Mengenal Gempa Pembuka Usai Kepulauan Batu Diguncang Lindu

Gempa teknonik mengguncang wilayah Kepulauan Batu memiliki kekuatan bermagnitudo 5,6.

oleh Devira Prastiwi diperbarui 05 Feb 2019, 17:30 WIB
Diterbitkan 05 Feb 2019, 17:30 WIB
Gempa Bumi
Ilustrasi Gempa Bumi (iStockphoto)

Liputan6.com, Jakarta - Gempa teknonik mengguncang wilayah Kepulauan Batu pada Selasa (5/2/2019) dini hari tadi pukul 02.29 WIB.

Kepulauan Batu merupakan wilayah kepulauan yang terletak di sebelah barat Pulau Sumatra, antara Pulau Nias dan Kepulauan Mentawai.

Kepulauan Batu termasuk ke dalam daerah Kabupaten Nias Selatan, Provinsi Sumatra Utara. Menurut Kepala Bidang Informasi Gempa Bumi dan Peringatan Dini Tsunami Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Daryono, gempa memiliki kekuatan bermagnitudo 5,6.

"Pusat gempa terletak pada koordinat 0,38 Lintang Selatan dan 98,19 Bujur Timur, tepatnya di laut pada jarak 32 kilometer arah barat daya Pulau Telo pada kedalaman hiposnter 24 kilometer. Gempa ini merupakan jenis gempa megathrust dangkal dengan mekanisme sumber sesar naik atau thrust fault," ujar Daryono melalui keterangan tertulisnya yang diterima di Jakarta, Selasa (5/2/2019).

Dia memaparkan, dampak gempa berupa guncangan kuat dirasakan di Kepulauan Batu, Nias Selatan, Pasaman, Bukittinggi, Padang Panjang, Pariaman, Padang, dan Payakumbuh.

Bahkan, menurutnya, beberapa warga di Pulau Batu dilaporkan sempat terbangun dari tidur, kemudian berlarianan ke luar rumah akibat terkejut oleh kuatnya guncangan gempa.

"Hingga saat ini belum ada laporan kerusakan, sementara hasil pemodelan menunjukkan tidak berpotensi tsunami. Hingga siang tadi, hasil monitoring BMKG menunjukkan sudah terjadi aktivitas gempa susulan atau aftershock sebanyak 7 kali," kata Daryono.

Kemudian dirinya menjelaskan, jika kita memperhatikan aktivitas kegempaan Kepulauan Batu dengan segmen megathrust Sumatra, tampak lokasi pusat gempa yang aktif tadi pagi terletak pada batas antara Segmen Mentawai yang belum lepas energinya dan segmen Nias yang sudah lepas energinya sebagai gempa bermagnitudo 8,7 pada 2005.

Sementara gempa Pagai berkekuatan magnitudo 6,1 yang terjadi pada Sabtu petang 2 Februari 2019 juga terletak pada batas antara segmen Mentawai yang belum lepas energinya dan segmen Enggano yang sudah lepas energinya sebagai gempa magnitudo 8,4 pada 2007 dan gempa magnitudo 7,7 pada 2010.

"Hingga siang tadi, gempa susulan yang terjadi di sebelah barat Pagai sudah mencapai sebanyak 116 kali," tuturnya.

Mengacu kepada peristiwa gempa terbaru di Pagai dan Kepulauan Batu, menurut Daryono, tampak aktivitas gempa hanya terjadi pada tepi ujung selatan dan utara dari segmen Mentawai.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Apakah Itu Gempa Pembuka?

Gempa Hari Ini di NTB dan NTT Tidak Berpotensi Tsunami
Hari ini, Jumat, 30 Desember 2016, gempa guncang Nusa Tenggara Timur, dan Nusa Tenggara Barat. (Ilustrasi Gempa: cdn.abclocal.go.com)

Lalu, apakah gempa yang terjadi masuk kedalam gempa terbuka atau foreshocks di segmen Mentawai?Menurut Daryono, tidaklah mudah memutuskan apakah itu masuk ke dalam gempa pembuka atau bukan.

"Ada beberapa karakteristik gempa pembuka. Gempa pembuka biasa terjadi pada zona dengan seismisitas rendah atau secara statistik kegempaan memiliki nilai b-value rendah. Jika kita amati wilayah Mentawai memang memiliki tingkat aktivitas kegempaan yang relatif rendah," terangnya.

Karateristik berikutnya, lanjut Daryono, adalah adanya migrasi titik hiposenter gempa yang semakin cepat menuju titik inisiasi lokasi estimasi gempa utama atau mainshock. Semakin mendekati waktu terjadinya gempa utama, menurutnya, maka aktivitas gempa pembukanya akan makin banyak.

"Ciri lain adalah munculnya aktivitas gempa-gempa yang mirip atau disebut sebagai repeaters. Repeaters merupakan serangkaian gempa yang terus terjadi secara berulang-ulang di tempat yang relatif sama di suatu zona tertentu dekat lokasi yang diestimasi sebagai gempa utama," papar dia.

Fenomena tersebut, sambung Daryono, menggambarkan adanya proses pembebanan atau loading yang semakin lama semakin intensif sebelum gempa utama terjadi.

Analoginya, kata dia, mirip ketika hendak mematahkan sepotong kayu, secara perlahan-lahan ada retakan-retakan kecil di sekitarnya sebelum benar-benar patah.

"Sedangkan untuk kasus Kepulauan Mentawai, saat ini meski nilai b-value cenderung rendah, akan tetapi belum terlihat ada tanda-tanda atau karakteristik gempa pembuka seperti yang tersebut di atas. Kita harus terus melakukan monitoring aktivitas gempa di Segmen Mentawai secara intensif," terangnya.

Umumnya, kata Daryono, gempa kuat dengan magnitudo lebih dari 8,0 memang hampir pasti dapat diamati gempa pembukanya.

Sebagai contoh, sambung dia, adalah gempa Tohuku magnitudo 9,1 pada 2011, gempa Chili magnitudo 8,8 pada 2010, dan gempa Chili magnitudo 8,1 pada 2014.

"Beberapa gempa dahsyat ini memiliki aktivitas gempa pembuka yang teramati dengan jelas 3 bulan sebelumya," kata dia.

 


Warga Diminta Tetap Tenang

Gempa Bumi
Ilustrasi Gempa Bumi (iStockphoto)

Terkait meningkatnya aktivitas kegempaan pada segmen Mentawai dan sekitarnya akhir-akhir ini, Daryono mengimbau masyarakat untuk tetap tenang dan waspada, tidak perlu takut, dan panik.

Secara alamiah, menurutnya, gempa Mentawai suatu saat akan terjadi tapi entah kapan kita semua tidak tahu pastinya.

"Di dalam ketidak pastian ini, seluruh lapisan masyarakat seyogyanya harus menyiapkan diri untuk terus meningkatkan upaya mitigasi. Bangunan rumah harus didisain kuat untuk menahan guncangan gempa. Masyarakat juga harus mengerti bagaimana cara selamat saat terjadi gempa dan tsunami," ucap dia.

Evakuasi mandiri tsunami, sambung Daryono, harus menjadi pemahaman alam bawah sadar bagi seluruh masyarakat pesisir dengan cara menjadikan gempa kuat sebagai peringatan dini tsunami.

"Sehingga, jika kita merasakan guncangan gempa kuat di pantai, segeralah bergegas pergi menjauhi pantai," pungkas Daryono.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya