HEADLINE: Pileg 2019 Diprediksi Jadi Kuburan Partai Baru, Siapa Bakal Tergusur?

Ambang batas parlemen sebanyak 4 persen dianggap jadi beban berat untuk partai-partai baru. Terancam layu sebelum berkembang usai Pileg 2019?

oleh Luqman RimadiPutu Merta Surya PutraIka Defianti diperbarui 16 Nov 2018, 00:08 WIB
Diterbitkan 16 Nov 2018, 00:08 WIB
Ilustrasi Pemilu 2019
Badut berbentuk kotak suara Komisi Pemilihan Umum (KPU), ondel-ondel, dan marching band ikut meramaikan pawai Deklarasi Kampanye Damai di Monas, Minggu (23/9). (Merdeka.com/Iqbal Nugroho)

Liputan6.com, Jakarta - Ada 16 partai politik yang akan berlaga dalam Pemilu Legislatif 2019.  Mayoritas wajah lama, hanya ada empat parpol yang terbilang kinyis-kinyis, yakni Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Persatuan Indonesia (Perindo), Partai Berkarya dan Partai Garuda. 

PSI adalah partai besutan mantan presenter dan jurnalis Grace Natalie. Targetnya kaum milenial. Sejumlah pesohor pun bergabung di dalamnya, misalnya Giring Nidji dan juara dunia bulutangkis Haryanto Arbi. Gaya kampanye mereka relatif segar, khas anak muda.

Sementara, Partai Berkarya didirikan Hutomo Mandala Putra atau yang lebih dikenal dengan nama Tommy Soeharto. Parpol ini didukung penuh keluarga Cendana. Nostalgia era Orde Baru jadi jualan mereka di Pemilu 2019. 

Ada juga Perindo, partai yang didirikan pengusaha Hary Tanoesodibjo yang adalah bos media di Indonesia. Pengembangan usaha kecil dan menengah jadi bahan kampanyenya. 

Terakhir Partai Garuda, gaung parpol yang diketuai oleh Ahmad Ridha Sabana memang tidak selantang lainnya.

Meski baru, parpol ini punya benang merah dengan Partai Kerakyatan Nasional yang didirikan Harmoko, mantan menteri dan ketua MPR/DPR periode 1997-1999.

Apapun, wajah-wajah populer dan daya pikat parpol baru belum jadi jaminan mereka bisa bertahan dalam kancah politik nasional yang penuh persaingan sekaligus drama. 

Ambang batas parlemen atau parliamentary threshold sebesar 4 persen jadi momok. Jika tak lolos ambang batas, mereka tidak bisa menempatkan kadernya di Senayan. Dapat kursi di DPR jangan-jangan hanya mimpi di siang bolong. 

Bahkan, Peneliti Senior Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Adjie Alfaraby wanti-wanti, Pileg 2019 bisa jadi kuburan bagi partai politik baru yang masih seumur jagung. 

Adjie menjelaskan, berdasarkan survei terbaru LSI, tidak mudah bagi empat partai baru lolos ke Senayan. Mereka bahkan diprediksi hanya akan memperoleh 0 persen suara. Mengapa bisa begitu?

Adjie menyebut, potensi tak dipilihnya partai baru dalam Pileg 2019 ini karena mereka relatif belum dikenal.

"Tingkat pengenalan di bawah 50 persen, itu penyebab pertama. Kalau nggak dikenal, peluang dipilihnya kecil," kata Adjie kepada Liputan6.com di Jakarta, Kamis (15/11/2018).

Selain itu, kata Adjie, empat partai baru itu belum memiliki gebrakan luar biasa untuk memperoleh perhatian publik. "Apa yang membuat mereka berbeda? Programnya apa? Calegnya yang membuat berbeda apa? Belum kelihatan," ujar dia.

Faktor lain, kata dia, adalah struktur partai yang kurang mapan. Sehingga kemampuan mereka untuk menyusun strategi dan penetrasi ke pemilih kecil.

Sementara, satu-satunya cara agar mereka mendapat perhatian publik adalah harus membuat gebrakan yang luar biasa.

"Dalam waktu 5 bulan mereka butuh big bang, ada kejutan yang membuat perbedaan dengan partai lama. Apa yang membedakan dari isu, calegnya, sehingga publik ngeh," kata dia.

Di sisi lain, Adjie sendiri mengapresiasi perjuangan PSI untuk mendapat perhatian publik. Isu dan konten yang dibawa juga bagus. Relatif segar. 

"Daya juang mereka cukup bagus, konten mereka bagus. Problemnya, popularitasnya tidak terlalu signifikan, mereka juga ketutup isu dalam pilpres," kata dia.

Sebenarnya, ujar Adjie, semua partai dirugikan dalam sistem pemilu serentak ini. Sebab partai yang kadernya tak menjadi calon presiden dan wakil presiden seakan 'tak terlihat'. 

Dukungan partai-partai baru pada salah satu pasangan calon juga tak mempan. PSI dan Perindo terang-terangan mendukung Jokowi-Ma'ruf Amin. Berkarya merapat ke Prabowo. Hanya Garuda yang tidak menentukan dukungan. 

Meski demikian, menurut Adjie, mereka tak dapat efek 'ekor jas'. "Efeknya belum ada. coattail effect hanya untuk PDIP dan Gerindra," ucap Adjie.

Efek ekor jas atau coattail effect adalah terminologi dalam dunia perpolitikan AS yang mendeskripsikan pengaruh kekuatan elektoral seorang calon presiden untuk partai pengusung dalam pemilihan umum.

Dan, tak hanya partai baru saja yang akan tergerus dalam Pileg 2019 ini. Partai lama pun banyak yang terancam tak lolos.

"Partai lama seperti PKPI, PBB, partai lain, walaupun di atas 4 persen belum pasti lolos. Tapi mereka relatif dikenal," kata dia.

Optimisme Partai Anyar

Radityo/Liputan6.com
PSI membantah dana kampanye Rp 180 miliar.

Untuk lolos dari ambang batas parlemen 4 persen bukan hal mudah. Namun, sejumlah partai-partai baru tak rela jika eksistensi mereka disebut terhenti di Pileg 2019.

Sekretaris Jenderal (Sekjen) DPP Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Raja Juli Antoni berpendapat, anggapan yang menyebut Pileg 2019 sebagai kuburan partai baru, terburu-buru.

Sebaliknya, ia mengaku optimistis, Pemilu 2019 menjadi ajang bagi partainya untuk membuktikan bahwa anak muda mampu membawa perubahan.

"Kami percaya bahwa ada segmen anak muda yang akan memberikan kepercayaan kepada kami untuk diberi amanah, kami akan perbaiki citra DPR, dan partai politik yang selama ini imejnya terpuruk," ucap pria yang biasa disapa Toni ini kepada Liputan6.com.

Menurut Toni, optimisme terhadap partai baru juga muncul dari Presiden Jokowi. Calon presiden petahana itu yakin, PSI, sebagai partai anyar mampu menjadi pembeda dibanding para seniornya yang lebih dulu ada.

"Pak Jokowi mengatakan (PSI) 'unicorn' politik Indonesia. Ini apresiasi dari Pak Presiden yang sudah makan asam garam di dunia politik. Dia tentu tidak bicara tanpa data dan pesan politik," kata dia.

Dia pun yakin, angka 4 persen yang menjadi ambang batas parlemen tidak akan menjadi penghalang bagi partainya untuk terus bekerja meraih suara besar di Pileg 2019.

"Kami generasi optimis. Jadi saya kira itu adalah kesimpulan yang terlalu terburu-buru, mengatakan bahwa 2019 adalah kuburan partai baru," kata dia.

Sementara itu, Sekjen Partai Perindo Ahmad Rofiq mengakui, ambang batas 4 persen untuk lolos ke Senayan cukup berat. Namun partainya tetap memasang target besar di Pileg 2019.

Ketum Partai Perindo Hary Tanoesoedibjo memberikan keterangan kepada awak media usai mendaftarkan bakal caleg ke KPU, Jakarta, Selasa (17/7). Perindo mendaftarkan sekitar 575 bakal calon legislatif untuk 80 dapil ke KPU. (Merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

"Perindo masuk ke Senayan menjadi bagian dari sebuah keharusan. Perindo harus mampu meraih suara double digit. Ini adalah keharusan mutlak yang harus diperjuangkan dan dimenangkan," ucap Rofiq kepada Liputan6.com.

Untuk mewujudkan itu, Rofiq mengatakan, partainya telah memetakan kekuatan dapil dan berkonsentrasi penuh terhadap basis dukungan yang selama ini telah dibina secara khusus.

"Para caleg di setiap dapil telah diberikan guidance pemenangan secara khusus dalam bentuk program program yang langsung dirasakan masyarakat. Pada prinsipnya, Perindo lebih penekankan pada aspek pengabdian daripada sekedar janji," kata dia.

Sedangkan Sekjen DPP Partai Berkarya, Priyo Budi Santoso yakin, partainya masuk lima besar peraih suara terbanyak di parlemen.

Ketua Dewan Pembina Partai Berkarya Tommy Soeharto (tengah) mendapatkan nomor 7 sebagai peserta pemilu 2019 saat pengundian nomor urut parpol di kantor KPU, Jakarta, Minggu (19/2). (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Partai yang kerap membanggakan pemerintahan Presiden ke-2 RI Soeharto itu yakin akan mendulang suara besar di Pileg 2019 mendatang.

"Kami punya survei sendiri dan punya kalkulasi tersendiri. Partai Berkarya tetap tegak dengan targetnya masuk lima besar di parlemen. Kami tidak ingin hanya sekadar lolos ambang batas 4 persen," ucap Priyo.

Politikus Berkarya lainnya, Badarudin Andi Picunang tidak memungkiri kalau partainya masih menggunakan nama besar Presiden ke-2 Indonesia, Soeharto sebagai dagangan untuk meraup suara publik di Pemilu 2019. 

"Karena di partai kami memang ada Pak Tommy, putra Pak Harto. Pengurusnya juga banyak pecinta Pak Harto dari partai yang pernah dibesarkannya dulu," kata Badarudin. 

Lagi pula, kata Badarudin, saat ini masih banyak masyarakat yang merindukan kembali sosok Soeharto. Menurut dia, terbukti dengan tenarnya kalimat, 'piye? penak zamanku to?' yang merujuk ke kondisi masyarakat di era Soeharto memimpin. 

"Tapi kami hadir bukan untuk mengembalikan paham atau kejadian-keadian di zaman Orde Baru. Kami hadir sebagai alaternatif pilihan masyarakat," kata Badarudin.

Sementara itu, Ketua Umum Partai Garuda Ahmad Ridha Sabana mengaku tak memerdulikan hasil survei apapun terkait nasib partai baru. Dia mengaku, saat ini pihaknya ingin fokus bekerja meraih suara besar untuk mendapatkan hasil maksimal di Pileg 2019. 

Ketua Umum Partai Garuda Ahmad Ridha Sabana mendapatkan nomor 6 sebagai peserta pemilu 2019 saat pengundian nomor urut parpol di kantor KPU, Jakarta, Minggu (19/2). (Liputan6.com/Faizal Fanani)

"Kami tak mau membantah apapun. Kami ingin fokus berkerja. Tapi perlu dicatat, Partai Garuda pada verifikasi di awal, faktual dan administrasi, lolos dengan mengagetkan. Dan, saya kira kami akan melakukan hal yang sama," ucap dia. 

Meski jarang muncul di pemberitaan, Ridha mengaku, selama ini pihaknya terus berkeliling Indonesia memberikan pembekalan kepada caleg-calegnya. Garuda, dia menambahkan, punya strategi dan pola kerja sendiri yang  mungkin belum dikerjakan partai manapun di negeri ini.

"Saya dua kali seminggu jalan dan berkeliling, saya melihat ada pergerakan antusias. Dan kami sangat optimistis dengan caleg-caleg yang ada di seluruh Indonesia, termasuk di DPR RI," kata dia. 

Ridha optimistis, partainya tak hanya akan meraih suara di DPR, tapi juga meraih kursi di parlemen daerah. Pola pendampingan bagi para caleg di daerah, kata dia, dianggap cukup ampuh bagi para kadernya mendapatkan simpati dari masyarakat. Meski berita soal Garuda sepi. 

"Mungkin gerakan kami tidak terbaca, karena kami tidak mau gembar-gembor," kata dia. 

Minimal 5 Juta Suara

pemilu-ilustrasi-131024c.jpg
Ilustrasi pemilih surat suara.

Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini berpendapat, ambang batas 4 persen bukan hal gampang diraih. Itu berarti, satu parpol harus mengumpulkan setidaknya 5 juta suara. Itu berat. Perlu kerja keras hingga kuota terpenuhi. 

Ia menambahkan, ambang batas yang tinggi dan jumlah parpol yang tak sedikit akan membuat banyak suara masyarakat dalam Pemilu 2019 berpotensi terbuang.

"Masyarakat sudah memilih, tapi parpolnya tidak lulus ambang batas parlemen. Maka, suara pemilih menjadi terbuang dan tidak terhitung," ucap dia.

Sementara itu, pengamat politik Populi Center, Usep Akhyar sepakat, Pemilu 2019 mungkin menjadi kuburan bagi partai-partai baru bila tidak ada terobosan dan hal baru yang ditawarkan kepada masyarakat.

Apalagi, sejauh ini ada kecenderungan masyarakat jenuh terhadap partai politik. Orang-orang menganggap partai dengan ideologi apapun sama saja.

"Masyarakat cenderung menganggap partai itu dikategorikan sama aja. Dari berbagai survei yang kita lakukan, kepercayaan kepada parpol itu tidak kunjung naik. Malah justru menurun," ucap Usep saat dihubungi Liputan6.com, Kamis (15/11/2018).

Pandangan masyarakat yang apatis, menurut dia, menjadi ancaman bagi partai-partai baru karena pemilih dari partai lama cenderung loyal. 

Kalau pun berpindah, yang dipilih kemungkinan besar juga partai-partai lama. 

"Jadi, tidak terlalu banyak peminat atau pemilih yang beralih karena tidak ada perbedaan yang signifikan antara partai baru dan partai lama," kata dia.

Menurutnya, sejauh ini, semua strategi yang diungkapkan partai baru  tidak mencerminkan kebaruan. Semuanya pernah dilakuan partai-partai lama.

"Identitas ideologi partai ini tidak muncul. Artinya identitas partai-partai ini dalam ceruk pasar yang sama. Umum," kata dia.  

Menurut Usep, untuk mendapatkan suara besar, partai-partai baru harus meramu strategi dengan menampilkan diri sebagai partai yang berbeda dengan yang lama.

Dia melihat, PSI, yang adalah partai baru, berupaya mencitrakan diri beda dengan partai lama.

Tapi, semakin mendekati pemilu, menurut dia, PSI justru terlihat tidak terlalu berbeda dengan partai-partai berhaluan nasionalis lainnya.

"Di awal-awal ada PSI, tapi kecenderungan pahamnya hampir sama dengan PDIP dengan Partai nasionalis lain. Jadi tidak ada pembeda yang cukup signifikan. Tidak ada pembeda yang cukup ekstrem dengan partai-partai lama," kata dia.

Usep menilai, identitas masih menjadi faktor penting dalam menggiring suara publik di Indonesia, terutama di kalangan masyarakat pedesaan.

Kesimpulannya, pemilih di Indonesia belum sampai pada tahap rasional dalam pilihan politik. 

"Partai-partai yang khusus menurut saya adalah yang punya ideologi khusus, meskipun itu agama," kata Usep. 

Sementara, menurut Usep, partai-partai lama juga memperebutkan ceruk yang umum tersebut. Padahal infrastruktur mereka lebih baik ketimbang partai-partai baru.

"Dengan infrastruktur yang belum kuat, besar kemungkinan partai-partai baru itu tidak akan dapat apa-apa," Usep menandaskan. 

 

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini: 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya