BUMN itu sendiri," jelas Koerniatmanto.

Dia pun berpandangan, maksud dan tujuan mengejar keuntungan dalam pasal a quo, jelas akan dialirkan ke para penguasa modal, yang mengarah ke nuansa privatisasi.

"Hal ini jelas tidak selaras dengan paradigma, bahwa BUMN itu di dalam mengelola keuangan negara adalah demo ataupun mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia dan seluruh tumpah dara Indonesia, dan untuk memajukan kesejateraan umum, dan bukan demi keuntungan para penguasa modal," pungkas Koerniatmanto.

 

Saksikan vodeo pilihan di bawah ini:

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Pasal Diselewengkan

MK Dengar Keterangan Saksi Ahli di Sidang Lanjutan Pengujian UU BUMN
Majelis Hakim menanggapi kesaksian dua saksi ahli saat sidang Pengujian UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN di MK, Jakarta, Rabu (18/4). Sidang menghadirkan dua saksi ahli yakni Prof. DR. Koerniatmanto dan Ir. Bernaulus Saragih. (Merdeka.com/Iqbal Nugroho)

Sebelumnya, dalam permohonannya, pemohon menyebut keberadaan pasal-pasal tersebut diselewengkan secara normatif dan menyebabkan terbitnya peraturan turunan, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2017 tentang Penambahan Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia ke dalam Modal Saham Perusahaan Persero.

Dalam PP yang juga dikenal dengan PP Holding BUMN Tambang, tiga BUMN dialihkan sahamnya kepada PT Indonesia Asahan Aluminium Persero (Inalum). Tiga BUMN tersebut, yakni Perusahaan Perseroan (Persero) PT Aneka Tambang Tbk, Perusahaan Perseroan (Persero) PT Timah Tbk, serta Perusahaan Perseroan (Persero) PT Bukit Asam Tbk.

Pemohon juga menilai, Pasal 4 ayat (4) UU BUMN menunjukkan akibat dari penyertaan modal negara pada BUMN lain. Sehingga BUMN tersebut menjadi anak perusahaan BUMN lainnya.

Ketentuan ini, telah menghilangkan BUMN dan dapat dikategorikan sebagai privatisasi model baru karena adanya transformasi bentuk BUMN menjadi anak perusahaan BUMN tanpa melalui mekanisme APBN dan persetujuan DPR RI.

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya