Penggeledahan KPK di Rumah Dirut PLN terkait Kasus Ini

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah rumah Direktur Utama PLN, Sofyan Basir di wilayah Bendungan Hilir, Jakarta Pusat.

oleh Rita Ayuningtyas diperbarui 15 Jul 2018, 17:18 WIB
Diterbitkan 15 Jul 2018, 17:18 WIB
Ilustrasi Korupsi
Ilustrasi Korupsi

Liputan6.com, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah rumah Direktur Utama PLN, Sofyan Basir di wilayah Bendungan Hilir, Jakarta Pusat. Penggeledahan rumah Dirut PLN yang berlangsung sejak pagi itu terkait dengan dugaan suap.

"Dalam penyidikan kasus suap terkait proyek PLTU Riau-1," ujar Juru Bicara KPK, Febri Diansyah, saat dikonfirmasi Liputan6.com, Jakarta, Minggu (15/7/2018).

Menurut dia, tim KPK sedang mencari barang bukti terkait perkara itu di rumah Dirut PLN. Hingga pukul 17.00 WIB, tim KPK masih berada di sana.

"Penggeledahan di lokasi tertentu dilakukan dalam rangka menemukan bukti yang terkait dengan perkara itu," Febri menjelaskan.

Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Basaria Panjaitan memastikan pihaknya menelisik aliran dana terkait kontrak kerja sama pembangunan PLTU Riau-1 di Riau. 

"Itu sudah pasti. Sementara hari ini belum kami lakukan, mungkin setelah ini akan dilakukan pemanggilan-pemanggilan," ujar Basaria di Gedung KPK, Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Sabtu 14 Juli 2018.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

Tetapkan Tersangka

Pada kasus ini, KPK menjadikan Wakil Ketua Komisi VII DPR Eni Maulani Saragih dan pengusaha Johanes B Kotjo selaku pemilik saham Blackgold Natural Recourses sebagai tersangka.

Komisi VII DPR menaungi lingkup energi, riset, tekhnologi, dan lingkungan hidup. Selain Eni, Komisi VII dipimpin oleh Gus Irawan Pasaribu selaku ketua komisi. Sementara wakil ketua lainnya yakni Herman Khaeron, Syaikhul Islam Ali, dan Tamsil Linrung.

Menurut Basaria, ada kemungkinan uang suap sebesar Rp 4,8 miliar yang diterima Eni Maulani Saragihjuga masuk ke kantor pimpinan ataupun anggota Komisi VII DPR lainnya.

"Yang lain-lain masih mungkin terjadi, karena kita tahu uang Rp 4,8 miliar secara keseluruhan sementara yang sudah diterima. Apakah ini ke mana, belum bisa kami memberikan informasi itu," kata Basaria.

Menurut Basaria, berdasarkan penyelidikan awal, uang sejumlah Rp 4,8 miliar tersebut hanya diterima Eni dari Johanes. Namun bukan tidak mungkin dalam proses penyidikan nanti KPK akan menemukan pihak lain yang diduga berkaitan.

"Ya pihak yang diduga sebagai penerima itu selain disangkakan Pasal 12 a atau Pasal 11 juga dijunctokan Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP. Diduga perbuatan ini tidak dilakukan sendirian, dan itulah yang nanti jadi ruang bagi pengembangan KPK melihat pihak-pihak lain," terang Basaria.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya