Banwaslu Tak Setuju Pembatasan Hak Mantan Napi Korupsi, Ini Alasannya

Banwaslu tidak sependapat dengan rencana Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang melarang mantan napi korupsi nyaleg.

oleh Ady Anugrahadi diperbarui 06 Mei 2018, 06:02 WIB
Diterbitkan 06 Mei 2018, 06:02 WIB
bawaslu
Badan Pengawas Pemilu (Banwaslu). (Liputan6.com/Ady Anugrahadi)

Liputan6.com, Jakarta - Badan Pengawas Pemilu (Banwaslu) tidak sependapat dengan rencana Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang melarang mantan napi korupsi menjadi calon anggota legislatif. Wacana itu akan dituangkan dalam Peraturan KPU (PKPU) tentang pencalonan.

Anggota Bawaslu, Fritz Edward Siregar menilai, KPU tidak dapat membatasi hak seseorang. Terkecuali adanya pembaruan undang-undang atau putusan pengadilan.

"Kami kurang sependapat apabila misalnya pembatasan pencalonan mantan napi korupsi tersebut melalui sebuah Peraturan KPU. Kalau mau silakan ubah UU. Itu akan jauh lebih elegan," kata Fritz di Gedung Banwaslu, Sabtu, 5 Mei 2018.

Dia menjelaskan, Pasal 28 J ayat 2 UUD 1945 telah mengatur secara jelas mengenai hak seseorang. Sementara, UUD 1945 merupakan dasar dari seluruh peraturan di Indonesia.

"Hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis," kata Fritz, mengutip isi UUD 1945.

Terlebih lagi, adanya putusan pertama Mahkamah Konstitusi Nomor 51 tahun 2016 dan putusan Nomor 42 tahun 2015. Meskipun aturan itu terkait pilkada.

"Bahwa seseorang yang telah menjalankan pidana korupsi dan kemudian ingin mencalonkan kembali mereka dapat untuk menjadi calon. Asal melakukan pengakuan di depan umum, masyarakat tahu dia telah pernah dipidana oleh tindak pidana korupsi," ujar Fritz.

Dia juga merujuk pada putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11-17 tahun 2003 tertanggal 24 Februari 2004. Putusan MK itu jelas menyatakan pembatasan hak pilih diperbolehkan apabila hak pilih tersebut dicabut oleh pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

Berdasar aturan-aturan itu, lanjut dia, semua warga negara memiliki hak yang sama dan tidak bisa dikurangi jika belum ada undang-undang baru atau putusan pengadilan.

Sehingga, Peraturan KPU Nomor 7 Tahun 2017 tidak dapat menjadi acuan untuk sebuah instrumen mengurangi hak berpolitik seseorang, termasuk hak seorang mantan napi korupsi.

 

Tak Dukung Pemberantasan Korupsi?

Logo Bawaslu
Logo Bawaslu (Liputan6.com/Helmi Afandi)

Penjelasan ini, kata Fritz, bukan berarti Bawaslu tidak mendukung gagasan KPU dalam menolak bakal caleg yang pernah tersangkut kasus korupsi. Dia sepakat dengan konsep tersebut. Hanya, KPU tidak berwenang untuk membatasi hak seseorang.

"Kami sangat mendukung ide daripada teman-teman ICW yang menginginkan calon yang bersih, calon yang punya integritas yang dapat menjadi anggota calon legislatif baik di kabupaten, kota, provinsi maupun DPR RI," ujar Fritz.

Dia lebih setuju dengan mekanisme, masyarakat lah penentu dan penyeleksi layak atau tidaknya seseorang menjadi caleg. "Biarlah masyarakat yang memilih," tutup Fritz.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya