Liputan6.com, Jakarta - Kampus di Jalan Cikini Raya Nomor 76, Jakarta Pusat, tampil meriah. Malam itu, Sabtu 30 November 1957, mereka akan merayakan ulang tahun ke-15 Yayasan Perguruan Cikini yang berdiri pada 1 Agustus 1942.
Ketika itu, yayasan ini melahirkan Sekolah Rakyat Partikelir Mayumi yang menaungi sejumlah sekolah mulai dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi.
Tidak hanya itu alasan Perguruan Cikini bersolek. Malam itu, Presiden Sukarno juga dijadwalkan hadir atas undangan Kepala Perguruan Cikini Sumadji Muhammad Sulaimani. Tak heran, karena seluruh putra dan putri Bung Karno, yaitu Guntur Sukarnoputra, Megawati Sukarnoputri, Rachmawati Sukarnoputri, Sukmawati Sukarnoputri, dan Guruh Sukarnoputra bersekolah di tempat itu.
Advertisement
"Saat itu saya bertugas menjaga pameran, kakak dan adik-adik saya juga. Lalu Bung Karno mengunjungi kami sebagai orangtua," jelas Megawati saat menghadiri peluncuran tiga buku seri sejarah Sukarno di Museum Nasional, Jakarta, Kamis 30 November 2017.
Benar saja, Presiden Sukarno memenuhi janji untuk menghadiri bazar dan malam amal HUT Perguruan Cikini itu. Bung Karno datang dengan elegan, menumpang mobil Chrysler Crown Imperial yang berpelat Indonesia 1. Kendaraan itu merupakan hadiah dari Raja Arab Saudi, Saud bin Abdul Aziz, usai Bung Karno berkunjung ke negara itu pada 18 Juli hingga 4 Agustus 1955.
Datang dengan pengawalan iring-iringan sepeda motor polisi lalu lintas, mobil jip pengawal dari Korps Polisi Militer, dan jip pengawal Detasemen Kawal Pribadi Presiden, rombongan itu mendapat sambutan tamu undangan serta warga yang berada di sekitar Perguruan Cikini.
Cukup lama Bung Karno menghabiskan waktu meninjau lokasi bazar di sekolah anak-anaknya itu sebelum kemudian beranjak pulang. Namun, tak mudah bagi sang presiden untuk meninggalkan lokasi. Puluhan murid Perguruan Cikini yang ingin bersalaman dan berfoto membuat langkah Bung Karno yang akan menaiki mobil tertahan.
Keceriaan di halaman sekolah itu tak berlangsung lama. Enam granat aktif dilemparkan sejumlah pelaku yang tidak diketahui identitasnya ke arah Bung Karno yang tengah dikerumuni para murid. Granat meledak, darah pun tumpah.
Tujuh orang langsung meninggal di tempat dan puluhan lainnya terluka. Dua korban tewas adalah brigadir pengawal voorijders presiden, yakni Muhammad dan Ahmad bin Udi. Sementara, mobil Chrysler dari Raja Arab pun rusak berat. Ban depan kanan-kiri pecah, spatbor berlubang, juga terdapat kerusakan pada kap dan mesin.
"Saya tidak terlupa karena korbannya dari kawan saya ada 100-an orang, baik meninggal, luka parah, atau luka kecil. Ada beberapa yang cacat seumur hidup," kata Megawati.
Presiden sendiri selamat dari kejadian yang kemudian disebut Peristiwa Cikini itu. Selain kesigapan para personel Detasemen Kawal Pribadi, pasukan pengawal Sukarno yang dipimpin Komisaris Besar Mangil Martowidjojo, Bung Karno bisa selamat karena lemparan granat yang meleset akibat pelaku yang ragu-ragu.
"Karena lihat Bung Karno begitu ceria tertawa bersama teman-teman sekolah saya, detik-detik itu terlewat. Jadi, korbannya banyak teman saya di Cikini," sambung Megawati.
Pengawal presiden Ajun Inspektur Polisi Sudio adalah orang pertama yang menarik Bung Karno untuk tiarap setelah ledakan granat yang pertama. Mayor Sudarto dan pengawal lainnya kemudian menempel ketat presiden ke sebuah paviliun yang masih berada lingkungan Perguruan Cikini.
Akibat serangan itu, Bung Karno mengalami luka lecet dan lengan bajunya robek. Setelah memastikan tak ada lagi ledakan dan situasi sudah aman, Bung Karno beserta Guntur dan Megawati dievakuasi ke Istana dengan pengawalan ketat serta melalui jalur yang tidak biasa untuk menghindari kemungikan adanya penghadangan.
Â
Pelaku Dihukum Mati
Kejadian ini langsung menyedot perhatian di Tanah Air. Media massa pun menjadikan upaya pembunuhan presiden ini sebagai berita utama mereka selama berminggu-minggu. Tidak butuh waktu lama buat Komando Militer Kota Besar Djakarta Raya (KMKBDR) untuk menciduk para pelaku.
Tiga hari berselang dari kejadian, Komandan KMKBDR Mayor Dachyar melaporkan bahwa para teroris berasal dari Bima, Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Pinrang, Sulawesi Selatan (Sulsel). Para pelaku yang berjumlah empat orang itu juga sudah ditahan.
Mereka adalah Jusuf Ismail (24), Sa’adon bin Mohamad (18 tahun), Tasrif bin Hoesain (23), dan Mohamad Tasim bin Abubakar (22). Selama ini mereka tinggal di sebuah rumah kontrakan, Asrama Sumbawa di Gang Ampiun No. 21 Cikini, Jakarta Pusat.
Jusuf Ismail kelahiran Tente, Bima, NTB, pada 1933. Jusuf datang ke Jakarta melalui wadah Persatuan Pemuda dan Pelajar Pulau Sumbawa (P3S). Dia lantas diangkat menjadi guru berstatus pegawai negeri di Sekolah Rakyat Negeri Cidurian Pagi, Cikini, Jakarta Pusat. Jusuf juga terlibat dalam Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII), organisasi sayap Partai Masyumi, sebagai anggota cabang Cikini.
Sebagaimana Jusuf, Tasrif Husein lahir di Tente, Bima, pada April 1934. Dia meniti profesi guru sebagai pembantu instruktur pendidikan SR Talabiu, setelah lulus dari SGB di Raba, Bima. Tasrif merantau ke Jakarta pada 1954 dan mengajar di SR Cidurian Petang sebagai guru berstatus pegawai negeri.
Selain mengajar, Tasrif sempat menjadi wartawan lepas harian Abadi. Dia mulai menjadi kader GPII cabang Gambir pada awal 1957 dan di situlah dia mulai lebih mengenal kawan-kawan asal Bima yang biasanya berbasis di Asrama Sumbawa.
Sementara Saadon masih berstatus mahasiswa. Pemuda kelahiran Langa, Pinrang, Sulawesi Selatan, tahun 1939 ini kuliah di Akademi Bahasa Arab, Jalan Menteng No. 58. Sedangkan Tasim Abubakar yang kelahiran Dompu, NTB, tahun 1935 seorang pengangguran.
Lewat perantara Saleh Ibrahim, keempat pemuda itu digandeng masuk Gerakan Anti-Komunis (GAK) pimpinan Kolonel Zulkifli Lubis, Wakil Kepala Staf Angkatan Darat atau KSAD (1952-1956) dan tokoh intelijen TNI.
Keempat pelaku kemudian diajukan ke Pengadilan Tentara Tinggi Jakarta yang dipimpin Letkol Mr R Gunawan. Persidangan dimulai 28 April 1958. Saadon, Tasrif dan Jusuf Ismail divonis hukuman mati. Ketiganya baru dieksekusi pada 30 Mei 1960. Sementara Tasim, yang hanya berperan menyimpan dan mengeluarkan granat untuk ketiga rekannya, divonis hukuman penjara 20 tahun.
Belakangan, terungkap tujuan GAK dalam serangan itu bukan untuk membunuh Sukarno, melainkan hanya memperingatkan. Mereka ingin memaksa pemerintah mengubah haluan politik negara yang ketika itu mereka nilai sangat menguntungkan, baik posisi maupun strategi Partai Komunis Indonesia.
Keberhasilan PKI pada Pemilu 1955 dengan meraup lebih dari 6 juta suara pemilih dan menjadi empat besar partai terbesar mereka anggap sebagai buah dari politik pemerintah yang membiarkan berkembangnya komunisme.
Asvi Warman Adam, peneliti utama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang juga pakar sejarah, dalam pengantar buku karya Arifin Suryo Nugroho berjudul Tragedi Cikini, Percobaan Pembunuhan Presiden Soekarno, mengatakan pelaku tragedi Cikini merupakan teroris generasi pertama di Indonesia. (Dari berbagai sumber)
Â
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Â
Advertisement